Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, February 28, 2008

CORPORATE VALUE BERBASIS SYAR'I MODEL ISKANDAR

Rabu, 06 Februari 2008
Oleh : Yuyun Manopol

Dengan keyakinan kuat, Iskandar membangun dan menerapkan nilai-nilai berbasis syar'i ke dalam perusahaannya. Bagaimana penerapannya?

Wanita berkerudung itu terlihat sibuk menerima sejumlah telepon yang tak henti berdering. Ia tidak beranjak dari tempat duduknya, hanya suaranya yang lembut terus terdengar di gagang telepon. Tidak ada yang menduga sepasang kaki gadis berusia 23 tahun bernama Robiatin, resepsionis PT Internusa Hasta Buana (IHB) ini ternyata tak sempurna. Sebuah kecelakaan hebat yang terjadi di rel kereta api pada saat usianya dua tahun tak hanya merenggut salah satu kakinya tapi juga nyawa ibunya.
Atin, demikian ia akrab dipanggil, bukan satu-satunya karyawan cacat di perusahaan kargo itu. Ada 14 orang cacat lainnya yang bekerja di sana. Sebutlah, Abbas dan Wati yang tunarungu. Abbas yang berlatar pendidikan D-3 komputer dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta, bekerja di bagian teknologi informasi. Adapun Wati ditempatkan di bagian dokumentasi.
Tak mudah berkomunikasi dengan Abbas dan Wati, karena keduanya cenderung memakai bahasa isyarat. Namun, bagi Iskandar Zulkarnain, pemilik sekaligus Direktur Utama IHB, bukan masalah besar. Supaya bisa berkomunikasi dengan mereka, ia pun menggunakan bahasa isyarat yang ia pelajari sebelumnya, dikombinasikan dengan bicara.
Iskandar bukan hendak cari perhatian dengan mempekerjakan karyawan cacat. Pria kelahiran Malang 9 September 1961 ini berprinsip bahwa dalam berbisnis harus ada paralel antara bisnis dunia dan akhirat. “Jika kau tanam padi niscaya akan ada rumput di sana. Tapi jika kau tanam rumput maka tidak akan kau dapat padi. Artinya kejarlah akhiratmu, insya Allah duniamu akan dapat,” Iskandar berujar. Menurutnya, apa pun bisnis yang dikerjakan, yang penting kaidah-kaidah syar’i ada di dalamnya.
Seperti di IHB yang memiliki 6 anak perusahaan, 12 cabang dan 450 karyawan, Iskandar sengaja mengalokasikan pekerjaan bagi penyandang cacat. Baginya, corporate social responsibility bukan sekadar berbentuk charity, tapi juga mengalokasikan pekerjaan bagi orang-orang yang tidak beruntung. Toh, selama akal pikiran masih normal, pasti ada pekerjaan yang layak buat mereka.
Ia membuktikannya dengan prestasi yang dicapai Abbas. Anak buahnya itu pernah menjadi pemenang sebuah ajang kompetisi di bidang teknologi informasi dengan kategori web design. Oleh karena itu, Iskandar pun akan menghadiahkan beasiswa S-1 bagi Abbas. Begitu pula Atin, yang bisa menunjukkan kinerjanya yang baik. Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan di Jakarta ini mendapat gaji yang sama dengan karyawan normal di level yang sama.
Tak hanya orang-orang cacat yang dipekerjakan. Pak Is – begitu Iskandar kerap disapa – juga menerapkan ketentuan bahwa karyawan boleh bekerja sampai tua tanpa harus pensiun. Selain itu, ia mengizinkan sesama karyawan dalam satu perusahaan melakukan pernikahan.
Aneh? Bagi manajemen umum sepertinya memang di luar kelaziman. Toh, menurut Iskandar, semua itu ada alasannya. Kenapa usia di atas 55 tahun masih boleh bekerja? Menurut Iskandar, justru pada usia itu orang mengalami usia emas. Mereka lebih mantap dan matang terutama dalam semangat spirtitualnya. Selain itu, mereka memiliki pula pengalaman hidup yang banyak dan bagus. ”Jadi, saya percaya jika diberi kepercayaan, mereka akan lebih serius dan tidak akan bohong sana, bohong sini,” kata Iskandar seraya memberi alasan bahwa yang penting diarahkan yang baik.
Terbukti berdasarkan pengalamannya, mereka yang direkrut di usia tuanya justru bekerja lebih baik, kesehatannya pun bertambah baik, tidak sakit-sakitan. Sehingga istilah post power syndrome tak terjadi pada mereka.
Sebaliknya, jika ada pegawainya yang ingin pensiun dini, Iskandar juga mempersilakan. Bahkan yang bersangkutan boleh mengambil uang pesangon untuk wirausaha sendiri. ”Silakan, enggak apa-apa. Bagi kami yang penting jujur, karena itu nilai kami, tidak neko-neko lempeng saja,” Iskandar bertutur.
Lalu bagaimana jika terjadi penuaan di struktur organisasi perusahaan? Ia mengaku tak khawatir. Alasannya, ”Saya mempercayai natural life seperti kematian, sakit dan lelah di masa tua,” ujarnya. Hal ini ia yakini yang akhirnya membatasi seseorang untuk bekerja meskipun tak ada kebijakan pensiun. Alasan berikutnya, perusahaannya sendiri telah mempersiapkan diri dengan sejumlah isntrumen seperti asuransi dana pensiun di Bank Muamalat Indonesia, tabungan haji, jamsostek dan pesangon. Dia ungkapkan, total karyawan yang berusia 50-60 tahun saat ini sekitar 10 orang. Dan yang terakhir, saat ini secara terus menerus IHB menyiapkan regenerasi dengan cara rekrutmen.
Aep Suparman, GM Forwarding IHB, mengaku senang bergabung di perusahaan yang agamis ini. Pria berusia 59 tahun ini, awalnya GM di Samudera Indonesia. Pengalamannya yang mumpuni di perusahaan pelayaran itu yang membuatnya diterima di IHB tahun 2003. Ketika itu ia baru saja pensiun dari perusahaan sebelumnya. Diungkapkan Aep, saat ini pekerjaannya lebih dititikberatkan pada pembuatan konsep dan kontrol. Toh, karena persoalan lapangan yang kompleks seperti di pelabuhan, ia kerap pula terjun ke lapangan.
Lalu, kebijakan lain yang juga unik adalah kesempatan menikah bagi sesama karyawan yang diterapkan sejak perusahaan berdiri pada 1991. Baginya, ”Kami adalah keluarga besar, jadi silakan yang berjodoh. Saya suka dengan almarhum ayah saya yang senang jodoh-jodohin orang. Ya enggak apa-apa, ya boleh saja. Sok mangga. Saya selalu positive thinking. Insya Allah rezeki dari Allah tak akan diusik sama orang, tak akan ketukar. Ini prinsip-prinsip ilahiah yang harus kami yakini. Haqul yakin,” ujar bungsu dari lima bersaudara pasangan Umar Sudarno dan Sri Ma'iyah ini. Saat ini sudah ada 15 pasang karyawan yang menikah di antara sesama karyawan.
Iskandar mengatakan, banyak perusahaan yang melarang perkawinan antarkaryawan dalam perusahaan. Biasanya lantaran perusahaan khawatir rahasia perusahaan dibuka, cuti terganggu karena bersamaan waktunya, dan berbagai kekhawatiran lain seperti jika ada anak yang sakit berarti keduanya tak bisa optimal, dan sebagainya. ”Tapi kalau saya tidak, tak ada yang saya rahasiakan,” ujarnya tegas. Bahkan ia mengaku selalu terbuka – mengenai pendapatan perusahaan – kepada karyawannya. Pertumbuhan bisnis IHB saat ini mencapai 10%-15% per tahun dengan omset US$ 20-25 juta. Bagi Iskandar, nilai yang paling berat baginya untuk dilaksanakan adalah tidak memberikan komisi kepada orang atau oknum di perusahaan pelanggan, kecuali potongan harga buat perusahaannya, yang diterapkan sejak 1996. Pertimbangannya adalah untuk membuat perusahaan berproduksi lebih banyak dan biaya rendah. Ia juga melarang menggunakan rok mini bagi pekerja pemasaran di lapangan. Tak terkecuali, meng-entertain klien. Sebab, di dunia kargo dan pelayaran sudah umum meng-entertain pelanggan ke pub, minum-minuman keras, pijat dan karaoke. Namun, ia melarang hal ini.
Sewaktu hal ini mulai diterapkan, karyawan terutama bagian pemasaran dan mitra usaha IHB pun ribut dan protes. Namun kemudian, orang-orang yang biasa bermain uang, keluar. ”Enggak apa-apa yang seperti itu enggak sama kami, sementara yang bersama kami yang baik-baik saja,” ujarnya mengenai plus dan minusnya menjalankan nilai syar'i. Ia kemudian memfokuskan diri mengelola hubungan kerja dengan perusahaan-perusahaan yang besar saja. “Saya harus keras dan tangan besi. Dan saya mencontohkan, jika saya ke luar negeri, saya tidak menyuguhkan minuman semacam bir. I am a Muslim. Tidak apa-apa. Apakah saya kehilangan bisnis dari agen baru, enggak. Insya Allah bisnis saya lancar,” ucap Iskandar. Ketika pertama kali menerapkan hal ini penjualannya turun 30%-40% selama setahun pertama. Akan tetapi, di tahun berikutnya kinerja perusahaan merangkak naik. Dan pada 1999, penjualan perusahaan sudah kembali seperti semula. ”Kami harus istiqomah. Jalan terus. Kami harus berkorban. Bentuknya, penurunan omset. Tidak apa-apa, tapi insya Allah akan diganti,” ujar Iskandar sambil menjelaskan bahwa hal yang membuatnya bertahan adalah keinginannya memiliki lingkungan yang bersih.
Untuk mengatasi masalahnya pada saat itu, lanjut Iskandar, IHB tak mencari pelanggan kecil, melainkan perusahaan atau pabrik yang besar. Ia juga langsung menghadap ke pemiliknya dan menceritakan kondisi di lapangan. Dan mereka jadi sadar tentang kondisi ini. Dalam perjanjian termuat tak ada parsel, makan siang bersama, dan sebagainya. ”Itu mereka yang buat. Jika saya setuju, saya tinggal tanda tangan. Dan itu saya bawa ke teman-teman. Mereka (perusahaan besar – Red.) punya nilai. Mereka jernih, bersih,” ujarnya. Bahkan baru-baru ini, ada teman dari Korea yang akan membuka pelabuhan baru, mengambil 6 hektare tanah untuk gudang baru. Mitra dari Korea ini mengajaknya kerja sama kemitraan. Ia melihat ini merupakan berkah.
Dijelaskan Iskandar, IHB memiliki nilai korporat (corporate value) yang ingin terus dikembangkan. Nilai korporat itu adalah trusworthy is forever, honest, responsible, discipline, fast & accurate, teamwork, fairness, visionary, empathy, and grateful. “Kami butuh nilai dan ini bisa dipercaya, sehingga orang akhirnya respek,” kata Iskandar.
Ia sendiri meyakini nilai yang ia kembangkan merupakan bagian dari syar'i. ”Saya ingin memberikan nilai, bekerja sebagai ibadah. Jadi tak semata-mata mencari duniawi, tapi juga mencari nafkah yang halal untuk dimakan, dikasih ke anak dan istrinya,” Iskandar bertutur. Ia meyakini, dalam menjalankan usaha, klaim selalu ada tapi selalu bisa diselesaikan. ”Saya senang mereka – yang tua dan muda – di sini. Saya senang keberkahan bagi perusahaan ini, insya Allah karena doa-doa mereka,” ujarnya.
Menurut Adiwarman Karim, konsultan keuangan syariah, sebenarnya sejumlah perusahaan di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Contohnya, McDonald's dan Bank Muamalat Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari kepedulian perusahaan. ”Ini bisa mengangkat citra perusahaan,” ujarnya. Adapun perkawinan antarkaryawan di perusahaan yang sama saat ini banyak terjadi di lembaga perbankan. Dulu sebelum krisis, lanjut Adiwarman, hal ini dilarang. Alasannya, untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Namun ketika dilakukan merger besar-besaran, banyak pasangan yang tadinya bekerja di bank berbeda malah terlebur dalam perusahaan yang sama. Dan, hal ini akhirnya bisa diterima. Ada plus-minusnya, pasutri bekerja di perusahaan yang sama. Plusnya, mereka bisa saling tolong-menolong. Bahkan di luar jam kerja mereka masih mendiskusikan persoalan kantor.
Walau demikian, ia sendiri menyarankan agar mereka yang berpasangan tak bekerja di lokasi yang sama. Jadi bisa di satu perusahaan tapi beda kantor atau lokasi. Hal ini untuk mencegah adanya toleransi dalam prosedur kerja dan hubungan pekerjaan karena faktor emosional. Persoalan terakhir ini menjadi faktor minusnya.
Adapun tentang bekerja seumur hidup tanpa pembatasan waktu, Adiwarman melihat hal itu merupakan langkah yang berani. Ia malah bertanya, bagaimana organisasi diremajakan di perusahaan itu? Ia melihat soal usia ini tak menjadi persoalan di institusi perguruan tinggi, tapi hal ini hanya dimungkinkan pada level tertentu seperti dosen. Ia tak bisa membayangkan terjadinya penggelembungan karyawan di perusahaan ketika hal ini dilakukan. ”Di sini yang dikorbankan peremajaan organisasi,” ujarnya.
Adiwarman menyarankan program pensiun tetap dijalankan, sedangkan untuk menghargai karyawan yang sudah pensiun bisa dilakukan dengan cara, misalnya, mengundang mereka dalam acara social gathering atau ulang tahun kantor.
Alasan ini juga berlaku bagi rekrutmen karyawan yang sudah pensiun. Toh, lanjutnya, untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan perlu dibuat sebuah cara yang baik. Awalnya, sistemnya harus dibuat dan jelas. Tujuannya agar karyawan mengerti dan paham. Jika sudah paham, selanjutnya pikirkan risikonya. Dan terakhir, pikirkan cara mengatasinya. Alasannya, tak ada sistem yang sempurna. Jadi, jangan sampai risiko ini dimanfaatkan.
Majalah SWA, edisi 03/XXIV/6-20 Februari 2008