Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Wednesday, July 18, 2012

SOAL MIDDLE CLASS (INCOME) TRAP


Oleh : H. Sutan Zaili Asril
Wartawan Senior
RAMAI soal jebakan kelas me­ne­ngah (middle class income trap) Indonesia muncul se­telah Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pem­bangu­nan Asia (Asian Development Bank) merilis bahwa terjadi pe­ning­katan spektakuler kelas mene­ngah Indonesia dalam sepuluh tahun ter­akhir. Senapas, ramai perdebatan ten­tang apa arti/makna dari muncul ke­las menengah Indonesia secara men­colok tersebut, dan Indonesia ha­rus mewaspadai jebakan kelas me­ne­ngah, terutama karena mayo­ritas dari kelas menengah tersebut dapat jatuh kembali ke kelompok kelas bawah (miskin).

Perkara jebakan kelompok kelas me­nengah Indonesia menjadi materi ku­­liah umum Menteri Badan Usaha Mi­lik Negara (BUMN) Dahlan Iskan yang digelar Pemprov Sumatera Ba­rat di auditorium Gubernuran, Ming­gu (6/7). Bahwa kemunculan kelom­pok kelas menengah Indonesia da­lam jumlah sangat besar, sebe­tulnya po­sitif. Tapi sebaliknya, menim­bul­kan jebakan-jebakan yang mere­pot­kan pemerintah dan mena­han gerak Indonesia menjadi negara maju. Dah­l­an menyebutkan sejumlah kele­ma­han kalangan kelas menengah Indonesia yang merepotkan, antara lain menyebabkan/menahan laju Indonesia menjadi negara maju.

Ia mencontohkan, kelas mene­ngah di lingkungan birokrasi peme­rin­tah—termasuk di ling­kungan BUMN—cenderung birokratis. Biro­krasi diharapkan me­lan­car­kan, responsif/mem­perce­pat proses, tidak mem­bebani/mengenakan biaya tinggi, h­a­rus efisien, dan seterusnya. Contoh praktik birokrasi yang kurang responsif: kini orang Pa­pua makan nasi walau se­mula makan sagu. Ada banyak po­hon sagu, tapi tidak diba­ngun pabrik sagu. Di Papua har­ga gula amat mahal—kare­na manajemen pelabuhan ma­sih membebani—ada 1.000-an ha kebun tebu, tapi tidak diba­ngun pabrik gula. Praktik di pelabuhan harus diter­tibkan, baik manajemen dan biaya mahal. Kapasitas sandar masih kecil harus diting­katkan.

SIAPA yang disebut kelas menengah Indonesia? Kelom­pok kelas menengah Indonesia le­bih dinisbahkan pada pe­ning­­katan pendapatan dan atau besaran belanja per hari ke­lompok kelas dari mene­ngah (middle class income) yang dirilis Bank Dunia dan ADB. Data ADB antara lain me­­­nye­butkan, kelompok me­ne­ngah Indonesia mening­kat da­lam 10 tahun, dari 45 juta orang pada 1999 menjadi 93 juta orang pada 2009—jumlah ke­las me­n­e­ngah-ba­wah­nya men­jadi 74 per­sen. Jadi, tiap tahun ke­lom­pok kelas me­nengah Indo­nesia bertambah 7 juta orang.

Data Bank Dunia menye­but­kan, jumlah kelas mene­ngah Indonesia mening­kat dari 81 juta jiwa (37,7 persen) pa­da tahun 2003 menjadi 131 juta jiwa pada 2010 (56,5 per­sen). Definisi Bank Dunia me­nyebut kelas menengah adalah pen­duduk dengan penge­lua­ran USD 2 sampai USD 20 atau Rp 19.000 sampai Rp 190.000/hari (asumsi satu dolar Rp 9.500). Berdasar data Bank Dunia, jumlah kelompok ke­las menengah Indonesia me­ning­kat 7 juta/tahun dalam 10 ta­hun terakhir. Sayang, ke­las me­­nengah Indonesia di­domi­na­si mereka yang bera­da di tingkat pengeluaran USD 2-6 per hari (Rp 19.000-Rp 57.000/hari) yang sangat de­kat dengan kelas bawah (mis­kin).

Kelompok berpendapatan (berbelanja) kelas menengah tersebut masih dibagi lagi be­be­rapa bagian, yaitu pe­nge­luaran harian pada seki­tar USD 2-4 sebanyak 38,5 persen (yang sangat dominan), yang pengeluaran harian pada seki­tar USD 4-USD 6 sebesar 11,7 persen, yang pengeluaran ha­rian sekitar USD 6-USD 10 se­be­sar 5 persen, dan pe­nge­lua­ran harian pada seki­tar USD 10-20 sebesar 1,3 persen. Dan, je­bakan yang dimaksud adalah k­e­lompok menengah bawah de­ngan pengeluaran USD 2-4/hari sewaktu-waktu dapat kem­bali jatuh menjadi kelom­pok bawah atau miskin bila­ma­na perekonomian Indonesia relatif stagnan/tidak ber­tum­buh baik.

Dalam laporan medio 2010, ADB mengukur jumlah/besaran kelas menengah di Asia—termasuk kelas me­ne­ngah Indoneia—ber­dasarkan ting­kat penge­luaran 2-20 dollar AS/kapita/hari. ADB juga masih membagi kelompok kelas menengah ke dalam ke­lompok kelas menengah-ba­wah, kelompok kelas mene­ngah-tengah, dan kelom­pok ke­las menengah-atas. Kelas me­n­engah-bawah berpe­nge­luaran 2-4 dolar AS (pada sekitar Rp 540.000-Rp 1,1 juta per orang/bulan atau Rp 2,16 juta-Rp 4,4 juta per keluarga de­ngan 4 anggota); kelas me­ne­ngah-tengah 4-10 dolar AS (Rp 1,1 juta-Rp 2,7 juta/orang/bulan); dan kelas menengah-atas 10-20 dolar AS (Rp 2,7 juta-Rp 5,4 juta/orang/bulan).

DALAM buku ADB, Diagnosing the Indonesian Eco­nomy: Toward Inclusive and Green Growth, diluncurkan di Jakarta, Senin (26/3), antara lain disebutkan Indonesia per­lu mengembangkan sektor ma­nufaktur, jasa, dan per­ta­nian, untuk me­ningkatkan la­pa­ngan kerja dan me­ngurangi ke­miskinan. Seka­lipun eko­nomi Indonesia telah men­jadi salah satu yang menunjukkan performa terbaik di kawasan da­lam beberapa tahun bela­ka­ngan, Indonesia masih ha­rus meng­hadapi sejumlah tanta­ngan di dalam mencapai taha­pan ekonomi negara ber­pen­da­patan menengah-atas.
Buku ADB antara lain fo­kus pada penjelasan tentang tantangan Indonesia dalam men­transformasi industri mem­­perbaiki berbagai keku­ra­ngan dalam infrastruktur, mengembangkan sumber daya ma­nusia (SDM), dan me­m­per­kuat pemerintahan daerah (pro­vinsi dan kabupaten/ko­ta). Dikatakan, Indonesia tidak bisa bertahan pada kondisi per­ekonomian saat ini seka­li­pun cukup baik dengan per­tum­buhan ekonomi rata-rata sebesar 5,9 persen dalam lima tahun terakhir.

ADB melihat kesalahan Indonesia melakukan perubahan yang bisa membuat terjebak da­lam jebakan kelas mene­ngah (a middle income trap). Kon­disi negara di mana ekono­mi kelas menengah tidak lagi bisa bersaing dengan negara ber­penghasilan rendah/ba­wah, yang masih buruk da­lam hal SDM, teknologi, dan infra­struk­tur, sehingga sulit bagi ne­gara untuk mencapai status/ta­hap negara berpenghasilan ting­gi/atas—tantangan Indo­ne­sia melompat menjadi ne­gara maju (istilah yang digu­na­kan Menteri BUMN Dahlan Iskan).

Menurut Menteri Peren­canaan Pembangunan Nasio­nal, Armida Alisjahbana, Indonesia perlu tolok ukur buat mengakselerasi perkem­ba­ngan infrastruktur, pengua­tan kelembagaan, peningkatan in­vestasi swasta, mengatasi ke­takseimbangan geografis da­lam meningkatkan lapangan ker­ja dan kesempatan pendi­di­kan. Buku ADB disebut mem­­beri kontribusi atau sum­ber pengetahuan bagi pembuat ke­­­bijakan, akademisi mem­pe­la­jari perkembangan/eko­no­mi, dan masyarakat me­maha­mi hambatan dihadapi negara menuju visi Indonesia yang maju/sejahtera. Pemerintah meng­klaim ekonomi RI terbe­sar ke-16 di dunia dan produk domestik bruto (PDB) 3.000 dolar AS per kapita. Tahun 2012, target pertumbuhan ekonomi 6,4 persen, meski dibayangi inflasi relatif tinggi.

KELOMPOK kelas mene­ngah Indonesia, sesung­guhnya da­lam perdebatan, baik dalam kri­teria digunakan maupun fe­nomena kelas menengah sen­diri. Dalam tulisan ini, kita ti­dak perlu memasuki per­gu­la­tan/perdebatan Marx de­ngan Weber, misalnya. Pers­pektif Karl Heinrich Marx (1818-1883) hanya percaya dua kelas yang saling bertentangan: kaum borjuis/capital atau kaum pemilik modal dengan kaum buruh atau proletar/working class. Maximilian Weber (1864-1920) menga­ta­kan, kelas menengah tak ha­rus/per­lu diukur melalui ke­pem­i­likan faktor produksi (ka­pital). Ukuran digunakan bisa gabu­ngan pendapatan, pen­didikan, status sosial—semua hal bisa di­kuantifikasi. Meng­gu­nakan da­ta statistik, dilihat dari pen­dapatan berada antara ke­lompok pendapatan kaya dan di bawah garis kemis­kinan.

Barington More menyebut peran kelas menengah dalam sejarah demokrasi di banyak ne­gara mengajukan tiga rumus be­n­tuk negara. Pertama, kelas atas ditambah kelas bawah meng­hasilkan pemerintahan se­perti pemerintah komunis Uni Soviet. Kedua, kelas atas di­tambah kelas menengah yang berkuasa, maka peme­rintah fasis yang dihasilkan seperti Jerman dan Jepang. Ketiga, jika gabungan kelas menengah dan kelas bawah, yang muncul pemerintahan demokrasi seperti Inggris, Perancis, dan AS. Barrington hanya sampai rumusan pembentukan demokrasi.

Penjelasan detail dibuat Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin. Le­nin merujuk Marx, bahwa re­volusi akan terjadi jika pe­nin­dasan terhadap buruh se­ca­ra masif, dan buruh me­la­wan untuk revolusi. Hipotesis ini tidak terjadi, karena bagi Lenin ala­san kelas buruh tidak mela­wan karena tidak ada yang memberitahu.

Di Indonesia, kalau ada go­longan kelas menengah yang bercirikan independent thinkers, jumlahnya sangat sedikit. Per­nah organisasi bernama Se­rikat Mahasiswa untuk De­mokrasi (SMID) pada tahun 1990-an, lalu bermetamorfosis men­jadi Partai Rakyat Demo­kratik (PRD). Sebagian besar tak meminati politik/tak pe­duli pada kondisi bangsa dan ne­garanya. Mereka bahkan cen­derung fatalistis. Kaum ke­las menengah Indonesia le­bih berorientasi pada diri sen­diri. Apalagi menghadapi ke­las bawah yang kadang ber­pikir fatalistik—nrimo. Ciri mereka lebih menonjol pada: berbe­lanja di mal/konsumtif—bah­kan memaksakan diri, berse­nang-senang dan libur (bah­kan) ke luar negeri, aktivis sosial/sibuk di jejaring sosial, ti­dak malu menikmati fasilitas sub­sidi pemerintah/mau laya­nan harga murah, dan me­nuntut kebutuhan mereka dipenuhi.

Yang diperdebatkan ten­tang kelas menengah Indonesia, adalah tentang fenomena ke­las menengah itu tidak men­cerminkan perspektif Max Weber, misalnya. Kelompok ke­las menengah Indonesia s­e­cara pendapatan/belanja me­mang masuk dalam kate­gori kelas menengah—walaupun kelompok terbesar adalah ke­lompok kelas menengah ba­wah yang sewaktu-waktu da­pat (kembali) jatuh ke ke­lom­pok miskin, tapi, tidak meme­nuhi berbagai kriteria po­kok lain. Yaitu tentang golo­n­gan yang berpikir inde­penden (independent thinkers) dan atau kepedulian pada bangsa/nega­ranya. Justru, sebagian besar go­longan kelas menengah In­do­nesia apolitik dan lebih berorientasi pada diri mereka sendiri.

Golongan yang berpen­da­patan di atas kelom­pok mis­kin ini, antara lain kala­ngan profe­sional bekerja di sektor jasa dan sektor pro­duksi swas­ta dan peme­rintah (pe­gawai ne­ga­ra/peme­rintah—juga BUMN dan legislatif), kala­ngan profesional—juga bidang pendidikan (guru dan dosen), dan pengusaha usaha kecil-mikro. Artinya, sebagian besar ke­las menengah belum mam­pu menciptakan pem­bentukan atau pemukulan modal dan da­lam mengakses teknologi mo­­dern. Kelas menengah-te­ngah dan ataslah yang dapat hi­dup di atas garis subsistem, bahkan mereka menabung dan mem­beli barang di luar kebu­tuhan dasar. (*)



Friday, July 6, 2012

FORWARDER LOKAL CEMASKAN LIBERALISASI LOGISTIK 2013


Oleh JIBI
Senin, 02 Juli 2012 | 17:28 WIB

JAKARTA: Perusahaan forwarder nasional meminta jaminan dan proteksi pemerintah RI agar perusahaan multinasional/asing tidak menggarap usaha logistik domestik menjelang diberlakukannya liberalisasi dan integrasi logistik Asean 2013.

Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (Alfi) DKI Jakarta Sofian Pane mengatakan, kegiatan usaha forwarder dan logistik domestik yang selama ini dikuasai pemain lokal berpotensi tergerus jika tidak ada proteksi melalui regulasi yang  tegas dari pemerintah dan instansi terkait di sektor tersebut.

"Kalau di Pelayaran diberlakukan asas cabotage dimana muatan domestik wajib diangkut kapal bernendera merah putih. Kami berharap di sektor logistik domestik juga di proteksi hal yang sama," ujarnya, Senin (2/7/2012).

Dia mengatakan hingga saat ini usaha logistik dan forwarder nasional menguasai lebih 90% market aktivitas penanganan logistik domestik melalui moda angkutan laut maupun udara, sedangkan untuk penanganan logistik ocean going atau internasional baru mampu meraih market 10%-15%.

"Market kegiatan logistik domestik masih menjadi andalan eksistensi usaha nasional di sektor tersebut," tuturnya.

Sofian yang juga Direktur PT Intermoda Natama Trans itu mengatakan, di Indonesia saat ini setidaknya terdapat 3.500 perusahaan forwarder dengan berbagai skala kegiatan mulai dari yang kecil, menengah hingga besar dengan kesiapan SDM, permodalan dan networking yang berbeda-beda.

"Di DKI Jakarta saja yang tercatat terdapat 1.200 perusahaan," ujarnya.

Kendati begitu untuk kegiatan logistik dan forwarder di DKI Jakarta khususnya yang melayani penanganan lalu lintas kargo dari dan Pelabuhan Tanjung Priok, telah ada proteksi dari Pemprov DKI melalui Peraturan Gubernur No:123/2010 tentang penerbitan SIUP Jasa Pengursan Transportasi (JPT) di DKI Jakarta.

Pergub tersebut, kata dia, mengharuskan rekomendasi ALFI DKI sebelum penerbitan izin oleh dinas perhubungan DKI Jakarta.

"Kami perketat pemberian rekomendasi tersebut, jika perusahaan multinasional atau asing maka harus menggandeng mitra lokal dengan porsi yang lokal yang lebih besar," ujarnya.

Namun, imbuh dia, proteksi di tingkat lokal tersebut hendaknya di lakukan juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia, sebab penanganan logistik tidak hanya dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok meskipun 65% lalu lintas barang ekspor impor maupun antar pulau di lakukan melalui Priok.

"Perlu diberlakukan standar regulasi yang sifatnya nasional, sebab proteksi usaha forwarder nasional tidak cukup hanya di dilakukan di pelabuhan Tanjung Priok, untuk menghadapi liberalisasi logistik Asean 2013," paparnya. (k1/ra).