Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Monday, December 7, 2009

TARIF LOCAL FORWARDING DISEPAKATI

Pelanggar batas atas kena sanksi

Jumat, 04/12/2009

JAKARTA: Pelaku usaha di Pelabuhan Tanjung Priok akhirnya menyepakati batas atas biaya lokal jasa pengurusan transportasi (forwarding local charge) di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.

Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Bobby R. Mamahit mengatakan kesepakatan itu mencakup penetapan lima komponen forwarding impor dan tiga komponen forwarding ekspor.

Lima komponen impor terdiri dari biaya container freight station (CFS), biaya delivery order (DO), biaya agen, biaya dokumen, dan biaya administrasi. Adapun, komponen ekspor mencakup biaya CFS, biaya pengapalan, dan biaya bill of lading (B/L).

"Kesepakatan itu dibuat berlaku 6 bulan dan efektif mulai 1 Januari 2010," katanya seusai pertemuan dengan pengguna dan penyedia jasa pengurusan transportasi Pelabuhan Tanjung Priok kemarin.

Kesepakatan itu dibuat oleh Gabungan Forwarder, Penyedia Jasa Logistik, dan Ekspedisi Seluruh Indonesia (Gafeksi) DKI Jaya mewakili penyedia jasa dengan pengguna jasa yang terdiri dari Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), dan Ikatan Eksportir Importir Indonesia (IEI).

Bobby menjelaskan kesepakatan itu segera ditetapkan dalam keputusan Dirjen Perhubungan Laut Dephub dalam beberapa hari ke depan untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.

"Kesepakatan ini merupakan upaya bersama mendapatkan kepastian bagi pengguna jasa pelabuhan mengenai komponen dan besaran tarif batas atas biaya lokal jasa pengurusan transportasi," paparnya.


Kena sanksi

Dia menegaskan jika penyedia dan pengguna jasa melanggar kesepakatan itu, pihaknya akan mengenakan sanksi yang akan diatur dalam keputusan Dirjen Perhubungan Laut.

"Secara teknis akan ada sanksi yang akan kami atur dengan pelaksana sanksi oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta," tutur Bobby.

Kepala Bidang Transportasi Laut dan Udara Dinas Perhubungan DKI Jakarta Turipno menegaskan pihaknya siap mengeluarkan sanksi jika penyedia dan pengguna jasa melanggar kesepakatan bersama itu.

"Izin forwarder kami yang mengeluarkan maka sanksi kami pelaksananya," katanya.

Ketua DPP IEI Amalia Achyar mengatakan pihaknya menerima kesepakatan bersama itu kendati besaran biaya lokal forwarding masih terlalu tinggi.

"Sebetulnya masih tinggi tetapi reasonable sehingga kami terima, toh nanti ada evaluasi per 6 bulan," ujarnya.

Dia mengharapkan pemerintah berani menertibkan forwarder nakal yang memungut biaya lokal jasa pengurusan transportasi melebihi tarif batas atas yang ditetapkan bersama.

"Selama ini kesepakatan bersama tarif selalu tidak berjalan efektif karena banyak forwarder baru yang tidak masuk dalam Gafeksi. Prinsipnya kami menginginkan ada kepastian hukum dan kepastian tarif," tutur Amalia.

Sementara itu, Wakil Ketua DPW Gafeksi DKI Jakarta Alfansuri menegaskan pihaknya menjamin kesepakatan itu akan diikuti oleh seluruh forwarder di Pelabuhan Tanjung Priok.

"Kami sudah rapat internal dan bertemu dengan forwarder nonanggota yang mendelegasikan kesepakatan dengan pengguna jasa kepada kami," tutur Alfansuri.

Dia menuturkan pihaknya akan menyampaikan kesepakatan bersama kepada seluruh forwarder di Pelabuhan Tanjung Priok baik anggota Gafeksi maupun non-Gafeksi.

Dia menegaskan pihaknya ingin melaksanakan kesepakatan bersama itu agar keberlangsungan usaha dapat terjamin. "Yang jelas, kalau pengguna jasa mati, kami sebagai penyedia jasa juga mati." (hendra.wibawa@bisnis.co.id)



Oleh Hendra Wibawa
Bisnis Indonesia

bisnis.com

URL : http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/transportasi-logistik/1id149786.html

PEMERINTAH DIDESAK BENTUK DEWAN LOGISTIK

Sabtu, 28 Nopember 2009

JAKARTA (Suara Karya): Gabungan Forwader dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) mendesak pemerintah segera membentuk Dewan Logistik Nasional (DLN), sekaligus menetapkan payung hukumnya. Saat ini, bisnis logistik harus mengikuti aturan dari sejumlah departemen/kementerian yang berbeda-beda sehingga hanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha.

Ketua Umum Gafeksi Iskandar Zulkarnaen menyebutkan, selain membentuk DLN, para pelaku bisnis di bidang logistik juga berharap adanya keinginan kuat dari pemerintah dengan menetapkan cetak biru. Ini dilakukan guna menekan beban biaya pengiriman barang yang mencapai 25 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 300 triliun.

Menurut dia, pengusaha logistik membutuhkan kejelasan regulasi dari pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus segera membentuk DLN yang menyinkronisasikan peraturan-peraturan mengenai logistik dari sejumlah instansi pemerintahan. Nantinya, DLN harus diisi dari kalangan profesional, akademisi, dan perwakilan dari Departemen Perdagangan, Departemen Perhubungan, Ditjen Bea dan Cukai, Departemen Pekerjaan Umum, Bappenas, serta Kadin Indonesia.

"Sekarang saja sudah banyak perusahaan angkutan darat, terutama di Batam, yang hampir mati. Ini karena truk-truk dari negara lain juga mengangkut barang di sana," katanya di Jakarta, kemarin (25/11), usai pembukaan acara "Indonesia Supply Chain and Logistic Conference 2009".

Keinginan soal kejelasan payung hukum ini juga diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita. Menurut dia, biaya angkutan yang tinggi berpengaruh pada harga jual suatu barang/jasa di pasaran.

Jika pengelolaan logistik dilakukan secara benar dan terarah, maka dapat menekan biaya menjadi hanya 18 persen dari PDB. Mengingat dalam kondisi kisruh, maka diperlukan adanya pembenahan secara menyeluruh dan revolusi regulasi bidang logistik. Ini dilakukan juga sebagai persiapan untuk menghadapi pasar bebas pada 2012 mendatang.

"Kita harus melakukan revolusi di bidang logistik agar tidak tertinggal dengan negara lain. Di Thailand biaya logistik hanya 16 persen dari PDB, sementara di AS hanya 10 persen. Pemerintah harus cepat mengesahkan cetak biru logistik karena sudah selesai dibahas sejak tahun lalu, dan saat ini berada di Menko Perekonomian," katanya.

Zaldy menjelaskan, pengesahan cetak biru logistik juga untuk mengantisipasi terbitnya peraturan pemerintah (PP) atau undang-undang baru yang bersinggungan dengan sektor logistik. (Syamsuri S)



http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=240906