Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Monday, June 15, 2009

CETAK BIRU LOGISTIK NASIONAL MENDESAK

Senin, 15/06/2009 00:54 WIB
Cetak biru logistik nasional mendesak

JAKARTA: Pemerintah diminta segera menerbitkan cetak biru logistik nasional sebagai pedoman pelayanan sektor usaha itu, menyusul adanya perbedaan pendapat soal masuknya jasa logistik di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pos.

Gabungan Forwarder, Ekspedisi, dan Logistik Indonesia (Gafeksi) menolak jasa logistik dimasukan ke dalam RUU Pos, tetapi Asosiasi Perusahaan Jasa Titipan Ekspres Indonesia (Asperindo) justru mendorong inisiatif dari DPR dan pemerintah itu karena jasa logistik di dalam RUU Pos dinilai berbasis pos.

"Untuk mencegah terjadi pertentangan dan polemik, serta tumpang-tindih atas ketentuan yang mengatur jasa logistik oleh departemen terkait, pemerintah perlu segera membuat batasan mengingat pengertian logistik itu sangat luas," ujar Ketua Umum DPP Gafeksi Iskandar Zulkarnain kepada Bisnis, kemarin.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Asperindo M. Kadrial mengatakan usaha jasa titipan saat ini dilindungi oleh UU No. 6/ 1984 tentang Pos, sedangkan jasa logistik yang diatur dalam revisi UU itu membatasi pada kegiatan pengiriman yang hanya dilakukan oleh perusahaan jasa titipan atau kurir.

"Dari sisi komoditas, layanan logistik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni yang berbasis kurir atau pos dan berbasis freight. Logistik yang dimaksud di dalam RUU Pos adalah yang berbasiskan kurir atau pos," katanya.

Dia menegaskan RUU Pos yang sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah juga berpedoman pada ketentuan Universal Postal Union (UPO) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Dalam ketentuan UPO itu, paparnya, ditetapkan komoditas yang dilayani oleh pos adalah logistik. "Jadi, dimasukkannya logistik dalam RUU Pos telah melalui proses yang sesuai dengan perkembangan bisnis dan aturan internasional saat ini."

Direktur Eksekutif Asperindo Syarifuddin menambahkan masuknya soal logistik ke dalam RUU Pos merupakan inisiatif dari DPR dan pemerintah, sedangkan Asperindo hanya mendorong usulan logistik yang terkait dengan usaha jasa titipan.

"Jadi [perusahaan jasa titipan] bukan ingin merebut kegiatan logistik yang selama ini dilaksanakan oleh perusahaan freight forwarding," tegasnya.

Keberatan Gafeksi

Namun, Iskandar menegaskan Gafeksi keberatan atas usulan jasa logistik di dalam RUU Pos karena tanpa disertai dengan batasan pada layanan pos dasar dan berat maksimumnya.

Menurut dia, jasa logistik mencakup bidang usaha yang terkait langsung dengan freight forwarding atau perusahaan jasa pengurusan transportasi (JPT) di bawah pembinaan Departemen Perhubungan.

"Gafeksi tidak keberatan atas RUU Pos itu jika membatasi pada kegiatan pengiriman surat, dokumen, dan paket dengan kriteria dan berat maksimum yang jelas dan sesuai dengan rasa keadilan sehingga bisa dibedakan antara pengiriman paket dan kargo," tutur Iskandar.

Oleh karena itu, paparnya, perlu dibuat batasan mengenai layanan logistik pos untuk membedakan dengan layanan logistik yang lebih luas. Pasalnya, selama ini Peraturan Menteri Perhubungan No.5/2005 menetapkan berat maksimum untuk parsel atau paket kiriman adalah 30 ton.

"Pada tataran operasional, kebijakan ini sangat merugikan anggota Gafeksi karena sulit diterima oleh akal sehat jika maksimum berat parsel atau paket bisa seberat 30 ton," tegasnya.Oleh Aidikar M. SaidiBisnis Indonesia

bisnis.com

URL : http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/transportasi-logistik/1id122520.html