Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Wednesday, July 4, 2007

Memangkas Biaya Siluman Layanan Kargo di Priok (1)

Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Oleh : Iskandar Zulkarnain (Dirut Internusa Cargo & Wakil Ketua Umum DPP Gafeksi)

JAKARTA (Bisnis Indonesia) : Sebagai pengurus asosiasi sekaligus pelaku bisnis, saya turut prihatin dengan situasi belakangan ini yang datang dari kelompok yang ramai menolak kesepakatan tarif pelayanan kargo di lini 2 Pelabuhan Tanjung Priok.


Padahal penetapan tarif LCL (less-than container load) itu telah digodok oleh Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor yang diketuai oleh Menko Bidang Perekonomian dengan Wakil Ketua merangkap Ketua Harian Menteri Perhubungan. Tim itu juga beranggotakan para menteri bidang perekonomian, Panglima TNI, Kapolri dan Jaksa Agung.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) turut serta dalam jajaran Tim Pelaksana yang menyelenggarakan tugas sehari-hari. Penetapan tim ini berdasarkan pada Keppres No. 54/2002 juncto Keppres No. 24/2005.

Kesepakatan dibuat pada 29 Mei 2007 oleh enam asosiasi, yakni Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi), Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Jaya, Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Tanjung Priok, dan Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Seluruh Indonesia (Aptesindo).

Setelah berhasil menurunkan biaya THC (terminal handling charge), kini giliran tarif LCL yang mendapat sorotan, mengingat tingginya komponen biaya yang terdiri dari biaya forwarding dan gudang.

Perlu diketahui bahwa di samping mengimpor secara FCL (full container load), produsen barang ekspor juga mengimpor bahan baku atau bahan penolongnya secara LCL. Masalahnya, untuk importasi bahan baku secara LCL ini para produsen dibebani biaya yang sangat tinggi di pelabuhan utama di Indonesia, khususnya di Tanjung Priok.

Komponen biayanya pun banyak dan beragam, serta berbeda dari forwarder konsolidator satu dengan lainnya. Begitu juga dengan biaya gudang. Operator gudang atau pengusaha tempat penimbunan sementara (TPS) serta mitra Bea Cukai, dengan sepengetahuan agen konsolidator yang bersangkutan, menagih biaya gudang yang tinggi dengan komponen biaya yang juga banyak, tumpang tindih dan terkesan mengada-ada, sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Banyak yang lupa, bahwa berawalnya biaya tinggi saat ini akibat perang tarif antarforwarder dan imbas dari krisis moneter pada 1997. Saat itu, dolar AS menguat, sedangkan biaya operasional forwarder tetap dalam rupiah.

Akibatnya, forwarder saling berebut agen untuk kargo impor dengan menawarkan kembalian (refund) yang tinggi, sebab berapa pun d¢lar AS yang masuk akan memberikan penghasilan tinggi bila dikalikan dengan kurs waktu itu yang berkisar Rp15.000-Rp20.000 per dolar AS.

Seperti cendawan di musim hujan, selama krismon muncul ratusan forwarder baru yang semuanya berebut dolar AS. Hanya dengan membuka perusahaan dan SDM seadanya, mereka bekerja sebagai international freight forwarder, yang tidak lebih dari sekadar broker.

Bukan anggota
Kenyataannya, banyak forwarder konsolidator merupakan 'pemain' asing, umumnya dari Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong yang punya jaringan dan dukungan finansial yang kuat di luar negeri.

Mereka membuka perusahaan 'alibaba' di Jakarta dengan mengajak mitra lokal, dan bebas beroperasi di pelabuhan hingga menangani juga pekerjaan PPJK (perusahaan penyedia jasa tenaga kerja) dan EMKL (costume clearance). Mereka sebagian besar bukan anggota Gafeksi dan sulit untuk ditertibkan.

Waktu terus berjalan, dan ketika kondisi ekonomi dan kurs mulai stabil, forwarder menjadi sulit memberikan refund seperti semula, mereka kedodoran.

Di sisi lain, harga pasar telanjur rusak, maka bermainlah forwarder-forwarder tadi dengan pihak gudang. Pepatah mengatakan, "wol akan didapat dari biri-biri juga", jadi biaya refund kompensasinya sekarang diambil dari pembebanan biaya gudang kepada pemilik barang.

Timbul istilah 'PBM mitra' yang menagih macam-macam biaya tinggi dengan banyak item sampai belakangan dipermasalahkan. (bersambung)



****************