Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Friday, October 29, 2010

Safety Awareness
BENCANA ALAM DAN SISI LAIN DARI ASPEK KESELAMATAN

Minggu ini kita tersentak dengan berita mengenai dua bencana alam yang berturutan, bencana tsunami Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi setelah sebelumnya diberitakan juga bencana banjir Wasior. Pemberitaan mengenai bencana Merapi terasa lebih masif selain karena relatif lebih dekat dengan kita, pemandangan eksotisme saat bencana itu sendiri terjadi, tapi juga adanya tokoh sentral yang menjadi korban keganasan awan panas Merapi, Mbah Maridjan.

Ada sisi lain yang kiranya patut menjadi perhatian kita yang merupakan bagian dari perilaku yang patut dijadikan budaya kita sehari-hari, yaitu aspek keselamatan (safety). Kembali kepada Mbah Maridjan atau korban Merapi pada umumnya, yang menjadi polemik antara kejadian yang sudah menimpanya maupun pengandaian sekiranya si Mbah dan warga di sekitar rumahnya melakukan evakuasi sedini mungkin saat status Awas diumumkan oleh pihak berwenang. Yang terakhir ini, yaitu pengandaian tersebut meniscayakan keselamatan dari bencana kematian bagi mereka itu. Penyimpulan kasar ini semata-mata dilihat dari kacamata safety terlepas dari hal-hal lain yang kini secara kritis ditulis di media-media.

Safety Condition dan Safety Action

Dua hal yang harus selalu kita perhatikan manakala kita berada di suatu tempat, melakukan suatu aktivitas atau pekerjaan, berada dalam area beresiko, dan hal-hal lain di luar situasi normal adalah mengenai safety condition (keadaan aman) dan safety action (tindakan aman). Bahkan di situasi normalpun kita senantiasa harus aware apakah suatu area betul-betul dalam keadaan aman.

Kalau kita cermati secara seksama banyak hal di sekitar kita yang tidak berada dalam keadaan aman. Kendaraan umum (bis, kereta, angkot dsb.) yang dalam keadaan penuh sesak, kendaraan roda dua yang memenuhi jalan-jalan yang saling memacu kecepatan, polusi udara yang pekat, tempat penyeberangan yang tidak dilengkapi dengan zebra cross, anak tangga gedung yang tidak dilengkapi karet anti-terpeleset dan banyak hal lain yang tidak tersentuh oleh penanganan antisipasi keselamatan. Keadaan-keadaan tersebut yang dipersepsi dari aspek keselamatan itulah yang disebut dengan safety condition. Kita dapat memulai untuk aware tentang kondisi sekitar kita itu dengan bertanya pada diri kita : apakah kondisi di sekitar kita saat ini aman?

Kondisi beresiko tidak harus selalu dipersepsi sebagai kondisi tidak aman sejauh tahapan-tahapan untuk mengeliminasi atau menurunkan potensi paling beresiko telah dilakukan. Mengemudikan kendaraan bermotor (mobil atau motor) kondisi nature-nya adalah kondisi beresiko atau unsafe condition. Tapi, setelah kita lalui beberapa tahapan, misalnya : pengecekan kendaraan sebelum dijalankan, mengenakan sabuk pengaman (untuk mobil), mengenakan helm (untuk motor), melewati jalan yang layak dan sebagainya, maka tingkat resiko tadi sudah diturunkan pada tingkat yang dapat kita terima atau dalam istilah safety adalah acceptable risk, resiko yang secara umum dapat diterima, bukan “dapat diterima” semaunya kita menterjemahkan.

Safety Action, mengantar kita pada Budaya Safety

Ada satu filter yang paling menentukan dalam menghadapi situasi dan kondisi tidak aman yang ada di sekitar kita yaitu persepsi dan tindakan kita dalam meresponnya yang disebut safety action atau tindakan / perilaku paling aman yang dapat kita lakukan sedini mungkin. Jika kita menghadapi musibah atau bencana, maka waktu menjadi sangat relatif. Sepersekian detik akan mampu menyelamatkan kita dari bahaya dan mungkin kehilangan nyawa atau sebaliknya. Dalam bencana Merapi di atas, status Awas diberlakukan pada tanggal 25 Oktober, sedangkan puncak kejadian terjadi pada 26 Oktober, sangat singkat. Sekiranya para korban tersebut aware dengan kemungkinan paling buruk, kemungkinan selamat menjadi besar. Contoh lain, kita tidak perlu tewas dulu jika hipotesis bahwa jatuh dari ketinggian 10 meter akan mengakibatkan kematian. Dan, serangkaian kejadian dan bencana hendaknya meninggalkan hikmah yang dapat dijadikan pelajaran.

Perilaku aware terhadap aspek keselamatan kiranya sudah harus menjadi bagian dari peri hidup kita sehari-hari. Potensi kemungkinan meledaknya tabung gas di rumah-rumah kita adalah sebuah keniscayaan jika kecerobohan terhadap aspek ini dinafikan. Mungkinkah kita sedang mengantri untuk menjadi korban berikutnya untuk hal yang terakhir itu?

Tim Tanggap Darurat (Emergency Team)

Ketika mengikuti breaking-news dan berita-berita sesudahnya kita menemui beberapa istilah yang sudah kita kenal sebelumnya. Ada tim darurat, ada tim evakuasi, ada jajaran kesehatan, ada tempat berkumpul (baca: tempat pengungsian), ada juga semacam tim akomodasi yang menyediakan keperluan tempat pengungsian dengan segala keperluannya.

Di Graha Iska, Jakarta, tim-tim tersebut telah terbentuk dan bagi yang membaca tulisan ini mudah-mudahan mereka juga aware bahwa suatu saat mereka harus dalam posisi siaga untuk melakukan tugasnya yaitu tugas penyelamatan saat kondisi emergency diberlakukan bagi penghuni Graha Iska. Dalam pemberlakuan kondisi tersebut, tentu saja komando ada di tangan Ketua Tim K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) atau Tim Tanggap Darurat secara lebih khusus. Siapapun penghuni di gedung ini, manakala kondisi ini diberlakukan, maka kepatuhan terhadapnya menjadi suatu keharusan.

Pola yang sama dapat saja diberlakukan khsusnya untuk kantor-kantor cabang yang memiliki lebih dari 2 lantai, misalnya Surabaya, Bandung, Semarang dan cabang yang lainnya dengan menunjuk satu orang atau membentuk satu tim yang dibekali dengan kemampuan penyelamatan (bisa menggunakan alat pemadam, membuat skenario evakuasi dsb.).

Hal lain yang patut diperhatikan terkait tim di atas adalah penyegaran terhadap langkah-langkah darurat penanganan emergency gedung harus senantiasa dilakukan agar kekakuan saat benar-benar terjadi hal yang tidak diinginkan itu tidak terjadi. Penyegaran ini juga ditujukan agar tim senantiasa aware bahwa setiap saat potensi terjadinya emergency bisa saja terjadi.


(Jaeroni Setyadhi)