Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, August 16, 2007

KPPU Investigasi Biaya Tinggi di Tanjung Priok

14 Agustus 2007

JAKARTA, Bisnis Indonesia: Sedikitnya 15 perusahaan akan dimintai keterangan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena diduga mengenakan biaya tinggi untuk pelayanan jasa barang dan peti kemas kepada importir serta tidak melaksanakan kesepakatan tarif lini 2 Pelabuhan Tanjung Priok.

Hal itu diungkapkan Ketua Tim KPPU untuk Evaluasi Kebijakan Kesepakatan Tarif Lini 2 Pelabuhan Tanjung Priok, Ahmad Ramadhan Siregar kepada Bisnis, seusai pertemuan KPPU dengan Gafeksi kemarin.

"Kami akan meminta keterangan dari semua pihak, baik forwarder yang tergabung maupun yang tidak tergabung dengan Gafeksi. Kami juga segera meminta keterangan dari importir guna mengetahui ruang efisiensi dari kesepakatan tarif lini 2," katanya.

Dia menuturkan fokus KPPU juga akan ditujukan untuk mengidentifikasi soal reduksi tarif pelayanan jasa barang dan peti kemas di lini 2, seperti yang diungkapkan Gafeksi pada pertemuan dengan KPPU.

"Soal tarif, kami sepakat memang tarif dari kesepakatan itu lebih efisien bagi importir dan kami mendukung. Tapi soal kesepakatan, ini yang terus masih kami telusuri dan konfirmasi terus dilakukan. Kami juga ingin tahu kenapa ada pihak yang tidak bisa menerapkan penurunan harga ini, apa ada masalah di struktur biaya atau apa."

Ketua bidang Angkutan Laut DPW Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) DKI Jakarta Alfansuri mengatakan pada pertemuan itu Gafeksi menyerahkan bukti-bukti terhadap KPPU yang ditujukan agar lembaga tersebut dapat melihat bahwa kesepakatan itu justru ditujukan untuk menurunkan tarif.

"Kami tunjukkan tarif biaya tinggi yang komponennya sangat beragam dan besarannya juga sangat beragam. Bila dibandingkan dengan tarif kesepakatan sangat berbeda," tutur Alfansuri.

Dia mengungkapkan biaya gudang yang diterapkan oleh anggota Gafeksi hanya Rp200.000, namun per Agustus ini ada yang mengenakan tarif Rp2 juta untuk layanan yang sama.

Penurunan biaya
Dia mengatakan pihaknya telah menyampaikan kepada KPPU bahwa kesepakatan tarif itu ditujukan bagi efisiensi ekonomi nasional melalui penurunan biaya. Gafeksi juga mengemukakan bahwa bisnis tarif pelayanan jasa barang dan peti kemas di lini 2 tidak bisa mengikuti mekanisme pasar karena importir tidak memiliki kebebasan memilih konsolidator. Pasalnya, kontainer importir berada di tangan konsolidator.

"Importir akan membayar berapa pun karena barangnya ada di tangan agen konsolidator. Tapi, kesepakatan ini untuk menurunkan biaya, bukan menaikkan."

Selain pelaku usaha yang menerapkan biaya tinggi, KPPU juga mengungkapkan pada Gafeksi bahwa lembaga tersebut segera memanggil importir yang mau membayar di atas harga kesepakatan.

"KPPU akan terjun ke lapangan dan mencari informasi langsung dari importir yang terkena biaya tinggi. KPPU sepakat bahwa tarif dari kesepakatan itu sejalan dengan tujuan KPPU guna efisiensi ekonomi negara dan kami sangat peduli pada biaya tinggi," tandas Ahmad.

Dalam hal ini KPPU melakukan pengawasan terhadap sejumlah kesepakatan tarif di Tanjung Priok guna mengkaji dugaan persaingan usaha tidak sehat.

Sebelumnya, Ketua KPPU M. Iqbal mengungkapkan pemantauan kesepakatan tarif pelayanan jasa barang dan peti kemas di lini 2 Tanjung Priok ditujukan untuk memantau kesepakatan tarif jasa kapal dan bongkar muat di pelabuhan terbesar di Indonesia itu.

Efisiensi Pelabuhan Dorong Daya Saing

14 Agustus 2007

JAKARTA, Bisnis Indonesia: Kelancaran arus barang di pelabuhan, terutama Tanjung Priok, adalah syarat mutlak untuk meningkatkan daya saing nasional dalam jaringan produksi global.

"Namun target itu akan sia-sia jika tidak dibarengi kesungguhan dalam merealisasikan kelancaran arus barang di pelabuhan," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi dalam dialog terbatas Menata Sistem Arus Barang dan Dokumen di Pelabuhan Tanjung Priok, pekan lalu.

Pelabuhan Tanjung Priok, kata dia, berperan penting dalam meningkatkan daya saing tersebut, kendati tudingan dan sorotan atas lambannya kinerja operator pelabuhan itu masih saja bergulir.
Hal ini, menurut dia, tak lain karena peran Tanjung Priok sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia, di mana lebih dari 50% pengapalan ekspor impor melalui pelabuhan tersebut.

Di pelabuhan itu juga terdapat dua operator terminal peti kemas terbesar, yakni PT Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan volume produktivitas per tahun rata-rata 1,6 juta TEUs, dan Termial Petikemas (TPS) Koja mencapai 600.000 TEUs per tahun.

Sayangnya, lanjut Anwar, hingga saat ini Tanjung Priok masih menyimpan segudang persoalan, a.l. tata ruang yang belum terintegrasi dengan kepentingan bisnis kepelabuhanan, akses jalan yang semrawut, infrastruktur dan peralatan yang kurang memadai, serta minimnya pemanfaatan teknologi informasi.

Berbagai persoalan itu diyakini sebagai salah satu penyebab munculnya ketidaklancaran arus barang yang efeknya menimbulkan biaya tinggi di pelabuhan.

Biaya tinggi
Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, kontribusi biaya transportasi dan distribusi barang saat ini mencapai 18% terhadap harga produk manufaktur.

Bahkan, jika dilihat dari harga kebutuhan pokok dan pertanian di pasar, biaya untuk transportasi dan distribusi barang mencapai 38% dari harga tersebut.

"Jelas angka ini terlalu tinggi dan akhirnya konsumen di dalam negeri yang paling terbebani, sementara untuk bersaing di tingkat global, produk kita tak mampu berkompetisi."

Jadi, lanjut Anwar, tidak ada cara lain, kelancaran distribusi menjadi kunci dalam kompetisi perdagangan global, di mana kelancaran penanganan barang di pelabuhan merupakan salah satu bagian terpenting dalam mata rantai tersebut.

Pembiaran terhadap kondisi ini, kata Dirjen Bea Cukai, akan menyebabkan daya saing produk nasional semakin merosot di pasar internasional, selain produk nasional makin digerogoti oleh produk negara lain yang lebih efisien dan berdaya saing tinggi.

Berdasarkan Word Competitiveness Yearbook 2007 yang diterbitkan International Institute for Management Development (IMD), peringkat daya saing produk Indonesia tahun ini berada di urutan ke-54 dari 55 negara yang disurvei lembaga tersebut. Padahal pada 2006, Indonesia masih menempati urutan ke-52 dan urutan ke 50 pada 2005.

Di bidang kepelabuhanan, dalam kajian Bank Dunia yang dirilis pada 2004, tingkat efisiensi pelabuhan di Indonesia berada pada urutan keempat terbawah di dunia, setelah Vietnam, Filipina, dan Peru. (k1)