Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, March 15, 2012

MENYOAL STANDAR HALAL INTERNASIONAL

7 Mei 2009


World Halal Forum (WHF) menggelar pertemuan ke-4 pada 4-5 Mei di Kuala Lumpur, Malaysia bertema Achieving Glogal Halal Integrity. Acara tersebut diperkirakan diikuti sekitar 2000 peserta berasal dari delegasi industri, pemerintahan, organisasi penelitian, universitas, dan asosiasi konsumen.

Hal itu perlu dicermati karena forum tersebut mempresentasikan standar halal internasional yang dirintis Islamic of Commerce and Industry (ICCI) dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) Maret 2009 di Jeddah. Standar internasional itu diharapkan mengefisienkan dan meningkatkan akurasi proses sertifikasi halal. Tentu ini sangat dinantikan pelaku bisnis. Besarnya peluang bisnis produk halal dunia menyita perhatian pelaku bisnis.

Halal Expo menjadi acara tahunan di berbagai negara. Thailand, Australia, dan Selandia Baru dikenal sebagai penghasil produk bersertifikat halal. Akhir 2007 transaksi produk halal sedikitnya US$1 triliun, tumbuh rata-rata 20%-30% per tahun. Pada 2009, transaksi diperkirakan mencapai US$2 triliun.

Sayang, pesatnya bisnis produk halal belum didukung secara kuat dengan pengembangan Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System) dan kelembagaan sertifikasi halal global dan diratifikasi banyak Negara.

Saat ini, lembaga yang ada banyak bersifat nasional, belum terstandardisasi, dan belum ada lembaga auditornya. Di Indonesia, sertifikasi halal ditangani Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Di luar negeri banyak lembaga sertifikasi halal dalam satu negara. Riaz dan Caudry (2004) mencatat dari 40 lembaga sertifikasi halal di AS tahun 2001, hanya 16 lembaga yang diakui Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim), bahkan hanya lima yang diakui MUI. Ini bukan tanpa alasan. Lembaga sertifikasi halal luar negeri ada yang ditangani hanya 2-3 orang dan diragukan kredibilitasnya.

Oleh karena itu, dinilai tepat langkah LPPOM MUI mengeluarkan 39 lembaga sertifikasi halal luar negeri yang direkomendasi di antaranya di Australia 11, Selandia Baru 3, AS 8, Belanda 3, Irlandia 4. Sementara itu, di Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, dan Jepang masing-masing 1 lembaga direkomendasi. Kondisi itu akan menggerus kepercayaan konsumen dan mempersulit produsen dan pebisnis produk halal antarnegara.

Sertifikat halal dari lembaga sertifikasi halal suatu negara, sering ditolak majelis ulama dan atau lembaga sertifikasi halal negara lain. Lembaga sertifikasi halal yang dipercaya negara pengimpor harus melakukan sertifikasi ulang. Hal ini menyebabkan inefisiensi bagi semua pihak. Perbedaan hasil audit produk dari AS pernah terjadi. Menurut Jakim, produk dianggap halal tetapi LPPOM MUI menilai belum memenuhi standar halal. Jika terus berlangsung, hak konsumen memperoleh jaminan produk halal akan terabaikan.

Upaya penyatuan

Upaya penyatuan standar halal telah dilakukan. Pada 2003, MUI mengintroduksi standardisasi lembaga fatwa halal bagi ASEAN. Februari 2004 anggota World Halal Council (WHC), yang sekarang dipimpin ketua LPOM MUI, menyepakati persyaratan lembaga sertifikasi halal dan prosedur umum sertifikasi halal. Demikian juga prosedur standar untuk audit flavor, produk mikrobial, dan penyembelihan hewan. Pada konferensi WHC 2007 di Malaysia telah dicapai standardisasi sertifikasi halal bagi anggotanya.

Pada 2008, WHF ke-3 memberi mandat International Halal Integrity Alliance (IHI Alliance) untuk mengembangkan standar halal internasional. Hasilnya dipresentasikan pada WHF ke-4 Mei 2009. Menghasilkan standar halal internasional bukan perkara mudah, melainkan tidak mustahil. Beberapa problem di antaranya. Pertama, perbedaan mazhab dan ushul fikih ulama komisi fatwa yang memengaruhi halal tidaknya suatu produk. Misalnya, sebagian ulama menilai semua makanan laut halal, sedang ulama lain menilai udang laut dan belut tidak termasuk makanan halal. Kedua, untuk memastikan kehalalan, auditor harus memeriksa langsung ke semua tempat produksi atau cukup menerima info tertulis jika dianggap tidak terkait dengan bahan berpotensi haram. Ketiga, pendekatan standar audit yang digunakan.

Dalam standar Internasional Organization For Standardization (ISO) ada toleransi seperti standar kualitas. Namun, kehalalan dalam Islam tidak ada toleransi (zero tolerant). Begitu satu bahan atau proses diragukan kehalalannya, harus diganti atau diperbaiki agar memperoleh sertifikat halal. Ke depan, harmonisasi dan standardisasi sertifikasi halal antarlembaga dan atau antarnegara perlu dilakukan bertahap. Kita berharap sertifikasi halal internasional akan diterima berbagai pihak. Hal ini menguntungkan.Pertama, memperjelas model audit lembaga sertifikasi halal. Kedua, efisiensi proses produksi bagi produsen dan pelaku bisnis karena tidak perlu sertifikasi ulang yang menambah biaya. Ketiga, lebih menjamin terpenuhinya hak konsumen.

Selayaknya standar yang dipakai berdasarkan ajaran Islam, karena halal adalah Islamic term dan Islamic law. Dibutuhkan kerja sama lebih erat antarlembaga sertifikasi halal, produsen, ulama, peneliti, dan pemerintah, serta pihak-pihak terkait. Kita berharap berkembangnya standar halal internasional akan mendorong tumbuhnya bisnis produk halal. Dengan ditopang proses sertifikasi halal yang efisien dan akurat akan memudahkan pelaku bisnis dan menguntungkan semua pihak. [cip/Bisnis Indonesia]


http://prasetya.ub.ac.id/berita/Menyoal-standar-halal-internasional-3187-id.html