Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Tuesday, August 12, 2008

ANTUSIASME, MODAL BAGI TUMBUHNYA SELF-IMPROVEMENT

(Catatan dari Penyelenggaraan BFC-1 Jakarta dan Surabaya)


Ketika mengamati hasil Post Test Pelatihan Basic Freight Forwarding 1 yang diselenggarakan kantor pusat Jakarta beberapa waktu yang lalu, saya mencoba menghubungkan dengan “suasana hati” dari peserta yang memperoleh nilai yang tinggi pada saat pelaksanaan pelatihan ini. Dari hasil pengamatan diperoleh gambaran bahwa mereka yang memperoleh nilai tinggi adalah para peserta dengan antusiasme yang tinggi dalam mengikuti pelatihan ini. Terhadap mereka bukan saja apresiasi yang harus diberikan tetapi lebih dari itu kita mempunyai harapan bahwa kader yang memiliki wawasan keilmuan mengenai freight forwarder telah tercipta. Yaitu kader yang memiliki wawasan yang diharapkan mentransformasikannya dalam bentuk skill untuk menunjang pelaksanaan tugas fungsinya sehari-hari dalam bekerja.

Dari Smart People ke Smart Customer
Dalam pelatihan itu sekilas saya sampaikan bahwa studi-studi mengenai transportasi menunjukkan bahwa biaya transportasi dunia semakin menurun dari waktu ke waktu sejalan dengan efisiensi yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi. Artinya, harga jual freight juga akan semakin menurun yang bisa jadi berimplikasi pada menurunnya margin keuntungan. Bandingkan dengan ongkos angkutan umum dalam negeri (“ongkos angkot”) yang justeru mengikuti laju inflasi. Jika margin keuntungan dari penjualan freight ini diniscayakan menurun maka mau tidak mau di samping di tempuh langkah diversifikasi tapi juga penanaman kepada setiap karyawan pentingnya “nilai tambah” yang harus dimilikinya. Insan forwarding dituntut tidak saja menjual jasa multimodal transport saja tapi juga keseluruhan paket transportasi termasuk juga kemampuannya menjual “nilai tambah” tadi dengan bertindak sebagai advisor atau "consultant" transportasi. Inilah smart people yang dibutuhkan di setiap lini organisasi perusahaan ini.

Untuk tujuan itulah pelatihan freight forwarder yang insya Allah dibuat secara berseri ini dilaksanakan.

Lebih dari itu, bisnis transportasi yang dinamis membutuhkan tangan-tangan terampil yang senantiasa memiliki kemampuan yang compliant (=memenuhi) terhadap tidak saja perkembangan pesat transportasi tetapi juga geliat dan arah perdagangan dunia beserta segala aspeknya. Mereka itu harus mengetahui apa itu incoterms 2000, apa saja yang baru dalam UCP 600, apa saja pengecualian dalam coverage marine insurance, apa hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai Principal dan sebagainya dan sebagainya.

Di sisi internal, mereka senantiasa menumbuhkan budaya mutu, yaitu budaya smart yang bekerja sesuai dengan standar dan sasaran yang ditetapkan dan mencapainya dengan rasa tanggung jawab. Mereka di samping melayani “customer”-nya dengan sebaik-baiknya tapi juga mampu bertindak sebagai smart customer, yaitu pihak yang hanya menerima ke dalam prosesnya pekerjaan yang bermutu (benar, tidak cacat, tidak bermasalah, tidak mengandung penyelewengan dsb.) dan dengan cermat pula akan menolak pekerjaan yang tidak beres ke dalam prosesnya.

Antusiasme, Modal bagi Self-Improvement
Kembali ke suasana pelaksanaan pelatihan, di Cabang Surabaya pelatihan Basic Freight Forwarding 1 ini dilaksanakan pada 9 dan 10 Agustus 2008 lalu. Dari kuestioner yang dibagikan di akhir acara, 75% peserta (dari 20 responden) menyatakan mereka SUKA dengan format pelatihan seperti ini (kuestioner nomor 4). 70% dari mereka juga berharap bahwa pelatihan ini dapat menambah wawasan dan mendorong prestasi pada aktivitas kerja mereka (nomor 3). Dan, 65% peserta menganggap bahwa pelatihan seperti ini SANGAT PENTING (nomor 2).

Antusiasme peserta juga tergambar dari pernyataan mereka mengenai alokasi waktu yang disediakan. Beberapa menyatakan bahwa waktu yang dialokasikan kurang memadai (20%), bahkan ada yang menjawab tidak memadai (10%). Secara tertulis pada umumnya mereka menghendaki pelatihan ini dilaksanakan secara berkelanjutan. Catatan lain menyatakan, tempat penyelenggaraan dilakukan di tempat lain dari yang sekarang untuk pelatihan mendatang.

Gambaran antusiasme ini juga dituturkan oleh Taufiqurrahman, fasilitator pelaksanaan pelatihan ini. “Beberapa staf yang tidak diikutkan dalam pelatihan ini sempat bertanya, ‘kenapa saya tidak diikutsertakan?’”. Tentu saja, di samping ruang kelas yang terbatas, pelatihan ini juga akan tetap secara rutin dilaksanakan. Jadi, yang belum mendapat giliran akan didaftar untuk pelaksanaan tahun berikutnya.

Di dalam kelas, spirit para peserta dipompa dengan dilontarkannya yel-yel pada setiap awal tiap modul yang dipimpin oleh Sang Ketua Kelas, Soemantri. “Prok ...prok ... prok ........ FPS Indonesia .... prok...prok... prok........ luar biasa!”, demikian gemuruh tepukan tangan dan suara peserta mengantar instruktur yang tidak saja dari Surabaya sendiri (Bpk. Hasto Hanarto dan Hendro) tapi juga datang dari Jakarta (Bpk. Aep Suparman, Erwin Saropie, dan Jaerony Setyadhi).

Acara dua hari yang dibuka oleh Bpk. Aep Suparman, selaku GM Internusa Hasta Buana, dan ditutup oleh Bpk. Hasto Hanarto, Kepala Cabang Surabaya ini diikuti oleh 15 staf/karyawan Cabang Surabaya, 4 orang dari Cabang Denpasar dan 2 orang dari Cabang Semarang dan berlangsung di Hotel Pacific tidak seberapa jauh dari lokasi kantor Cabang Surabaya.

“Menu” pelatihan yang dibuat berdasar pada Standar Gafeksi (Gabungan Freight Forwarder – Ekspedisi Seluruh Indonesia) yang juga direkomendasi oleh UN-ESCAP (United Nation – Economic and Social Commission for Asia and Pacific) ini memang lengkap. Ke-serba-praktis-an materi yang dipresentasikan semata-mata memenuhi tujuan dari pelatihan dasar ini yaitu “memperkenalkan istilah dan definisi dan memberi dasar untuk tingkat lanjutan”. Jadi, jika ada peserta yang masih penasaran soal terlalu praktisnya hand-out (=oleh-oleh) untuk peserta maupu alokasi waktu yang tersedia silakan digali dalam keseharian tugas-fungsi peserta, didiskusikan di milis, dan dimantapkan dalam pelatihan seri mendatang.

Sampai jumpa di kelanjutan pelatihan ini.


(Jaerony Setyadhi)

Thursday, August 7, 2008

SMART CUSTOMER

Bila anda memiliki kesempatan untuk melihat pusat perbelanjaan atau mal, di sana akan dijumpai berbagai cara pedagang untuk menarik pengunjung. Yang umum terlihat adalah pemberian potongan harga alias diskon. Apakah semuanya laku? Ternyata tidak. Barang-barang yang dijual murah belum tentu laku, karena konsumen saat ini tidak akan membeli bila tidak benar-benar membutuhkannya. Selain itu mereka juga tidak akan membelinya bila barang tersebut tidak bermutu baik. Di lain pihak, walaupun barang tersebut bermutu baik, bila harganya kurang kompetitif, juga tidak akan laku.

Konsumen akan memperhatikan aspek mutu dan harga dengan sangat teliti. Yang dicari oleh mereka sebenarnya adalah value, yaitu kondisi yang sangat menguntungkan dilihat dari berbagai segi. Mereka menjadi tidak mudah terpancing oleh berbagai gimmick maupun bentuk tawaran lainnya. Konsumen seperti itu yang dikenal dengan smart customer. Mereka akan menelitinya dengan seksama sebelum memutuskan untuk membeli.

Produk dan Pelanggan

Berbicara mengenai produk atau output tentunya kita semua memahami bahwa produk atau output itu adalah hasil dari sebuah proses. Sama halnya dengan hasil kerja kita yang melalui suatu proses, itu juga merupakan produk atau output. Produk/output semacam inilah yang menjadi “konsumsi” dari pelanggan internal kita. Pengertian ”pelanggan” di sini mengacu pada pola pemasokan yang kita kenal yaitu :

Vendor / Supplier --> Organisasi / Perusahaan --> Pelanggan


Dari pola di atas, maka setiap staff yang juga merupakan penanggung jawab proses yang dilakukannya senantiasa berhubungan dengan Vendor (internal) di satu sisi, yaitu pelaku proses sebelumnya; dan Pelanggan (internal) di sisi yang lain, yaitu pelaku proses sesudahnya. Skema korelasi itu menjadi sebagaimana gambar di bawah ini.

Vendor / Supplier --> Organisasi / Perusahaan --> Pelanggan

Proses Sebelumnya -> Proses yang Anda Lakukan -> Proses Sesudahnya


Dalam kaitan produk dan pelanggan ini, ada dua aspek yang perlu diperhatikan. Aspek pertama, yaitu bagaimana para pelaku proses di dalam perusahaan dapat memahami perilaku pelanggan di luar perusahaan. Aspek kedua adalah bagaimana para pelaku proses tersebut berperilaku sebagai smart customer bagi proses sebelumnya.

Smart customer di dalam perusahaan memiliki dimensi yang sedikit berbeda dengan pelanggan di luar perusahaan. Pelanggan di proses berikutnya harus dapat mewakili kepentingan perusahaan secara keseluruhan. Mereka tidak diharapkan bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri. Artinya, apapun yang dipersyaratkan kepada proses sebelumnya harus bermanfaat bagi proses di mana dia berada dan bagi kseluruhan proses yang lain.

Bila dulu setiap pelaku proses hanya dituntut untuk memahami persyaratan proses di bagiannya, maka kini mereka dituntut untuk memahami keterkaitan seluruh proses. Kesalahan yang diterima dari proses sebelumnya, pada kenyataannya tidak selalu dapat diidentifikasi di satu proses berikutnya, namun bisa saja baru diketahui di beberapa proses setelah itu.

Penerapan tindakan pencegahan yang sistematis sering bermanfaat untuk menghasilkan perilaku smart customer di dalam perusahaan. Salah satu metode yang sering dipergunakan adalah FMEA (Failure Mode and Effect Analysis), yaitu suatu metode untuk memprediksi ketidaksesuaian yang mungkin terjadi dan mencari langkah pencegahannya. Dengan memahami ketidaksesuaian yang mungkin terjadi, setiap orang akan berjaga-jaga dan lebih kritis terhadap produk yang diterima dari proses sebelumnya.

Di perusahaan yang menerapkan ISO 9001, peningkatan kepekaan mutu juga dapat dilakukan dengan memperbanyak jumlah auditor intenal. Auditor akan memahami persyaratan mutu dan bagaimana persyaratan tersebut harus dipenuhi. Semakin banyak orang yang memahami persyaratan tersebut tentunya semakin baik bagi perusahaan. Untuk itu, kita sering mendengar anjuran agar perusahaan memiliki jumlah auditor yang cukup. Tentu saja para auditor tersebut juga perlu terus mengasah kemampuannya, karena auditor yang melakukan pemeriksaan secara monoton tidak akan meningkat kepekaan mutunya. Proses audit mutu di perusahaan perlu dijaga suasananya agar tetap positif, bukan menciptakan geseran kepentingan yang dapat merusak kepekaan terhadap mutu.

Faktor lain yang sangat mempengaruhi pertumbuhan smart customer di dalam perusahaan adalah budaya mutu. Perusahaan yang memiliki budaya mutu yang kuat akan dengan mudah memperkenalkan sense of urgency untuk peningkatan kepekaan mutu. Dalam hal ini faktor kepemimpinan menjadi sangat penting. Budaya perusahaan tidak akan terbentuk dengan baik tanpa kepemimpinan yang positif. Kepemimpinan yang kurang berorientasi mutu akan sulit menghadirkan kepekaan mutu, terutama bila di dalam perusahaan banyak pihak yang ingin mempertahankan status quo.

Menciptakan budaya smart customer di dalam perusahaan saat ini sangatlah tepat. Tekanan dari pasar akan menjadi dorongan yang kuat bagi terbentuknya budaya tersebut. (AN)