Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Wednesday, March 14, 2012

LOGISTIK HALAL : WACANA DAN INTERPRETASI

Bagi seorang muslim permasalahan halal-haram sesungguhnya adalah masalah yang paling mendasar. Suka atau tidak suka masalah yang satu ini menjadi barometer seberapa besar komitmennya sebagai seorang muslim dalam konteks yang seluas-luasnya.

Seringkali kita memahamkan pengertian halal-haram sebatas pada makanan yang tersedia di depan kita yang kita makan. Bandingkan dengan hal-hal berikut :

- Penghasilan yang didapat, apakah dari sumber halal atau haram?
- Uang yang kita simpan, apakah terkontaminasi dengan riba?
- Kosmetik yang kita gunakan, apakah bahan bakunya berasal dari unsur kimia yang membahayakan?
- Sabun dan detergen, apakah dibuat dari bahan baku yang halal atau haram?
- Dan sebagainya.

Contoh-contoh di atas secara jelas dapat kita lihat bahwa halal dan haram tidak harus secara langsung berkaitan dengan makanan yang sementara ini kita pahami. Namun secara umum, sumber pengharaman secara mendasar dalam syariat Islam adalah sesuatu yang berupa/berasal dari : bangkai, babi dan turunannya, darah, hewan yang disembelih tidak sesuai syariat termasuk yang ditujukan untuk perbuatan syirik, dan khamr.


Prinsip-prinsip tentang Halal-Haram

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) – dan juga ulama-ulama seluruh dunia – Prinsip-prinsip Halal dan Haram adalah sebagai berikut :

1. Pada dasarnya segala sesuatu halal hukumnya (=hukum awalnya).
2. Penghalalan dan pengharaman hanyalah wewenang Allah SWT semata.
3. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram termasuk perilaku syirik terhadap Allah SWT.
4. Sesuatu itu diharamkan karena ia buruk dan berbahaya.
5. Pada sesuatu yang halal sudah terdapat sesuatu yang dengannya tidak lagi membutuhkan yang haram.
6. Sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram maka haram pula hukumnya.
7. Menyiasati yang haram, haram pula hukumnya.
8. Niat baik tidak menghapuskan hukum haram atas sesuatu.
9. Hati-hati terhadap yang subhat agar tidak jatuh ke dalam yang haram.
10. Sesuatu yang haram adalah haram untuk semua.

Prinsip-prinsip di atas diberlakukan bagi Standar Halal di berbagai negara termasuk di Indonesia.


Standar Food Safety dan Standar Halal Food

Kita telah memahami betapa aspek keselamatan (K3) sudah menjadi sebuah kelaziman baik di sector bisnis maupun sector public. Yang dilindungi dalam hal ini tentu saja para pekerja perusahaan bersangkutan atau tenaga kerja dalam skala macro melalui Depnaker atau bahkan skala global melalui Organisasi Buruh Dunia (ILO). Dengan kata lain, target keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sejatinya ditujukan buat para pekerja melalui upaya-upaya perlindungan terhadapnya.

Aspek keselamatan/keamanan dan perlindungan yang semula terbatas pada para pekerja pada umumnya, kini meluas pada perlindungan konsumen atas suatu produk. Untuk menjawab tuntutan ini, ISO telah menerbitkan Standar ISO 22000:2005 tentang Sistem Manajemen Keamanan Pangan (Food safety management systems).

Tidak berhenti sampai di sini, negara-negara muslim yang secara praktis telah melindungi rakyatnya dari makanan-minuman yang haram dan membahayakan kesehatan melakukan serangkaian proteksi dan menetapkan persyaratan (requirements) bahwa makanan, minuman dan produk-produk lain harus memenuhi “standar” halal sesuai dengan syariat Islam. Muncullah antara lain standar-standar :

- MS 1500:2004 Halal Food – Production, Preparation, Handling and Storage – General Guidelines (Malaysia)
- TAS 8400:2007 Halal Food (Thailand)
- MUIS-HC-S002 General Guidelines for Halal Systems (Singapore)
- PS 3733:2010 Halal Food Management Systems (Pakistan)
- ONR 142000 Halal Food – Requirements for the food chain (Austria)
- Whole Supply Chain Standard – oleh European Halal Development Agency (EHDA)
- Standar Halal Belanda, New Zealand, Australia dsb.

Indonesia sendiri lewat Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan Panduan Umum Sistem Jaminan Halal sebagai rujukan khususnya dalam rangka sertifikasi halal baik bagi produk maupun system manajemen.


Halalan-Toyyiban

Lebih jauh mengenai kehalalan kitapun telah mengetahui bahwa kesempurnaannya antara lain didapat dengan menjaga ke-toyyib-annya. Halalan-toyyiban secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai “halal dan baik”. Artinya, dengan mengkonsumsi atau memakai hanya produk yang baik-baik saja (jelas proses penanganan, produksi dan bahan / komposisinya) diharapkan aspek halal mengikutinya.

Aspek halalan-toyyiban didapat dengan kehati-hatian termasuk menjaga jangan sampai yang kita konsumsi/pakai terkontaminasi dengan unsur, produk maupun asesoris lain yang tidak jelas kehalalannya. Perlindungan dari timbulnya kontaminasi antara lain dengan serangkaian pemisahan (dari bahan baku, produk atau asesori yang tidak halal) baik dalam proses penanganan, produksi, penyimpanan, pelabelan, pengangkutan, penyerahan dan proses pekerjaan lain yang termasuk dalam proses supply-chain sejak dari produsen awal (ultimate producers) sampai kepada konsumen akhir (ultimate consumers).

Dalam kaitan dengan proses supply-chain ini Malaysia secara lebih maju telah menerbitkan serangkaian Standar yang merupakan turunan dari Standar MS 1500:2004 Halal Food tersebut di atas, antara lain :

- MS 2400-1:2010 Halalan-Toyyiban Assurance – MS Requirements for Transportation of Goods and/or Cargo Chain Services.

- MS 2400-2:2010 Halalan-Toyyiban Assurance – MS Requirements for Warehousing and Related Activities, dan

- MS 2400-3:2010 Halalan-Toyyiban Assurance Pipeline – MS Requirements for Retailing.

Penanganan transportasi, penyimpanan dan aspek supply-chain lain yang terkait dengan penanganan barang langsung termasuk ke dalam aspek “halalan”, sedangkan sebagian yang lain seperti hygiene, suci dari najis, penggunaan bahan lain (untuk fumigasi container dengan bahan yang tidak dilarang menurut regulasi, misalnya) adalah aspek “toyyiban”. Kelak, aspek toyyiban ini lebih mengemuka daripada halalan.


Apa itu Logistik Halal?

Sebagaimana diuraikan di atas, kehalalan suatu produk tidak terlepas dari mana dan bagaimana suatu produk berasal dan diproses/diproduksi. Jaminan mampu telusur (traceability) merupakan salah satu aspek bahwa kehalalan suatu produk dapat ditelusuri asal-muasalnya, termasuk dalam hal ini adalah proses-proses :

- penyimpanan barang di gudang produsen – bebas kontaminasi dan pencampuran barang yang tidak jelas,
- pengangkutan barang dari gudang produsen ke tempat penimbunan sementara (CFS) – hygiene alat angkut dan bebas kontaminasi/pencampuran, dan najis.
- penyimpanan barang di CFS – bebas kontaminasi/pemisahan produk halal dengan non-halal,
- proses-proses lain yang memperhatikan aspek “bebas kontaminasi” dalam : packing, marking dan labeling termasuk pemisahan container pada saat akan dikapalkan.
- proses penanganan di negara tujuan, dan sebagainya.

Secara definisi Logistik Halal adalah proses penanganan arus bahan / produk melalui rantai pasokan (supply chain) yang sesuai dengan standar halal (Marco Tieman). Logistik halal adalah suatu system yang mendasarkan pada pemisahan (segregation) dan bukan pada deteksi/kecurigaan semata.

Tujuan dari pemisahan antara produk halal dengan non-halal adalah untuk :
1. Menghindari terjadinya kontaminasi (termasuk kontaminasi silang) atas barang-barang.
2. Menghindari penanganan barang yang salah.
3. Memastikan konsistensi penanganan halal sebagaimana diharapkan oleh kaum Muslim sedunia.


Penanganan Barang di Pabean

Satu hal yang “memberatkan” bagi pemberlakuan suatu system logistic halal antara lain adalah paradigma terhadap rendahnya good corporate governance (tata kelola yang baik) dari pemangku kepentingan, dalam hal ini salah satunya adalah instansi Bea dan Cukai kita.

Meskipun ini bukan merupakan suatu justifikasi (pembenaran) atau testimony (penyaksian) bahwa instansi ini benar-benar amburadul, tapi di lapangan terjadi suatu “kelaziman-kelaziman” yang tidak bisa dengan serta-merta dilewati dengan melawan arus. Kalau kita membayangkan instansi Bea Cukai pada saat akan proses customs, secara tidak sadar kita akan menyiapkan sejumlah “dana ekstra” untuk jaga-jaga apakah proses yang harus dilalui menghadapi kendala meskipun dari sisi kelengkapan dokumen dan langkah-langkah yang harus dilalui telah benar dan lengkap adanya.

Mungkin karena sebab inilah salah satunya, Indonesia belum mempunyai Standar SNI tentang kehalalan suatu bahan pangan yang sesungguhnya dinanti-nanti oleh kalangan usaha.


Fokus Logistik Halal adalah Pergerakan Fisik Barang

Rujukan asal dan utama bagi pemberlakuan Sistem Logistik Halal adalah Standar Kehalalan Pangan (=Halal Food). Standar-standar (yang beberapa disebutkan di atas) mengacu pada penanganan barang secara fisik, bukan pada proses-proses yang lain termasuk proses dokumentasi dan proses yang mencakup kewenangan dan kebijakan sebagaimana proses customs clearance yang terjadi di Bea Cukai. Contoh yang sedikit vulgar, misalnya adalah : system halal ini tidak mengaitkan manajemen perusahaan yang ternyata sumber pendanaannya berasal dari uang haram (jual beli narkoba dsb.), sebelum nyata dan terbukti di pengadilan, termasuk penggunaan bank-bank konvensional yang terkontaminasi riba (= bunga bank).

Oleh karena fokusnya terhadap penanganan dan pergerakan fisik barang itulah Penulis menyandingkan kemiripan antara Standar Food Safety (dengan sertifikasi ISO 22000) dengan Standar Halal Food dengan turunan (derivative) Standar Logistik Halal ini. Bedanya, bahwa lingkup sistem Food Safety adalah untuk memastikan bahwa bahan pangan aman pada saat dikonsumsi manusia (to ensure that food is safe at the time of human consumption), sedangkan system Standar Halal Food diterapkan untuk bahan pangan/yang terkait dan produk non-pangan, meliputi serangkaian proses produksi, termasuk penggunaan bahan baku dan penolong, penyimpanan, penyiapan, pengemasan, distribusi, penjualan dan penyajian (to apply to food/food-related and non-food products, covering the various processes involved in their production, including appliances and materials used, storage, preparation, packaging, distribution, sale and display)*).



(JS)


----------------------
*) MUIS-HC-S002 General Guidelines for the Development, Implementation and Management of a Halal System