FPS INDONESIA

Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Tuesday, July 7, 2015

RAMADHAN DI ISKA, DARI KULTUM HINGGA BUKBER

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya saat Ramadhan, di sela-sela bekerja, dilakukan kegiatan yang terkait dengan syi’ar Ramadhan oleh Majelis Taklim Graha Iska (MTI). Ada sedikit perbedaan yang dilakukan pada tahun ini, yaitu selain terpusatnya kegiatan karena tim WQA berkantor di Graha Iska, juga ada penambahan kegiatan berupa “khataman Al-Qur’an”.

Selengkapnya kegiatan tersebut adalah :  kultum Ramadhan (tiap ba’da dzuhur), khataman Al-Qur’an, pengajian jelang buka puasa, santunan yatim piatu dan buka puasa bersama (ifthor jama’i). Selain kultum Ramadhan yang dilakukan tiap hari pada ba’da dzuhur (kecuali Jum’at), seluruh kegiatan dilakukan pada Jum’at, 3 Juli 2015, bertempat di mushalla At-Taqwa dan lobby Graha Iska, Jakarta.

Dalam khataman Al-Qur’an, MTI mendatangkan para tahfidz dari Yayasan Ar-Rihlah, Utan Kayu, Jakarta Timur sebagai pemandu, sementara yayasan yatim yang diundang kali ini adalah dari Yayasan Aisyiyah, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Pengajian atau ceramah Ramadhan sendiri dibawakan oleh Ustadz Ruslan Su’udi dari Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Rekaman kegiatan tersebut dapat dilihat lewat foto-foto berikut :

(JS)

Kultum Ramadhan
Dibawakan oleh pimpinan unit usaha dan karyawan di lingkungan Graha secara bergiliran dan diselingi dengan nara sumber yang didatangkan dari luar. Diadakan setiap ba’da dzuhur (kecuali Jum’at) sebagai ajang pembelajaran dan awareness bahwa penyampaian (dakwah/tabligh) pada dasarnya adalah kewajiban individu (fardhu ‘ain) sekaligus kewajiban kolektif (fardhu kifayah).


Khataman Al-Qur’an
Sesungguhnya kegiatan “khataman” itu sendiri adalah bagian dari kegiatan tadarus Al-Qur’an secara umum di mana di bulan Ramadhan sangat dianjurkan untuk dilakukan. Pemformalan kegiatan ini ditujukan untuk mengingatkan bahwa ketekunan dalam “menderas” Al-Qur’an diharapkan dapat diterapkan dalam bentuk pelaksanaan kegiatan pekerjaan sehari-hari.




Pengajian Jelang Berbuka
Sebagaimana kegiatan pengajian pada umumnya, pengajian jelang berbuka puasa tidak lupa menyisipkan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban puasa Ramadhan.





Buka Puasa Bersama (Ifthor Jama’i)
Merupakan bagian dari upaya terus-menerus dalam mengingatkan kembali pentingnya kebersamaan. Dari hidangan yang tersedia, siapapun boleh mencicipi atau menikmatinya tanpa ada pembedaan.


Santunan Yatim Piatu
Pemberian santunan yatim piatu dilakukan selepas acara buka puasa, disampaikan kepada Pengurus Yayasan yang saat itu juga mengajak para anak-anak yatim yang ikut berbuka puasa.

Monday, June 29, 2015

MEMPERBAIKI "DWELLING TIME" TANJUNG PRIOK

Senin, 29 Juni 2015 20:16 WIB
Oleh 


Editor: Aditia Maruli


COPYRIGHT © ANTARA 2015


Sumber :  http://www.antaranews.com/berita/504188/memperbaiki-dwelling-time-tanjung-priok?utm_source=fly&utm_medium=related&utm_campaign=news

Monday, June 8, 2015

STANDARD CARRIER ALPHA CODE (SCAC)

The Standard Carrier Alpha Code (SCAC) is a unique code used to identify transportation companies. It is typically two to four alphabetic letters long. It was developed by the National Motor Freight Traffic Association in the 1960s to help the transportation industry for computerizing data and records.

Description


The Standard Carrier Alpha Code, a two-to-four digit identification, is used by (in the United States) transportation industry to identify freight carriers in computer systems and shipping documents such as Bill of LadingFreight BillPacking List, and Purchase Order. It is also used by the American National Standards Institute.

SCACs are commonly used (in the United States) by the automobile, petroleum, forest products, and chemical industries; as well as suppliers to retail businesses, carriers engaged in railroad piggyback trailers, and ocean container drayage.

Freight Carriers who participate in the Uniform Intermodal Interchange Agreement (UIIA) are required to maintain a SCAC. Certain groups of SCACs are reserved for specific purposes. Codes ending with the letter "U" are reserved for the identification of freight containers. Codes ending with the letter "X" are reserved for the identification of privately owned railroad cars. Codes ending with the letter "Z" are reserved for the identification of truck chassis and trailers used in intermodal service.

SCAC is also used to identify an ocean carrier or self-filing party, such as a freight forwarder, for the Automated Manifest System used by US Customs and Border Protection for electronic import customs clearance and for manifest transmission as per the USA's "24 Hours Rule" which requires the carrier to transmit a cargo manifest to US Customs at least 24 hours prior to a vessel's departure at port of loading.


Source :  Wikipedia

KADIN BERHARAP ATA CARNET BISA GAIRAHKAN EXIM

02 June, 2015 by Alec Sutaryo


Untuk menggairahkan arus ekspor-impor barang dan merangsang peluang bisnis, Indonesia mengembangkan salah satu fasilitasi perdagangan berupa instrumen kepabeanan untuk melakukan ekspor/impor sementara yang disebut ATA Carnet.

Pemerintah telah menunjuk Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sebagai lembaga yang berwenang untuk menerbitkan perijinan ATA Carnet.

“ATA Carnet merupakan fasilitas ekspor/impor sementara yang memungkinkan pergerakan barang lintas batas tanpa pengenaan bea masuk dan pajak, dengan menggunakan satu dokumen pemasukan (Ata Carnet) yang berlaku internasional sebagai pengganti dokumen pabean nasional dan dijamin oleh rantai jaminan internasional,” terang Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik, Hariyadi B. Sukamdani di Menara Kadin Jakarta,Senin (1/6).

ATA Carnet, kata dia, dapat digunakan untuk barang-barang pameran, alat-alat profesional, barang contoh (sampel) komersial, barang/alat operasi pabrik, barang/alat pendidikan-ilmu pengetahuan-budaya, alat olahraga, hinga barang/alat untuk tujuan kemanusiaan (penyelamatan bencana alam), dll.

Menurut Hariyadi, ATA Carnet dapat dimanfaatkan baik oleh individu, profesional, pengusaha maupun institusi. Dengan sistem ATA Carnet ini kegiatan ekspor dan impor sementara akan lebih mudah, lebih sederhana, lebih murah dan lebih cepat daripada melalui proses kepabeanan.

Secara umum ATA Carnet dapat memberikan kemanfaatan, karena penggunaannya dapat mendorong ekspor, mendorong kegiatan industri, membuka lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Di tempat yang sama, Ketua Indonesia International Chamber of Commerce (ICC) Noke Kiroyan mengatakan, selama bertahun-tahun sistem ATA Carnet telah menyebar dari hanya beberapa negara Eropa Barat yaitu di negara-negara industri, lalu semakin banyak digunakan di negara-negara berkembang.

Lebih dari 178000 ATA Carnet diterbitkan setiap tahunnya, mencakup barang senilai lebih dari US$ 30 miliar per tahun. Ata Carnet lebih dikenal sebagai paspor barang.

Noke mengatakan, Indonesia menjadi negara ke 75 yang memberlakukan ATA Carnet menyusul 3 negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand yang telah lebih dulu mengadopsi sistem ini.

“ATA Carnet sangat bagus untuk kegiatan MICE, promosi perdagangan dan pariwisata utamanya bagi para pelaku bisnis Indonesia yang mengikuti pameran di luar negeri atau pun sebaliknya, pengusaha luar yang ingin melakukan pameran di Indonesia.

Hal ini sangat baik pula untuk merangsang peluang bisnis dan juga investasi yang masuk” ungkap Noke.

Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto menyambut positif dan mengapresiasi pemerintah dalam penunjukkan Kadin sebagai lembaga yang berwenang untuk penerbitan ATA Carnet di Indonesia.

Dia mengharapkan agar para pelaku usaha nasional dapat memanfaatkan fasilitas itu dengan sebaik-baiknya.

“Tentu kita harapkan Kadin akan memberikan layanan yang optimal dan efektif. Bagi pengusaha, ATA Carnet akan mempermudah dalam administrasi karena mengurangi banyaknya dokumen tertulis, mengurangi konflik hukum, mengurangi waktu dan biaya perizinan kepabeanan serta mengurangi resiko.

Kita harapkan pengusaha juga dapat memanfaatkan fasilitas ini dengan baik dan jujur,” pungkas Suryo.

Sebagaimana diketahui, pada Mei 2015 pemerintah telah resmi memberlakukan pembebasan bea masuk sementara bagi barang impor maupun ekspor dengan menggunakan instrumen perdagangan yang dikenal ATA Carnet.

Kebijakan yang termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no. 228 tahun 2014 tersebut, sejatinya berada di bawah kendali Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) selaku eksekutor pemungutan bea masuk dan penerbit dokumen ATA Carnet.

Adapun di dalam penerbitan ATA Carnet, DJBC bersama Kadin Indonesia akan berkoordinasi untuk menyeleksi setiap barang yang memenuhi kriteria dalam PMK no. 386 tahun 2015.

"Kami akan terus seleksi dengan ketat jenis-jenis barang yang bisa menggunakan dokumen ATA Carnet.

Caranya adalah dengan mengenakan uang jaminan dengan nilai sebesar bea masuk barang tersebut di negara tujuan, dengan jangka waktu 36 bulan," kata Hariyadi.

Tak semua dapat 

Meski akan menjadi sentimen positif bagi perdagangan domestik, Hariyadi bilang tak semua barang produk dalam maupun luar negeri akan mendapatkan fasilitas tersebut.

Ia mengatakan, jenis-jenis barang yang bisa memperoleh pembebasan bea masuk ekspor-impor sementara hanyalah alat operasi industri, alat pendidikan, alat olahraga bagi wisatawan, barang untuk tujuan kemanusiaan, serta barang contoh komersial.

Di samping itu dalam mekanisme penerbitan dokumen ATA Carnet perusahaan juga akan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 1,5 juta per dokumen untuk mereka yang tercatat sebagai anggota Kadin, sementara yang bukan akan dibebankan biaya Rp 2,5 juta per dokumen.

"Kami harap, fasilitas ini bisa mendorong kegiatan penelitian, eksplorasi, hingga pengiriman sampel-sampel yang didatangkan dari luar negeri untuk mendukung investasi dan penelitian secara lebih intensif," terang Ketua Umum Kadin Indonesia, Suryo Bambang Sulisto di tempat yang sama.

Asal tahu, dengan adanya kebijakan pembebasan bea masuk Indonesia menjadi negara ke-75 di dunia dan negara ke-3 di Asia Tenggara yang telah mengadopsi kebijakan ATA Carnet.

Berangkat dari hal tersebut, kedepannya Kadin juga harus mematuhi ketentuan-ketentuan dari International Chamber of Commerce - World Custom Organization (ICC - WCF) dalam menerbitkan dokumen ATA Carnet.

"Tantangan kedepannya adalah bagaimana memastikan mana pihak yang paling siap untuk mempertanggungjawabkan dokumen tersebut dan konsistensi dalam mengikuti rule yang berlaku secara internasional.

Tapi kita akan selalu pantau karena kami yakin hal ini akan berdampak baik bagi pertumbuhan dunia usaha domestik," pungkas Hariyadi.

Tata cara

ATA Carnet ini merupakan pengganti dokumen pabean nasional yang memungkinkan pergerakan barang lintas batas tanpa pengenaan bea masuk dan pajak
.

Lantas bagaimana pengusaha bisa mendapatkan fasilitas perdagangan tersebut?

Komite Tetap Kepabeanan Kadin Wirawan Sahli mengatakan, untuk mendapatkan fasilitas tersebut, pengusaha hanya tinggal mengisi formulir yang telah disiapkan oleh Kadin.

Setelah itu, pengusaha menyerahkan uang jaminan yang dihitung berdasarkan bea masuk di negara tujuan tersebut.

"Uang jaminan itu berlaku hingga 36 bulan. Jadi kalau barang kembali (masuk ke Indonesia), uang jaminan akan dikembalikan. Kalau barang tidak kembali, Bea Cukai tagih ke Kadin di negara tujuan dan mereka akan menagih ke Kadin di sini (Indonesia)," katanya di Menara Kadin, Jakarta, Senin (1/6/2015).

Selain uang jaminan, pengusaha juga dimintakan uang administrasi yang besarannya sekitar Rp1,5 juta untuk anggota Kadin dan Rp2,5 juta untuk anggota nonKadin.

"Untuk uang jaminan, orang dapat serahkan jaminan di bank atau tunai. Tapi kalau mau lebih cepat, proses jaminan tunai lebih cepat, tiga hari selesai. Kalau bank kan harus ada akta bank," tandasnya.

Penyederhanaan birokrasi

Direktur Kepabeanan Internasional Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Robert Leonard Marbun mengatakan, sistem ATA Carnet mempunyai titik berat kepada penyederhanaan birokrasi ekspor dan impor barang-barang untuk keperluan tertentu yang memang membutuhkan kecepatan proses birokrasi.

"Maraknya Indonesia sebagai lokasi penyelenggaraan pameran internasional. Selain itu tidak kalah penting juga aturan tersebut dilatarbelakangi untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat Indonesia dalam kegiatan Internasional," kata Robert, saat peluncuran ATA Carnet, di Menara Kadin Jakarta, Senin (1/6/2015).

Menuru Robert, Ditjen Bea Cukai siap menerapkan ATA Carnet, dengan melakukan sosialisasi di kantor pelayanan daerah.

Selain itu Ditjen Bea Cukai juga akan menerbitkan petunjuk pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai.

"Ditjen Bea Cukai telah siap malakukan prosedur ekspor sementara," ungkapnya.

Robert menambahkan, untuk menerapkan sistem tersebut, Ditjen Bea Cukai sudah melakukan studi banding dan penelitian dengan negara yang sudah menerapkan ATA Carnet.

Selain itu, Ditjen Bea Cukai juga akan melakukan evaluasi setiap enam bulan atas penerapan sistem tersebut.

"Kalau ada sedikit masalah kami lakukan diskusi, biasanya 6 bulan baru keliatan, mudah-mudahan tidak ada," tuturnya.

Untuk menjalankan sistem tersebut, Ditjen Bea Cukai akan membuat unit khusus yang menangani ATA Carnet.

Robert mengakui, penerimaan negara mengalami penurunan atas diberlakukannya sistem tersebut. Namun, ia tak bisa menyebutkan besaran penurunannya.

"Ada pengurangan ada mungkin tapi kecil. Tepatnya kami belum tahu kami biasanya pertahun ada evaluasinya," pungkasnya.

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ditunjuk pemerintah menjadi lembaga penerbit paspor arus barang ekspor impor sementara (ATA Carnet).

Selain sebagai lembaga penerbit, Kadin Indonesia juga menjadi lembaga penjamin.

Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Moneter Fiskal dan Kebijakan Publik Kadin Indonesia, Hariyadi B Sukamdani mengatakan, bagi pengusaha ekspor dan impor yang memiliki ATA Carnet ini maka mereka akan mendapat fasilitas impor dan ekspor sementara yang memungkinkan pergerakan barang lintas batas tanpa pengenaan bea masuk dan pajak.

"Setelah empat tahun ATA Carnet diterapkan di Indonesia, akhirnya keinginan pemerintah dan Kadin untuk mengeluarkarkan ATA Carnet jadi kenyataan," kata Hariyadi.

Ia menambahkan, penetapan Kadin menjadi penerbit dan penjamin ATA Carnet tersebut berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 89 Tahun 2014 yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK/.04/2014 tentang eskpor sementara dengan ATA Carnet.

"Selanjutnya PMK Nomor 228 ditindak lanjuti dengan PMK Nomor 386/KMK.04/2015 tentang penunjukan Kadin Indonesia sebagai lembaga penerbit dan penjamin nasional yang akan mengeluarkan ATA Carnet," tuturnya.

Menurutnya, atas dasar tersebut, Kandin Indonesia telah melakukan kesepakatan dan menyerahkan berbagai dokumen kepada Kadin Internasional atau International Chamber Of Commercer (ICC).

"Maka sejak 15 Mei 2015 ICC memberitahukan, kepada 74 anggota yang sudah menerapkan ATA Carnet bahwa Kadin Indonesia telah menjadi lembaga penerbit dan penjamin yang ke-75," jelasnya.

Untuk diketahui, sistem ATA Carnet merupakan hasil kesepakatan dari Konvensi ATA di Istanbul pada 30 Juli 1963 dan diotorisasi oleh International Chamber of Commerce berupa perjanjian perizinan sementara bagi perpindahan sejumlah barang tanpa membutuhkan surat jaminan, pajak maupun formalitas kepabeanan.

Selain proses perpindahan barang menjadi lebih mudah karena prosedurnya cukup sederhana, juga akan menjadi lebih murah karena menghilangkan beban kewajiban pembayaran Value Added Tax pada setiap kali memindahkan sebuah barang dari satu negara ke negara lainnya. 



Monday, May 4, 2015

RISK APPETITE STATEMENTS

Selasa 22 Juli 2014 18:38:56

Setiap organisasi selalu berhadapan dengan risiko ketika berusaha mewujudkan tujuan. Karenanya, manajemen harus selalu melakukan monitoring, pengawasan, dan evaluasi risiko-risiko yang dihadapi organisasi. Untuk bisa melakukan tugas-tugas itu secara akurat, maka organisasi harus mendefinisikan terlebih dahulu: seberapa besar risiko yang bisa diterima organisasi dalam mewujudkan sasaran organisasi tersebut?

Jawaban dari pertanyaan ini disebut dengan Risk Appetite. Definisi dari Risk Appetite ternyata cukup beragam. Akan tetapi secara umum, istilah itu didefinisikan sebagai sejauh mana derajat ketidakpastian yang ingin diambil investor terhadap perubahan negatif terhadap bisnis dan asetnya.

The Orange Book, Oktober 2004, mengatakan Risk Appetite adalah jumlah risiko dari sebuah organisasi yang ingin diambil, ditolerir, atau terekspos pada waktu tertentu. Menurut Kimball, M.S. (Econometrica 61, 589-611, 1993) dalam tulisan berjudul Standard Risk Averson, risk appetite adalah keinginan manajemen organisasi untuk mengambil risiko. Definisi yang lebih menyeluruh disampaikan oleh the Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) yang mengartikan Risk Appetite sebagai derajat risiko, pada level manajemen organisasi, yang ingin diambil oleh organisasi atau entitas lainnya untuk mewujudkan tujuannya (goal).

Dokumen COSO tentang Enterprise Risk Management (ERM) – disebut dengan Integrated framework dari ERM – secara gamblang menyatakan bahwa organisasi harus mengambil risiko dalam meraih tujuannya. Pertanyaannya, berapa banyak (besar) risiko yang ingin diambil oleh manajemen? Bagaimana perilaku manajemen terhadap semua risiko, dan bagaimana organisasi menjamin bahwa unit-unit operasional mengambil risiko sesuai dengan Risk Appetite organisasi tersebut?

Risk Appetite, tulis COSO, mencerminkan filosofi manajemen risiko sebuah entitas organisasi, dan pada gilirannya akan mempengaruhi budaya dan gaya beroperasi entitas tersebut. Risk Appetite menjadi panduan dalam alokasi sumberdaya organisasi, membantu menyelaraskan organisasi, sumberdaya manusia, dan proses dalam membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk merespons dan memantau risiko secara efektif (lihat Tabel 1).

Kita semua mengetahui bahwa setiap perusahaan memiliki visi, nilai-nilai, misi, tujuan, dan strategi yang ingin dicapai. Biasanya semua hal ini ditetapkan dalam proses formulasi strategi perusahaan. Tahap berikutnya adalah fase perencanaan strategis (strategic planning), di mana perusahaan menetapkan beragam sasaran strategis (strategic objective) yang harus diwujudkan dalam berbagai perspektif (finansial dan non-finansial) sebagai penjabaran dari strategi perusahaan. Juga berbagai inisiatif strategis, program, dan anggaran dari periode waktu perencanaan strategis tersebut.

Dalam mewujudkan tujuan dan sasaran strategis tersebut, perusahaan harus mempertimbangkan semua risiko yang bisa muncul dan Risk Appetite terhadap risiko-risiko tersebut. Maka, pemahaman dan kejelasan terhadap Risk Appetite sangat penting saat organisasi menetapkan strategi, sasaran strategis, dan dalam mengalokasikan sumberdaya perusahaan. Jajaran manajemen puncak harus mempertimbangkan Risk Appetite dalam memberikan pesertujuan terhadap rencana strategis, anggaran, produk/jasa/pasar baru, dan berbagai tindakan manajemen lainnya.

Tak pelak lagi, risiko dan strategi saling berkaitan satu sama lain. Salah satunya tidak ada kalau yang lainnya juga tidak ada. Kedua-duanya juga harus dipertimbangkan secara bersamaan. Pertimbangan tentang Risk Appetite tidak hanya perlu dilakukan pada saat eksekusi strategi, tetapi – jauh sebelumnya – sudah diadopsi pada saat proses perumusan strategi perusahaan.

Risk Appetite sebuah organisasi, menurut COSO, paling tidak sangat ditentukan oleh empat faktor utama: Existing Risk Profile, Risk Capacity, Risk Tolerance, dan Attitude Towards Risk.

Risk Profile (Profil Risiko yang Ada) adalah level dan distribusi risiko saat ini, ada pada seluruh organisasi dan pada seluruh kategori risiko. Profil risiko yang ada ini bukanlah faktor penentu Risk Appetite, tapi lebih tepatnya menjadi indikasi dari risiko-risiko yang kini harus dihadapi.

Risk Capacity (Kapasitas Risiko) adalah jumlah risiko di mana entitas organisasi mampu mendukung pencapaian sasarannya. Perusahaan harus mengetahui kapasitasnya untuk mengambil risiko ekstra dalam mewujudkan tujuannya.

Risk Tolerance (Toleransi Terhadap Risiko) merupakan level variasi dari risiko yang ingin diambil entitas organisasi dalam mewujudkan sasarannya.

Sedangkan Attitude Towards Risk (Sikap Terhadap Risiko) adalah sikap organisasi terhadap pertumbuhan, risiko, dan pengembalian hasil (return).

Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mempengaruhi Risk Appetite sebuah organisasi. Perubahan lingkungan yang cepat, termasuk perkembangan teknologi, bisa juga mempengaruhi Risk Appetite sebuah organisasi.

Contoh, perusahaan yang bergerak dalam pengembangan produk-produk berteknologi tinggi tentu menyadari bahwa kegagalan pengembangan produk baru akan mengancam keberlanjutan usaha perusahaan. Otomatis, risiko perusahaan ini tinggi, akan tetapi manajemen dan seluruh karyawan yang terlibat dalam proses pengembangan memahaminya dengan baik.

Paling sering terjadi, perusahaan harus mengambil pekerjaan yang berisiko tinggi karena hanya inilah strategi untuk survive atau demi mengeduk keuntungan maksimal. Bukankah high risk, high return?

Setiap perusahaan harus menetapkan Risk Appetite masing-masing. Hal yang harus diingat adalah cukup deskriptif untuk memandu tindakan dari seluruh bagian organisasi. Itu sebabnya, perusahaan perlu memiliki pernyataan Risk Appetite yang bisa dikomunikasikan (dengan jelas) kepada seluruh organisasi dan tetap relevan dalam waktu yang relatif lama.

Lainnya, ada tiga langkah yang direkomendasikan terkait pernyataan Risk Appetite tersebut. Pertama, manajemen organisasi menyusun pandangan tentang Risk Appetite organisasi secara menyeluruh. Kedua, menerjemahkah pandangan tentang Risk Appetite tersebut ke dalam format tertulis atau lisan sehingga bisa dibagikan ke seluruh bagian organisasi. Ketiga, manajemen memantau Risk Appetite sepanjang waktu, melakukan penyesuaian sesuai dengan kondisi bisnis dan operasional.

Pernyataan Risk Appetite harus memudahkan pemahaman personil dalam mewujudkan sasaran organisasi dalam limit risiko yang bisa diterima (lihat tabel 2). Atas dasar kejelasan pernyataan tersebut, manajemen akan lebih mudah menyusun dan menerapkan kebijakan operasional.

Sejatinya, pernyataan Risk Appetite secara efektif menentukan “penekanan” (tone) dari manajemen risiko. Tujuan strategis organisasi akan lebih mudah dicapai bilamana Risk Appetite tersebut tersambung dengan aspek operasional, kepatuhan, dan pelaporan.

COSO menyebutkan, panjang pernyataan Risk Appetite sebuah organisasi bervariasi satu sama lain. Ada pernyataan yang disampaikan dalam satu kalimat dan ada pula dalam beberapa kalimat.

Berikut adalah contoh pernyataan Risk Appetite sebuah perusahaan peralatan kesehatan:

Perusahaan beroperasi dalam kisaran risiko yang rendah. Risk Appetite terendah berkaitan dengan sasaran keselamatan dan kepatuhan, dan Risk Appetite yang sedikit lebih tinggi berkaitan dengan sasaran strategis, pelaporan, dan operasional. Ini berarti, mengurangi praktik berisiko dalam berbagai bisnis dan lingkungan kerja serta tetap memenuhi kewajiban hukum yang menjadi prioritas dibandingkan sasaran bisnis lainnya.

Prinsipnya, pernyataan Risk Appetite harus jelas namun, sekaligus, memberi inspirasi dan panduan bagi seluruh anggota organisasi.




Thursday, April 9, 2015

TRANSPORT INDUSTRY FACES BIG CONCENTRATION OF CLAIM CAUSES

March 25, 2015
The TT Club is alerting the supply chain industry globally to the stark fact that there is a persistence of claims in a handful of loss types. As a leading international transport, freight and logistics insurance provider, we have found that 66% of claims by number and 62% by value over a five year period can be categorized into just five causes.

 The analysis, which was conducted on 7,000 insurance claims each costing more than US$10,000 recorded between 2010 and 2014, totalling US$425 million, revealed that the same five generic causes identified in its previous five year analysis continue to disrupt and cost dearly. We particularly draw attention to the continuing concentration of these causes, rather than the ordering of each individual cause since these proportions can be volatile, especially in terms of headline claim value.

Risk management and loss prevention initiatives really can be effective in reducing not only losses, but also the largely hidden costs of disruption that ensues. There are many prevention strategies and actions that can be put in place to reduce costs and occurrence of claims, and these should be of paramount importance for the transport industry.

It is notable that traffic accidents and collisions are significant through the transport industry, firstly outside the port/terminal area, where the cost is US$68 million, but also similar incidents within the port/terminal operations, accounting for a further US$57 million in the statistics. Thus, the entire industry – represented by freight forwarders, logistics operators, container shipping lines, and ports and terminals – are exposed. The detailed causes may be varied, but it is striking that these broad causes dominate. The biggest issues for collisions within cargo handling operations continue to be quay crane boom to ship collisions and overall stack collisions. In these instances, emerging technologies can almost eliminate the risks, particularly where combined with automation.

Many traffic incidents and collisions are due to inappropriate speed, but detailed case review frequently demonstrates the impact that effective management culture can have on preventing losses. For example, technology solutions, such as the use of GPS tracking or anti-collision sensors, can only be effective when regularly enforced and integrated into staff management.

The remainder of the top five causes reflect the old chestnuts of theft, fire and cargo packing, which we have repeatedly highlighted. Theft accounts for US$54 million, where the most vulnerable part of the supply chain, unsurprisingly, is while cargo is in transit, although standard site security measures continue to prove critical to reduce theft. A clear emerging risk is cybercrime as increasingly internet capabilities are used to identify, track and intercept cargo.

Fire is the fourth-most costly area, currently accounting for US$44 million, although this is a most volatile cost area, as evidenced by the disparity in proportion between the number and value of claims. By its nature fire can be devastating and threaten the very survival of a business. Its volatility in impact in the supply chain, however, relates to the fact that both on board ships and in warehouses there is concentration of value. In both these scenarios the impact of cargo mis-declaration is a real and continuing concern, although a significant number of fires can be traced to design or maintenance issues. Building fires are mostly caused by electrical faults and mobile equipment fires by hydraulic faults.

Related to some fires, and currently subject of much international focus, was the issue of cargo packing, amounting to US$41 million in the analysis. Sixty-five percent of cargo damage incidents can be attributed in part to poor or incorrect packing. The importance of the industry developing good practice guidance, such as the CTU Code, cannot be under-estimated; the challenge for the supply chain industry is to raise its game in terms of its understanding of good practice and awareness of global requirements.

Conducting a thorough claim analysis is an essential part of our risk management strategy. Advising our members on incident prevention strategies and actions that can be put in place to reduce costs and occurrence is of paramount importance.

By Peregrine Storrs-Fox
Risk Management Director, TT Club | London

Source :  http://www.asiacargonews.com/en/news/detail?id=152