Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Monday, July 30, 2007

Kegiatan Kargo Udara di Bandara Soekarno-Hatta Stagnan

Senin, 30/07/2007

JAKARTA - Bisnis Indonesia : Kegiatan kargo udara ekspor-impor di Bandara Soekarno-Hatta mengalami stagnasi pascapemberlakuan Permenkeu No.70/PMK.04/2007 mulai 1 Juli 2007.
Sekjen Soekarno-Hatta Trade Facilitation Committee (STFC) Syarifuddin mengatakan penerapan Permenkeu No.70/PMK.04/2007? tentang? tentang Kawasan Pabean (KP) dan tempat penimbunan sementara (TPS) dan Perdirjen Bea Cukai No. P-20/BC/2007 tentang Penetapan KP dan TPS berdampak positif sekaligus negatif terhadap usaha kargo di Bandara Soekarno-Hatta, sehingga perlu dikaji kembali.
"Permenkeu itu di samping memberikan hal-hal yang positif, dalam pelaksanaannya juga menimbulkan berbagai hal yang sangat memerlukan kajian bersama, karena terjadi stagnasi barang ekspor-impor, khususnya di bisnis muatan udara," tandasnya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Selain stagnasi, dampak lain yang dikaji pascapenerapan Permenkeu itu adalah kesulitan yang dihadapi pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, TPS dan pengusaha logistik di Soekarno-Hatta. Soalnya, berdasarkan peraturan itu, TPS harus berada di kawasan pabean.
Padahal, kata dia, kawasan komersial, kawasan industri atau kawasan penunjang ekspor-impor yang meski bukan merupakan KP, namun selama ini telah berjalan dengan baik, telah tertata rapi dengan sistem operasi dan pengawasan kepabeanan. (sylviana. pravita@bisnis.co.id)
Oleh Sylviana Pravita R.K.N.
Bisnis Indonesia

Bea Cukai Jamin Tak Asal Blokir PPJK

26 Juli 2007

JAKARTA, Bisnis Indonesia: Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok menjamin meminimalisasi pemblokiran dan pencabutan nomor pokok perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK), menyusul registrasi ulang usaha itu mulai 20 Juli 2007.

Kepala KPU Tanjung Priok Agung Kuswandono mengatakan pencabutan nomor pokok itu bisa dihindari jika 800 PPJK yang beroperasi di Tanjung Priok segera mendaftarkan diri dan melengkapi seluruh persyaratan sesuai Permenkeu No.65/PMK.04/ 2007 tentang PPJK.

"Kami tidak akan sembarang mencabut atau memblokir. Tapi, tentunya PPJK jangan mengajukan registrasi setelah waktunya mepet. Kami melihat saat ini respons dari PPJK sudah bagus," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.

KPU Bea Cukai Tanjung Priok kemarin hingga hari ini menggelar sosialisasi pembukuan PPJK di Tanjung Priok sesuai ketentuan Menteri Keuangan yang baru.

Direktur PT Ladur Utama Mandiri Sugiyanto mengatakan banyak PPJK yang menilai waktu registrasi yang disediakan selama 90 hari terlalu singkat.

"Kami khawatir singkatnya waktu dapat menyebabkan PPJK kehilangan nomor pokok. Padahal, banyak kelengkapan yang harus dipenuhi."

Dia juga menambahkan banyaknya jumlah PPJK dapat menyebabkan pihak Bea Cukai tidak mampu melakukan penelitian lapangan secara mendetail dalam waktu singkat dan dapat menyebabkan PPJK dapat kehilangan nomor pokok akibat hal itu.

Ketua Gafeksi DKI Jakarta Syukri Siregar mengatakan pihaknya meyakini bila PPJK segera mendaftar dan memenuhi persyaratan dari Permenkeu itu, PPJK tidak akan kehilangan nomor pokoknya.

Dia menambahkan hanya ada empat syarat yang harus dipenuhi oleh PPJK dalam registrasi tersebut, yaitu kejelasan domisili, kejelasan pengurus, memiliki ahli kepabeanan dan memiliki pembukuan yang auditable.

Thursday, July 19, 2007

Agar Merek Jadi Hidup

Oleh : Bembi Dwi Indrio M.
Analis Bisnis Senior MarkPlus & Co.

Adakah hubungan antara merek dan layanan yang diberikan kepada pelanggan? Tak mudah menjawab pertanyaan ini. Kebanyakan orang menganggap branding hanya berkaitan dengan masalah penamaan produk dan aktivitas promosi. Aktivitas branding pun akhirnya hanya berkisar di kedua hal itu.

Padahal, branding juga menyangkut sejumlah hal lain. Merek harus dicerminkan dalam setiap aspek budaya organisasi perusahaan; terutama ketika terjadi interaksi antarmanusia (antara karyawan dan pelanggan), yaitu dalam hal layanan. Layanan yang diberikan kepada pelanggan harus mampu mendukung dan meningkatkan merek perusahaan atau produk. Dengan menjalankan layanan seperti ini, merek pun akan menjadi hidup.

Argumen inilah yang dikemukakan Janelle Barlow dan Paul Stewart dalam buku mereka Branded Customer Service. Menurut mereka, ekuitas merek dibangun bukan hanya melalui iklan atau aktivitas public relations, tetapi juga melalui layanan yang diberikan.

Karena itu, perusahaan harus melakukan on-brand service, yaitu layanan yang selaras dengan apa yang dijanjikan merek (brand promises). Mereka mengatakan, jika pesan merek yang disampaikan lewat upaya iklan dan promosi lainnya tidak sejalan dengan layanan yang diberikan karyawan, perusahaan ini hanya membuang uang dan mungkin memiliki masalah citra.

Penulis mengilustrasikan hal ini dengan pengalaman pribadi. Janelle Barlow beberapa tahun lalu melihat tayangan iklan di televisi tentang layanan terbaru kantor pos di Amerika Serikat.

Karena sangat terkesan, dua hari kemudian ia mencoba layanan terbaru ini di kantor pos dekat rumahnya. Ternyata, gedung kantor pos itu tidak sebagus dan sebersih seperti yang ditayangkan pada iklan. Begitu pula karyawannya, tidak seramah dan semenarik seperti yang ada pada iklan.

Namun, ia sadar. Setiap iklan tentu dibuat sedikit berlebihan atau paling tidak menampilkan citra terbaik yang dimiliki perusahaan. Dan memang, pesan utama yang disampaikan dalam iklan tersebut bukan kenyamanan kantor pos atau keramahan petugasnya, melainkan murahnya harga layanan itu.

Setelah antre beberapa lama, ia menuju konter dan berkata kepada petugas bahwa ia ingin menggunakan layanan terbaru seperti yang diiklankan di teve. Petugas kantor pos itu menatapnya, kemudian menjawab, "Harganya tidak murah."

Bisa dibayangkan, perusahaan telah menghabiskan banyak uang untuk melakukan positioning produk, tetapi hal ini dengan cepat dan mudah dihancurkan oleh seorang karyawan saja! Ini menunjukkan bahwa kantor pos itu tidak atau kurang mempersiapkan ribuan karyawannya untuk menjalankan on-brand service terhadap pelanggan yang ingin mencoba layanan terbaru tersebut.

Ketika manusia banyak berperan dalam pemberian layanan kepada pelanggan, kita akan lebih sulit menjamin terpenuhinya ekspektasi pelanggan seperti dalam iklan. Inilah tantangan utama bagi perusahaan dengan tingkat kontak layanan pelanggan yang tinggi (misalnya, perusahaan otomotif, telekomunikasi, hospitality, maskapai penerbangan dan perusahaan peranti lunak) atau perusahaan yang produknya diberikan secara eksklusif lewat orang (misalnya, kantor akuntan, rumah sakit, atau kantor pengacara).

Selain menjelaskan pentingnya on-brand service, penulis juga menguraikan empat strategi customer service (CS) yang selama ini biasa dijalankan perusahaan.

Strategi pertama memandang CS sebagai biaya (CS as a cost). Strategi ini menganggap CS tidak diperlukan dan bukan sesuatu yang esensial. Transaksi yang terjadi pun hanya bersifat jangka pendek.

Strategi selanjutnya, CS dipandang sebagai hal yang perlu (CS as a necessity). Di sini, CS dibutuhkan karena pesaing sudah menawarkannya. Namun, perusahaan yang menjalankan strategi ini masih menganggap CS sebagai biaya, bukan investasi pemasaran.

Strategi ketiga memandang CS sebagai keunggulan kompetitif (CS as a competitive advantage). CS dipandang sebagai salah satu strategi mengembangkan bisnis. Karyawan dilatih memperhatikan pelanggan dan manajemen perusahaan peduli terhadap peringkat kepuasan dan loyalitas pelanggan yang didapat melalui survei-survei.

Strategi keempat, yang tertinggi, adalah memandang CS sebagai ekspresi hidup yang penting dari merek (CS as an essential living expression of the brand). CS dipandang sebagai aspek terpenting organisasi. Di sini setiap titik sentuh dengan pelanggan (touch point) mencerminkan merek. Pelanggan akan merasa memiliki hubungan emosional dengan perusahaan. Strategi inilah yang harus diterapkan setiap perusahaan.

Kemudian, pertanyaannya, bagaimana perusahaan bisa menjalankan strategi keempat ini sehingga layanan yang dijalankan adalah on-brand service?

Jawabannya ada di bagian akhir buku ini. Di bagian ini, penulis melengkapi dengan Toolbox yang dapat membantu karyawan memahami masalah merek secara umum, merek produk atau perusahaan Anda secara khusus, dan peranan karyawan dalam memberikan layanan yang sesuai dengan merek tersebut.

Memang, branding merupakan tanggung jawab setiap pihak dalam perusahaan, bukan hanya manajer merek atau manajer produk. Departemen sumber daya manusia perusahaan pun sesungguhnya berperan penting terhadap pembentukan dan pengembangan merek.

Tak pelak, buku ini merupakan terobosan penting dalam dunia bisnis. Ia mampu memberikan perspektif baru terhadap dua hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan "layanan dan merek" tetapi selama ini dijalankan dengan strategi yang tidak berkaitan satu sama lain. Inilah buku yang patut dibaca jika Anda ingin menjalankan layanan yang selaras dengan apa yang dijanjikan merek Anda (on-brand service).
sumber : www.swa.co.id

Adpel Priok : Tarif Baru Lini 2 Paling Lambat Mulai Agustus

JAKARTA: Adpel Tanjung Priok mengultimatum agar kesepakatan tarif pelayanan jasa barang dan peti kemas di lini 2 Pelabuhan Tanjung Priok dilaksanakan per 1 Agustus 2007. Pengguna jasa yang tidak mematuhi kesepakatan itu akan dilarang beroperasi di pelabuhan tersebut.

Administrator Pelabuhan Utama Tanjung Priok Bobby R. Mamahit mengungkapkan sesuai kesepakatan itu tarif container freight station (CFS) di lini 2 Priok sebenarnya diberlakukan efektif mulai 1 Juli, setelah sosialisasi selama satu bulan sejak Juni.

"Sudah cukup waktu untuk masa tenggang, tapi kesepakatan itu belum berjalan optimal. Waktu bagi yang telanjur kontrak dengan pihak luar negeri dengan perhitungan lama sudah diberikan dan dinilai cukup. Maka, sebagai regulator, saya akan mengeluarkan larangan, tidak boleh beroperasi di Priok bagi mereka yang tidak melaksanakan kesepakatan itu mulai 1 Agustus 2007," tandasnya kepada Bisnis, kemarin.

Kesepakatan tarif itu dibuat oleh enam asosiasi yakni Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi), Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Indonesian National Shipowners Association (INSA) Jaya, Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Tanjung Priok, Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Seluruh Indonesia (Aptesindo).

Kesepakatan itu sempat ditolak oleh pengurus Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo), Asosiasi Depo dan Pergudangan Indonesia (Apdepi) serta Forum Konsolidator Forwarder Jakarta (FKFJ).

Rekomendasi Adpel
Bobby mengatakan pihaknya segera menerbitkan rekomendasi positive list perusahaan-perusahaan yang melaksanakan kesepakatan itu dan dapat terus beroperasi, sehingga yang tidak masuk dalam daftar tersebut tidak akan dilayani oleh Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Tanjung Priok dan Pelindo.

Dia juga mengatakan seluruh kontrak per 1 Agustus 2007 harus disesuaikan dengan kesepakatan tarif pelayanan jasa barang dan peti kemas di lini 2. Bagi pelaku usaha yang tidak terdaftar sebagai anggota asosiasi di Kantor Adpel Utama Tanjung Priok, juga akan dikomunikasikan Adpel Priok untuk tidak dilayani oleh BC dan Pelindo.

"Rekomendasi itu akan saya komunikasikan agar BC dan Pelindo tidak melayani mereka yang tidak masuk dalam daftar positive list. Sanksi larangan beroperasi itu saya keluarkan, karena saya juga sudah mengeluarkan surat edaran. Jalannya kesepakatan itu ada dalam koordinasi saya sebagai Adpel.

"Bobby mengimbau kepada instansi pemerintah dan BUMN yang melayani kepentingan para pengguna jasa pelabuhan untuk tidak memberikan pelayanan kepada perusahaan dan atau pengguna jasa pelabuhan yang belum atau tidak memenuhi legalitas dan peraturan yang berlaku di wilayah kerja Tanjung Priok.

Oleh Sylviana Pravita R.K.N.
Bisnis Indonesia

Thursday, July 12, 2007

Aturan Menkeu Bisa Matikan Usaha PPJK

JAKARTA (Bisnis Indonesia): Gabungan Perusahaan Forwarder dan Ekspedisi Seluruh Indonesia (Gafeksi) mendesak pemerintah mengubah formulasi jaminan bagi perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) dalam Permenkeu tentang PPJK yang akan berlaku 20 Juli 2007, karena berpotensi mematikan usaha tersebut.

Wakil Ketua Umum DPP Gafeksi Iskandar Zulkarnain mengatakan jaminan yang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan No. 65/PMK. 04/2007 yang terbit 20 Juni 2007 serta Perdirjen Bea Cukai P-22/BC/2007 tentang Petunjuk Pemberian Nomor Pokok dan Pengawasan PPJK itu dinilai memberatkan.
"Jaminan itu besarnya Rp25 juta hingga Rp250 juta. Padahal, sebelumnya hanya melalui jaminan tertulis Gafeksi sebagai penjamin, sekarang pakai bank dan asuransi. Ini bisa mengakibatkan tutupnya 800 PPJK," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.

Iskandar mengatakan Gafeksi akan menjembatani kepentingan anggotanya dan mendesak Menkeu untuk membuat formulasi jaminan yang sesuai dengan kemampuan PPJK.

Dia memahami aturan itu bertujuan agar tidak terjadi manipulasi dalam pengurusan jasa kepabeanan. "Maksudnya baik, tapi ini tentu saja memberatkan. Sebagai asosiasi, kami akan mempertanyakan masalah ini dalam pertemuan dengan Menkeu dalam waktu dekat."

Dalam pertemuan dengan Dirjen Bea Cukai Anwar Suprijadi pada 10 Juli lalu, kata Iskandar, belum ditemukan solusi menyoal jaminan itu. Selain memberlakukan jaminan, ketatnya persyaratan dan pengawasan, serta larangan bagi PPJK juga dinilai sangat memberatkan.

Permenkeu yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu menyusun lebih rinci dan ketat persyaratan dan pengawasan dan larangan bagi PPJK. Pengetatan itu juga disertai ancaman sanksi administratif mulai pembekuan sampai pencabutan status.

Kewajiban PPJK
PPJK wajib melakukan hal yang sama seperti yang diwajibkan pada pengusaha tempat penimbunan sementara (TPS) dan kawasan pabean (KP), a.l. menyerahkan jaminan kantor pabean yang mengawasinya, menyampaikan perubahan data, sampai membuat laporan pembukuan.

Hal-hal yang agak berbeda dengan pengaturan untuk TPS dan KP a.l. kewajiban memiliki modul pertukaran data elektronik sendiri untuk pembuatan-penyerahan pemberitahuan pabean pada kantor pabean yang sudah menggunakan PDE (pertukaran data elektronik).

Dalam pertemuan 10 Juli, Dirjen Bea Cukai menggarisbawahi pentingnya jaminan itu serta registrasi ulang. "Pak Dirjen justru menyoroti agar seluruh perusahaan pelayaran, penerbangan hingga PPJK harus melakukan registrasi ulang agar ada kejelasan pengurus dan penanggung jawab, kebenaran alamat, memiliki ahli kepabeanan yang bersertifikat dan menyerahkan pembukuan."

Menurut Ketua DPW Gafeksi DKI Jakarta Syukri Siregar, Kepmenkeu itu bertentangan dengan Inpres 6/2007 tentang Percepatan Infrastruktur dan Pembangunan Sektor Riil dan UKM. "Bagaimana mungkin usaha PPJK yang tergolong UKM dan hanya bermodalkan puluhan juta rupiah itu harus menyetorkan jaminan hingga ratusan juta rupiah," ujarnya.

Dia mengatakan sedikitnya 800 perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok terancam tutup dan merumahkan karyawan karena tidak sanggup membayar jaminan Rp250 juta sesuai aturan baru itu. (k1)

Friday, July 6, 2007

Jumat, 06/07/2007
RALAT

Bukan pelayaran
Koreksi: Dalam tulisan Memangkas biaya siluman... di Hal. T8 kemarin, pada alinea ke 11tertulis .... Seringkali forwarder dalam kegiatan ekspornya memberikan refund kepada pelayaran. Kata pelayaran seharusnya pabrikan.

Terima kasih / Redaksi
bisnis.com

Thursday, July 5, 2007

Memangkas Biaya Siluman Layanan Kargo di Priok (2)

Bagian Kedua dari Dua Tulisan

Oleh : Iskandar Zulkarnain (Dirut Internusa Cargo & Wakil Ketua Umum DPP Gafeksi)

JAKARTA (Bisnis Indonesia) - Sebagai ilustrasi, sebelum ada tarif kesepakatan, kargo minimum 3 cbm dengan forwarding charge yang bervariasi bisa ditagih sampai dengan US$245, bahkan lebih. Belum lagi ditambah biaya pengambilan barang di gudang yang dikenakan biaya tinggi. Bandingkan dengan tarif kesepakatan bagi anggota Gafeksi US$150 saat ini, ditambah tarif gudang yang disepakati itu.

Ironisnya, bagi pemilik gudang atau perusahaan bongkar muat (PBM) yang sebenarnya menerima jasa minim, dengan perbandingan sangat menyolok bisa mencapai 1:5.

Jadi, misalnya biaya atau tagihan PBM kontainer 20 kaki Rp1,5 juta, maka oleh PBM mitra itu menjadi Rp7,5 juta, bahkan bisa lebih tinggi mengikuti 'permintaan' forwarder pemberi order, yang duitnya pun tidak dinikmati karena untuk nombok refund ke luar negeri.

Hal ini disebabkan tidak adanya standar besaran komponen biaya, termasuk banyaknya item biaya yang harus ditagihkan, sehingga importir atau consignee (pemilik barang) terpaksa harus membayar berapa pun jika barangnya ingin cepat dikeluarkan. Jika tidak, barang-barang mereka tidak dapat dikeluarkan dari pelabuhan.

Sejak 2002, Gafeksi melalui KKAD (Kelompok Konsolidator dan Agent Delivery) telah membuat suatu standar tetapi selang beberapa waktu dipanggil oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena dianggap membuat kartel yang menyalahi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dari berbagai praktik yang tidak memakai standar, banyak hal lucu sering terjadi ketika importir harus mengambil dua partai atau lebih barang-barang di gudang yang berasal dari pelabuhan muat yang berbeda.

Sebagai contoh, tarif import untuk kargo asal Thailand akan berbeda biayanya dibandingkan kargo asal China. Kenapa demikian? Jawabannya sederhana, karena jumlah refund atau pengembalian yang harus dilakukan kepada tiap agen yang berbeda akan berbeda pula besarannya.

Petanyaan selanjutnya kenapa berbeda? Jawaban kuncinya adalah karena adanya pembatasan tarif di negara agen itu berada.

Model pembatasan tarif itulah yang seharusnya diadopsi oleh Indonesia. Sebab sudah bukan saatnya lagi kita diatur oleh agen asing yang 'bermain' sebagai 'price maker' dengan saling mengadu besaran refund dengan dalih mekanisme pasar.

Padahal justru forwarder nasional yang seharusnya menjadi penentu harga (price setter). Kita harus setop praktik yang selama ini tidak sehat, yang ujung-ujungnya merugikan konsumen akhir.

Seringkali, forwarder pada kegiatan ekspornya memberikan refund ke pelayaran. Kalau hal ini diberikan langsung kepada korporasi bolehlah dikatakan menolong eksportir, tetapi praktiknya justru banyak diberikan kepada oknum di perusahaan bersangkutan.

Jadi, tidak merupakan insentif untuk menurunkan biaya produksi. Dengan kata lain, kita semua mengajari para marketing kita dan orang pabrikan untuk selalu 'bermain' uang, yang notabene akan merugikan perusahaan.

Pada kegiatan impor forwarding menagih tinggi, tetapi juga tidak dinikmati tetapi dikembalikan sebagai refund ke agennya di luar negeri. Jadi, bagi forwarder sendiri hasilnya tipis kalau tidak mau dikatakan habis, padahal yang lain kenyang menikmati.

Belum lagi ditambah risiko tidak dibayar, credit term yang terlalu lama, tingginya cost of money, kemungkinan timbulnya klaim atas pekerjaan dan sebagainya. Semuanya bukan saja merugikan, tapi menciptakan iklim usaha yang tidak sehat.

Fungsi pemerintah
Melihat efektivitas SK Menhub KM No. 36/2005 dan KM No. 11/2006 tanggal 9 Februari 2006 mengenai tarif referensi dalam mengendalikan persaingan yang mematikan di bisnis penerbangan dalam negeri dan penurunan THC, seharusnya pemerintah melalui departemen yang terkait mendukung kesepakatan tarif tersebut.

Pemerintah juga perlu menertibkan pelaku usaha dengan memfungsikan asosiasi sebagai mitra, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.

Teringat saat AFFA (Asean Freight Forwarding) Meeting yang diselenggarakan di Jakarta dua tahun lalu, kami sebagai pengurus Gafeksi banyak belajar dari delegasi Singapura, Malaysia dan Thailand soal tarif kesepakatan.

Diperoleh fakta bahwa, pertama, ternyata mereka sudah lama menjalankan tarif semacam ini. Di negaranya, mereka benar-benar langsung dikontrol oleh pemerintah masing-masing melalui otoritas pelabuhan, Bea Cukai, Kamar Dagang, dan Kementerian Perdagangan. Kedua, penegakan hukum dengan sanksi tegas bagi para pelanggar dan ketiga, didukung lembaga perlindungan konsumen yang baik.

Sebagai anggota AFFA dan salah satu ketua di INFA (International Freight Forwarder Association), sudah selayaknya model tarif kesepakatan antarasosiasi ini didukung penuh, baik oleh asosiasi maupun pemerintah.


********

Wednesday, July 4, 2007

Memangkas Biaya Siluman Layanan Kargo di Priok (1)

Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Oleh : Iskandar Zulkarnain (Dirut Internusa Cargo & Wakil Ketua Umum DPP Gafeksi)

JAKARTA (Bisnis Indonesia) : Sebagai pengurus asosiasi sekaligus pelaku bisnis, saya turut prihatin dengan situasi belakangan ini yang datang dari kelompok yang ramai menolak kesepakatan tarif pelayanan kargo di lini 2 Pelabuhan Tanjung Priok.


Padahal penetapan tarif LCL (less-than container load) itu telah digodok oleh Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor yang diketuai oleh Menko Bidang Perekonomian dengan Wakil Ketua merangkap Ketua Harian Menteri Perhubungan. Tim itu juga beranggotakan para menteri bidang perekonomian, Panglima TNI, Kapolri dan Jaksa Agung.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) turut serta dalam jajaran Tim Pelaksana yang menyelenggarakan tugas sehari-hari. Penetapan tim ini berdasarkan pada Keppres No. 54/2002 juncto Keppres No. 24/2005.

Kesepakatan dibuat pada 29 Mei 2007 oleh enam asosiasi, yakni Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi), Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Jaya, Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Tanjung Priok, dan Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Seluruh Indonesia (Aptesindo).

Setelah berhasil menurunkan biaya THC (terminal handling charge), kini giliran tarif LCL yang mendapat sorotan, mengingat tingginya komponen biaya yang terdiri dari biaya forwarding dan gudang.

Perlu diketahui bahwa di samping mengimpor secara FCL (full container load), produsen barang ekspor juga mengimpor bahan baku atau bahan penolongnya secara LCL. Masalahnya, untuk importasi bahan baku secara LCL ini para produsen dibebani biaya yang sangat tinggi di pelabuhan utama di Indonesia, khususnya di Tanjung Priok.

Komponen biayanya pun banyak dan beragam, serta berbeda dari forwarder konsolidator satu dengan lainnya. Begitu juga dengan biaya gudang. Operator gudang atau pengusaha tempat penimbunan sementara (TPS) serta mitra Bea Cukai, dengan sepengetahuan agen konsolidator yang bersangkutan, menagih biaya gudang yang tinggi dengan komponen biaya yang juga banyak, tumpang tindih dan terkesan mengada-ada, sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Banyak yang lupa, bahwa berawalnya biaya tinggi saat ini akibat perang tarif antarforwarder dan imbas dari krisis moneter pada 1997. Saat itu, dolar AS menguat, sedangkan biaya operasional forwarder tetap dalam rupiah.

Akibatnya, forwarder saling berebut agen untuk kargo impor dengan menawarkan kembalian (refund) yang tinggi, sebab berapa pun d¢lar AS yang masuk akan memberikan penghasilan tinggi bila dikalikan dengan kurs waktu itu yang berkisar Rp15.000-Rp20.000 per dolar AS.

Seperti cendawan di musim hujan, selama krismon muncul ratusan forwarder baru yang semuanya berebut dolar AS. Hanya dengan membuka perusahaan dan SDM seadanya, mereka bekerja sebagai international freight forwarder, yang tidak lebih dari sekadar broker.

Bukan anggota
Kenyataannya, banyak forwarder konsolidator merupakan 'pemain' asing, umumnya dari Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong yang punya jaringan dan dukungan finansial yang kuat di luar negeri.

Mereka membuka perusahaan 'alibaba' di Jakarta dengan mengajak mitra lokal, dan bebas beroperasi di pelabuhan hingga menangani juga pekerjaan PPJK (perusahaan penyedia jasa tenaga kerja) dan EMKL (costume clearance). Mereka sebagian besar bukan anggota Gafeksi dan sulit untuk ditertibkan.

Waktu terus berjalan, dan ketika kondisi ekonomi dan kurs mulai stabil, forwarder menjadi sulit memberikan refund seperti semula, mereka kedodoran.

Di sisi lain, harga pasar telanjur rusak, maka bermainlah forwarder-forwarder tadi dengan pihak gudang. Pepatah mengatakan, "wol akan didapat dari biri-biri juga", jadi biaya refund kompensasinya sekarang diambil dari pembebanan biaya gudang kepada pemilik barang.

Timbul istilah 'PBM mitra' yang menagih macam-macam biaya tinggi dengan banyak item sampai belakangan dipermasalahkan. (bersambung)



****************

Tuesday, July 3, 2007

UCP 600 Tekan Discrepancy LC

SURABAYA(SINDO) – Pemberlakuan Uniform Customs Practice for Documentary Credit (UCP) 600, 1 Juli mendatang, diyakini akan menurunkan angka discrepancy (penolakan) dokumen pada penyerahan pertama terkait LC (Letter of Credit) yang diajukan para eksportir kepada bank.

Hal itu diutarakan anggota Consulting Group International Chambers of Commerce Paris perwakilan Indonesia Saul Daniel Rumeser di Surabaya, kemarin. Penurunan ini bisa terjadi karena UCP 600 lebih menekankan doktrin substantial compliance, berbeda dengan UCP 500 yang lebih menganut strict compliance. Melansir data International Chambers of Commerce Paris, saat ini sekitar 70% dokumen perdagangan internasional mengalami penolakan pada penyerahan pertama di berbagai level hanya karena salah ketik atau salah ejaan.

”Jalan ditulis Jl. Itu bisa jadi masalah di UCP 500.Nah,dengan UCP 600, hal ini bisa dieliminasi, termasuk di perbankan terkait LC-nya,” ungkap Saul. Namun, dia belum bisa memprediksi angka penurunan yang bisa terjadi nantinya. Selain itu, UCP 600 juga akan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk pelayanan dokumen yang ada. Sebab, UCP 600 hanya memperkenankan waktu pemeriksaan selama lima hari kerja, lebih pendek dari UCP 500 yang memberi kelonggaran hingga tujuh hari. ”Ini akan menolong cashflow para eksportir,” katanya. Hal ini dibenarkan Senior Vice President Central Operations Group Bank Mandiri Basu Vitri Manugrahani.

Dengan penguasaan UCP 600 oleh para eksportir, dia yakin pelayanan LC juga akan lebih baik sehingga dispute antarpihak bisa diperkecil. Tanpa merinci besarannya, peningkatan LC tentu saja berhubungan dengan fee based income- nya yang berupa biaya provisi dan selisih kurs. ”Artinya, bila jumlah LC meningkat, otomatis kedua pendapatan juga akan meningkat,” ucapnya. Tahun lalu,Bank Mandiri melayani LC sebesar USD3,6 miliar dari sekitar 600 pengusaha ekspor, turun dari 2005 yang mencapai USD5,1 miliar.

Menurutnya, hal ini terkait penurunan kinerja ekspor para pengusaha di Indonesia. Di Jatim sendiri, pada 2006 lalu Bank Mandiri melayani LC sebesar USD500 juta dari sekitar 225 nasabah aktif. Angka ini sekitar 10% dari layanan LC seluruh bank yang beroperasi di Jatim yang mencapai USD5 miliar. Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Jatim Isdarmawan Asrikan mengatakan, telah mengetahui rencana pemberlakuan UCP 600. (dili eyato/yunice aprily).

Indonesia's Gross Domestic Product Up by 6.0 Percent

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia`s gross domestic product (GDP) increased by 6.0 percent in the first quarter of 2006 compared to the same period of 2006, contributing to substantial growth to the processing industrial sector.

"This indicates that the processing industrial sector has recorded a rapid growth of the Indonesian economy," a Deputy for economic statistics of the Central Bureau of Statistics (BPS), Pietojo, said here on Monday.

In the BPS report it was said that in the first quarter of 2007 compared to the corresponding period of 2006, all sectors recorded a rise except the agriculture sector which underwent a minus 0.5 percent growth, recording a minus 0.1 percent of its contribution to the GDP growth.