Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Tuesday, August 23, 2011

PETI KEMAS, TRANSIT DI SINGAPURA BERKURANG

Jakarta – Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II, RJ Lino mengatakan, volume peti kemas yang transit di Pelabuhan Singapura terus berkurang. Bila tahun 2009 sebanyak 60-65 persen peti kemas asal Tanjung Priok harus transit di Singapura, tahun 2010 hanya 20 persen.

“Prestasi ini karena kinerja Tanjung Priok makin baik, alatnya makin lengkap. Peti kemas ke Asia Timur, misalnya, langsung dikapalkan tanpa transit lagi. Tahun 2011 ini, bahkan saya menantang Tanjung Priok untuk investasi alat secara besar-besaran supaya kinerja makin baik,” kata RJ Lino, Rabu (23/2) di Jakarta.

RJ Lino berbicara dalam peresmian 12 unit rubber tyred gantry crane (RTGC) atau kendaraan penumpuk peti kemas milik PT Jakarta International Container Terminal (JICT).

Setiap tahun sekitar 2 juta peti kemas berukuran 20 kaki (TEUs) dibongkar muat di Tanjung Priok. “Dengan RTGC baru ini, kapasitas JICT diharapkan menjadi 3 juta TEUs per tahun pada 2012,” kata Presiden Direktur JICT Helman Sembiring.

(Sumber: Kompas, 24 Februari 2011)

Monday, August 15, 2011

ISO 9001:2008 SIMPLIFIED

Part 1: Scope, Part 2: References, Part 3: Terms and definitions

Part 4: Quality management system
General concept is to:
- Say what you do and do what you say (PDCA)
Documentation requirements
- Write down the important things
- Get organized to achieve quality
- Make directions available to users
- Keep directions up-to-date (as long as needed)
- Identify needed records and maintain them

Part 5: Management responsibility
Provide vision and commitment to quality
Plan to achieve quality
- Establish quality objectives
- Keep the quality management system current
Define duties and responsibilities
- Define and communicate responsibilities and authorities
- Put someone in charge of the quality program
- Communicate within the organization
Monitor the operations
- Periodically, to ensure suitability, adequacy and effectiveness of quality management system
- Inputs from both internal and external sources
- Outputs to cover QMS, product, and resources
- Keep records

Part 6: Resource management
Determine and provide resources for:
- Implementing and maintaining the QMS (including improving effectiveness)
- Enhancing customer satisfaction
Allow people to excel in their work
- Determine competencies and provide training
- Give them the tools and equipment to do the job
- Determine and manage the work environment

Part 7: Product realization
Define the process steps before doing it
- Product specifications
- Processes, instructions, and resources to make it
- Quality control (test and inspection) needed
- Records to prove it to outsiders
- Called "quality, production, or run plans"
Know what the customer wants
- Determine all the requirements
- Make sure you can do it (contract review)
- Keep the customer in the loop
Design for quality
- Create a design plan
- Define the design input (requirements)
- Capture the design in useful documents
- Periodically review the design process
- Verify that you did what you promised
- Validate the design to see if it really works
- Control changes to the design
Use good stuff from your suppliers
- Know what you want
- Check out your suppliers and monitor them
- Verify you received what you ordered
Control your production and service
- Make it under controlled conditions
- Validate processes that can’t be measured
- Match the job to the specs and show the status
- Keep track of what you make (if required)
- Don’t break your customer’s stuff
- Keep it good as it proceeds through production and delivery
Check the work with good equipment
- Identify information needed for monitoring (process) and measuring (conformity)
- Identify the devices needed for both
- Control monitoring and measuring processes
- Make sure measuring equipment is good

Part 8: Measurement, analysis and improvement
Develop ways to measure QC, QA, QM
Monitor your customer’s perception of your quality
Audit your quality management system
Monitor your internal processes
Measure the product characteristics
Don’t accidentally ship or use bad stuff
Properly dispose of bad stuff
Collect information and analyze it
Continually improve the QMS effectiveness

That's it!
Labels: quality


Source: http://auditguy.blogspot.com/2011/06/iso-90012008-simplified.html

Monday, August 1, 2011

BASMI VIRUS BAHAYA LOGISTIK

16 June, 2011 by alec

MENURUT laporan World Economic Forum (WEF) melalui Indeks Daya Saing Global alias Global Competitiveness Index (GCI) 2010–2011, disebutkan Indonesia berada di posisi ke-44 di antara 139 negara. Naik sepuluh peringkat dari posisi tahun lalu, yang bertengger di urutan ke-54.

GAFEKSI : Berada di urutan ke-44, Indonesia masih lebih baik daripada sebagian negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China/Tiongkok, dan Afrika Selatan), kecuali Tiongkok yang duduk di posisi ke-27.

Namun sayang, di antara negara terkemuka ASEAN, Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan Singapura (ke-3), Malaysia (ke-26), dan Thailand (ke-38).

Tapi, lebih bagus jika dibandingkan dengan Filipina (ke-85), Kamboja (ke-109), dan
Vietnam (ke-59).

Meski demikian, prestasi peningkatan daya saing tersebut kurang didukung dengan total biaya logistik (packaging and distributing) yang harus dikeluarkan pengusaha Indonesia.

Sebab, kenyataannya, dalam menjalankan bisnis, mereka masih memikul biaya yang tinggi.

Buktinya, Indonesia menempati posisi ke-58 dalam peringkat negara dengan biaya logistik paling efisien sedunia. Singapura menempati urutan kedua setelah Amerika.

Negara ASEAN lain, Malaysia, menempati peringkat ke-16. Sementara itu, Thailand menduduki peringkat ke-29 dan Filipina berada peringkat ke-52.

Berdasar data Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) 2002, persentase biaya logistik di
Indonesia terhadap GDP (gross domestic bruto) cukup tinggi, yaitu 30 persen.

Bandingkan dengan Meksiko yang hanya 14,9 persen; Singapura 13,9 persen; Jepang 11,3 persen; dan Hongkong sekitar 13,7 persen (Jawa Pos, 11/6/2011).

Tentu hal itu akan menjadi pekerjaan rumah yang penting bagi pemerintah sebelum menjalankan megaproyek Masterplan 2011–2025 yang baru saja diluncurkan dan proyek-proyek lain.

Jika diibaratkan dalam dunia medis, masalah biaya logistik itu termasuk virus yang bisa menimbulkan penyakit-penyakit ekonomi, seperti meningkatnya inflasi, bertambahnya jumlah rakyat miskin dan angka pengangguran, ketidakseimbangan neraca pembayaran, serta rendahnya pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, diperlukan langkah analgesik untuk mencegah menyebarnya virus biaya
logistik tersebut.

Ada beberapa langkah dan upaya analgesik yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi virus itu.

Pertama, membenahi masalah transportasi.

Salah satu masalah transportasi di Indonesia adalah kemacetan, terutama di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, dan lain-lain), akibat tidak seimbangnya jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat dengan luas jalan.

Akibatnya, dari sisi biaya angkutan, terjadi pemborosan Rp37 triliun.

Itu ditimbulkan oleh kemacetan yang berdampak pada meningkatnya biaya produksi dan harga barang.

Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Kepala Badan Litbang Kementerian Perhubungan Denny Siahaan bahwa transportasi merupakan komponen biaya terbesar yang harus dikeluarkan dari total biaya logistik.

Komposisi biaya untuk transportasi mencapai 25 persen (Jawa Pos, 11/6/2011).

Sebagai contoh, kerugian material di wilayah DKI Jakarta setiap tahun akibat kemacetan mencapai Rp20,7 triliun.

Itu disebabkan meningkatnya operasional perjalanan, pemakaian BBM, dan perbaikan
lapisan jalan tol (Kompas, 10/6/2011).

Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah kemacetan itu.

Antara lain, menggunakan kebijakan penataan kembali sistem transportasi dan tata ruang kota, pembatasan pemakaian kendaraan berat dan kendaraan pribadi di jalan, pengaturan parkir, serta peningkatan angkutan masal.

Juga yang paling penting adalah perlunya kesepahaman dan sinergitas antar kementerian serta pemerintah pusat dan daerah dalam membangun transportasi.

Kedua, membenahi masalah infrastruktur.

Infrastruktur dinilai sebagai kendala utama bagi kinerja dunia usaha. Pelaku usaha
menilai kualitas infrastruktur masih buruk.

Hanya telepon dan listrik (infrastruktur yang bukan kewenangan pemda) yang dinilai relatif baik oleh pengusaha (Jawa Pos, 8/6/2011).

Tidak salah jika studi yang dilakukan Islamic Development Bank (IDB) pada Juli 2010 mengenai kendala kritis pembangunan infrastruktur di Indonesia berkesimpulan bahwa begitu banyak hambatan dan kendala dalam penyediaan infrastruktur di negeri ini.

Antara lain, lemahnya kapasitas SDM dan kelembagaan, adanya masalah pembebasan lahan, serta lemahnya tata kelola pemerintahan.

Beberapa hal itulah yang mengakibatkan buruknya kualitas infrastruktur di Indonesia sehingga dalam aspek infrastrukturnya, menurut laporan WEF dalam Global Competitiveness Report 2010–2011, Indonesia hanya duduk di posisi ke-82 di antara 139 negara.

Posisi tersebut masih ketinggalan jauh oleh negara-negara ASEAN lain (Singapura peringkat ke-5, Malaysia ke-30, dan Thailand ke-35).

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah infrastruktur itu.

Di antaranya, segera menuntaskan UU Pengadaan Lahan yang masih menjadi perdebatan serta menambah jumlah porsi dana APBN untuk pembangunan infrastruktur yang masih minim.

Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan manajemen perusahaan.

Selain biaya transportasi yang merupakan penyumbang biaya terbesar dari total biaya
logistik, ternyata biaya produksi dan pengawasan merupakan salah satu bagian biaya terbesar (meliputi biaya storage 20 persen, inventory financing 16 persen, packaging 10 persen, serta management & control 11 persen) dari total biaya logistik tersebut.

Keempat, meningkatkan pelayanan birokrasi.

Sudah menjadi masalah klasik bahwa birokrasi di Indonesia cukup rumit dan penuh dengan pungutan-pungutan, pajak, dan segala tetek bengeknya dalam proses perizinan usaha.

Korupsi, tampaknya, sudah mendarah daging dalam setiap sendi kehidupan dunia birokrasi Indonesia, mulai tingkat pusat sampai daerah.

Tak salah jika biaya administrasi menyumbang 18 persen dari total biaya logistik yang harus dikeluarkan oleh pengusaha dalam menjalankan aktivitas bisnis.

Apalagi, sekarang masih terdapat 72 persen dari 1.481 peraturan daerah (perda) di 245
kabupaten-kota yang mengakibatkan ekonomi berbiaya tinggi.

Hal tersebut pada gilirannya akan mengakibatkan keengganan investor untuk menanamkan modal di Indonesia (Republika, 8/6/2011).

Kita semua berharap pemerintah segera membasmi virus biaya logistik tersebut sehingga tidak berlarut-larut menyerang ekonomi Indonesia.

Karena itu, diperlukan partisipasi dan kerja sama yang baik antara pemerintah, pelaku
dunia usaha, dan pihak-pihak lain yang terkait.

Juga yang paling penting, dibutuhkan langkah nyata dan ketegasan dari pemerintah sehingga wabah virus biaya logistik itu tidak semakin menyebar dan menular.

Agus Suman
Guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya
Sumber: radarjogja.co.id