Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Tuesday, November 13, 2012

LOGISTIK, REALITAS GEOGRAFIS DAN KEPEMIMPINAN


Oleh :  Andre Vincent Wenas


“Don’t they know, if you take tough decisions, yes people will hate you today but they’ll thank you for generation …” (Margaret Tatcher, dalam film The Iron Lady, diperankan oleh Meryl Streep, Sony Pictures, 2012).

***

Kualitas kepemimpinan pada akhirnya memang ditentukan oleh kemampuan (sudah termasuk di dalamnya: keberanian, kecerdasan, dan kebijaksanaan) mengambil keputusan yang dampaknya baru dirasakan beberapa generasi ke depan. Dan tantangannya, keputusan-keputusan yang mesti diambil sekarang kerap tidak popular di mata public. Itulah hakikat kepemimpinan berpandangan visioner (penglihatan tembus zaman), dan mempu mengambil keputusan yang bahkan tidak popular pada zamannya.

***

Salah satu kendala bisnis terbesar di Indonesia adalah soal logistic. Dalam bentuk negara kepulauan yang pulaunya tersebar dalam jumlah ribuan, memang soal logistic jadi tantangan yang luar biasa bikin pening kepala para pemasar dan juga pemerintah. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia baru-baru ini melansir pernyataan bahwa biaya logistic di Indonesia mencapai 24% dari total PDB, atau senilai Rp 1,820 triliun per tahun. Ini merupakan biaya logistic tertinggi di dunia! Jumlah sebesar itu terbagi dalam tiga komponen: biaya transportasi Rp 1,092 triliun, biaya penyimpanan/gudang Rp 546 triliun, dan biaya administrasi Rp 182 triliun.

Sebagai perbandingan, terhadap PDB, biaya logistic di Malaysia hanya 15%, Amerika Serikat dan Jepang hanya 10%. Biaya penanganan container (container handling charge) juga paling tinggi di antara negara-negara Asia Tenggara. Bahkan, ongkosnyapun mesti dibayar dalam bentuk dolar AS.

Disinyalir oleh Ina Primiana, anggota Lembaga Pengkajian Peneliti dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia, untuk container 20 kaki di pelabuhan Tanjung Priok tarifnya US$ 95 (sekitar Rp 858 ribu), sementara di Malaysia hanya US$ 88 (sekitar Rp 795 ribu). Di Thailand US$ 63 (sekitar Rp 587 ribu). Di Malaysia dan Thailand ongkosnya bisa dibayarkan dengan mata uang setempat, tapi anehnya di Indonesia mesti pakai dolar AS.

Yang menarik tapi konyol juga, biaya pengapalan container domestic misalnya dari Padang, Sumatera Barat ke Jakarta mencapai US$ 600 (sekitar Rp 5,4 juta), sedangkan dari Singapura ke Jakarta hanya US$ 185 (sekitar Rp 1,6 juta).

***
Realitas geografi social ekonomi seperti inilah yang dialami para pemasar dan juga pengambil keputusan di pemerintahan. Memang kebijakan nasional mesti diambil di tingkat pusat. Tapi, lantaran kenyataan geografis social ekonomi negeri kepulauan seperti Nusantara ini, dibutuhkan kemampuan segmentasi wilayah beserta kepentingannya masing-masing secara lebih membumi. Pembacaan segmentasi realitas social dan relasinya dalam pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Kenyataan ketersebaran lokasi yang dipisah oleh laut telah membentuk ciri yang khas bagi Indonesia sebagai suatu Negara maritime yang juga sekaligus agraris.

Salah satu contoh kasus saja, adalah kebijakan pemerintah di bidang pemasaran/tata niaga gula nasional. Saat ini konsumsi gula per tahun di Indonesia adalah sebesar 5,2 juta ton. Sementara produksi gula domestic yang berasal dari panenan tebu petani local adalah 2,1 juta ton, sehingga terjadi deficit pasokan sebesar 3,1 juta ton! Dan deficit supply ini terutama dialami oleh daerah di kawasan timur Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan lain-lain) yang memang boleh dibilang tidak punya petani tebu dan pabrik gula. Sehingga tentu – dalam jangka pendek sampai menengah – pilihan solusinya adalah impor. Dan impor ini pun bisa dipilih dalam bentuk gula jadi atau gula mentah (yang masih perlu dirafinasi, atau dimurnikan lewat proses di pabrikasi local). Tentu, jika ingin mengoptimalisasi nilai tambah local, pemerintah seyogyanya memilih untuk mengimpor dalam bentuk gula mentah, yang proses rafinasi (rafined)-nya bisa memberi nilai tambah dalam bentuk local-man-hour yang dibayarkan bagi tenaga kerja kita, serta pajak yang dibayarkan oleh para pabrikan rafinasi. Namun anehnya, lewat kebijakan tata niaga gula (biasa disebut dengan SK Menperindag No. 527 tahun 2004) distribusi penjualan gula digebyah-uyah ke seluruh Indonesia bahwa gula rafinasi (yang notabene berkualitas lebih tinggi) tidak boleh didistribusikan ke konsumen langsung (termasuk di wilayah timur Indonesia yang jelas-jelas mengalami deficit pasokan). Sehingga akibat pasokan yang kurang, harga menjadi meroket. Jika harga rata-rata gula di Pulau Jawa sekitar Rp 9.000 – Rp 10.000, di kawasan timur Indonesia bisa sampai Rp 12.000 – Rp 15.000 per kg.

Fenomena social ekonomi seperti ini tentulah tidak mencerminkan keadilan social. Kita tahu bahwa PDB per kapita penduduk di Jawa tentu lebih tinggi dibanding saudara-saudaranya di kawasan timur, namun toh mereka di timur mesti berkorban lagi untuk membeli barang-barang kebutuhan pangan dengan harga yang lebih tinggi. Ini hanya salah satu contoh kasus, masih ada banyak sector kebijakan yang perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan kenyataan geografis-sosial-ekonomi negara kepulauan ini.

***

Memang ada kemungkinan bahwa keputusan yang bakal diambil tidaklah popular di mata sementara pihak untuk saat ini. Misalnya untuk kasus gula tadi, beberapa pemangku kepentingan (seperti para pedagang gula, sementara oknum yang mengatasnamakan para petani tebu, dan beberapa pihak di pabrik gula BUMN) akan berpandangan minor terhadap kebijakan yang bisa menerobos persoalan yang sudah kronis dan makin akut ini. Namun, justru di sinilah perlu tampilnya pemimpin model The Iron Lady Margaret Tatcher yang bisa dengan afirmatif mengatakan bahwa keputusan yang saya ambil barulah bisa disyukuri oleh generasi-generasi mendatang. Semoga []


Sumber :  Majalah Marketing, No. 03/XII, Maret 2012

INDONESIA, OBAMA, “JAMES BOND”


Oleh :  Garin Nugroho


Pada momentum Hari Pahlawan ini, ingatan saya justru lekat pada pidato kemenangan Obama. Pidato ini terasa sebagai representasi pemimpin pahlawan, yang mampu menggugah harapan kesejahteraan dalam ruang ikatan masyarakat pluralis. Saya mencatat empat nilai penting dari pidato Obama.

Pertama, ucapan Obama bahwa ia belajar dari rakyat pada periode pertama untuk menjadi pemimpin yang baik. Sebuah kerendahan hati sekaligus kerja demokratisasi membaca rakyat sebagai referensi kepemimpinan. Kedua, ucapan bahwa kekuatan bangsa tidak dari angkatan perang, tetapi dari ikatan berbangsa yang saling mendukung. Inilah ajakan proses pemecahan krisis lewat kebersamaan yang menjadi esensi kebangsaan.

Ketiga, semua warga saling menjaga cita-cita dan saling mendukung dalam fondasi keluarga-keluarga. Inilah sebuah penghormatan pada warga sebagai bangsa, yang menunjukkan bahwa cita-cita bangsa adalah taman sari cita-cita warga dan keluarga-keluarga. Inilah seruan Obama yang membawa dukungan kaum perempuan sebagai tonggak keluarga, yang menjadi kunci suara kemenangan Obama.

Keempat, ucapan dalam pidatonya tentang pahlawan-pahlawan yang tak menyerah dan bangsa yang hebat. Inilah ucapan untuk menumbuhkan demokratisasi produktif, yakni setiap warga adalah pahlawan bangsa yang ditumbuhkan atas kebanggaan hidup berbangsa.

Pidato Obama tersebut membawa saya mencoba membaca kepahlawanan dalam beragam perspektif. Yang paling menarik adalah pahlawan dalam perspektif budaya popular. Simak film James Bond yang sudah berusia 50 tahun. Film yang berhulu pada novel Ian Fleming ini, figurnya mengambil inspirasi dari intelejen angkatan laut sewaktu Perang Dunia I. Pada gilirannya, James Bond bukan hanya sekedar film, melainkan ikon sikap nasionalisme Inggris.

Atau simak film kartun Doraemon yang diciptakan oleh Fujiko F Fujio tahun 1969. Haruslah dicatat, Doraemon tahun 2008 ditahbiskan sebagai duta Jepang oleh Menteri Luar Negeri Jepang. Kantong Doraemon mencerminkan produktivitas teknologi Jepang menghasilkan teknologi praktis yang mampu memecahkan masalah-masalah hidup sehari-hari. Dengan kata lain, kepahlawanan senantiasa berkait dengan karakter serta cara berpikir, bereaksi, dan bertindak sebuah bangsa.

Di sisi lain, kepahlawanan sesungguhnya terus bertumbuh dalam beragam nilai dan bentuk sekaligus mengalami transformasi terus-menerus sesuai ruang dan waktu serta tuntutan situasi zaman. Maka, jangan heran, kepahlawanan juga menyangkut transformasi bahasa tubuh tokoh.

Simaklah, kemenangan SBY pada awal periodenya tidak lepas dari sosok tubuh SBY sekaligus wajah ganteng yang tertata bahasanya, yang pada periode tersebut digandrungi. Namun, ketika masyarakat merindukan kerja nyata dari politik pelayanan, bisa ditebak masyarakat mencari sosok tubuh yang berbeda. Yakni tubuh dan wajah yang merakyat, bahkan terkesan patut dikasihani ala Jokowi.

Oleh karena itu, di tengah inflasi politikus sekaligus inflasi produk-produk budaya popular, tetapi kekurangan dan kehilangan bentuk-bentuk beragam kepahlawanan, sederet pertanyaan muncul. Apakah kita kehilangan karakter berbangsa dengan nilai keutamaan, seperti pengorbanan, kepahlawanan, dan seterusnya? Apakah kita kehilangan ikatan saling mendukung? Apakah kita kehilangan panduan kepemimpinan? Apakah kita kehilangan kebanggaan menjadi Indonesia?


Sumber :  Kompas, 11 November 2012

THE COACHING LEADER


By :  Eileen Rachman & Sylvina Savitri (EXPERD)

Pemimpin seperti apa yang Anda kagumi?

Kita banyak mengagumi pemimpin karena  otaknya yang brilian, keahliannya berstrategi, pengambilan keputusan yang tepat, keberanian mengambil risiko atau kemampuan membawa perusahaan tumbuh besar.
Kita bisa melihat bahwa terkadang kesuksesan tidak berkorelasi dengan sikap pimpinan terhadap bawahannya. Steve Jobs, misalnya, melegenda lebih karena kekuatan inovasi, bukan kekuatan hubungannya dengan manusia. Ada bawahan yang bisa betah bertahun-tahun dalam organisasi yang dipimpin atasan yang tidak simpatik atau bahkan jelas-jelas suka mengadu domba. Keberhasilan mencetak laba dan melipatgandakan aset perusahaan memang masih menjadi indikator utama kehebatan seorang pimpinan, bahkan dijadikan ‘model’ manajemen yang dianggap ideal.

Sekarang, mari kita bayangkan bila di bawah para pemimpin keren ini ternyata tidak tumbuh calon pemimpin masa depan untuk menggantikannya.  Tidakkah kita dengan mudah melihat perusahaan segera akan mengalami krisis dan sulit mempertahankan pertumbuhan usahanya? Dalam situasi ini, masihkah kita menilai para pemimpin ini sebagai pemimpin yang efektif?

Dari tahun ke tahun, banyak survey dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apa karakteristik terpenting seorang leader”. Kita bisa melihat bahwa kriteria leader yang efektif tampaknya memang “bergerak” sesuai dengan tuntutan jaman. Hasil survey media sosial terkemuka, LinkedIn, mendapatkan hasil bahwa peringkat  tertinggi karakteristik terpenting leader adalah:

·         visi yang berimpact
·         kekuatan  memotivasi  dan inspiring
·         kemampuan mendengar
·         mengenal anak buah secara individual
·         dan kekuatan membela timnya & bertanggung jawab
·         pengetahuan teknis dan kemampuan menjaga keseimbangan ‘life skills’.

Bila persentase tindakan yang mengacu pada perhatian pada tim dan anak buah atau ‘coaching’ dijumlah, maka aspek-aspek tersebut bernilai sekitar 60 % dari kekuatan leadership. Ini berarti bahwa coaching adalah jantungnya leadership. Atau, dengan perkataan lain, visi yang bagus, jelas dan mengacu pada masa depan hanya bisa dicapai melalui ‘coaching’ intensif.

Pengembangan manusia, penguatan budaya, reputasi dan image perusahaan memang hal yang ‘intangible’.  Sampai hari ini pun mengukur laba jauh lebih mudah daripada mengukur ‘suasana kerja yang menyenangkan’.  Banyak orang masih senang memperdebatkan mengenai “Apa hubungannya suasana menyenangkan dengan laba perusahaan?”. “Benarkah sikap kerja produktif betul-betul bisa melipatgandakan produktivitas?”. Di sisi lain, kita bisa melihat ada calon karyawan mengundurkan diri dengan alasan, “Perusahaan itu suasananya tidak menyenangkan, atasannya sangat cuek.”. Meski susah diukur, kita tahu memang hal-hal intangible ini adalah aset yang nyata-nyata ada.

Itu sebabnya pemimpin ataupun organisasi yang berani memutuskan budget signifikan untuk menumbuhkan kepemimpinan, memperkuat leadership, maupun menyuburkan budaya positif di organisasinya bisa kita sebut punya visi masa depan yang jelas dan kuat.

Kebutuhan kita semakin jelas. Kita butuh membangun tempat kerja yang ‘hidup’, di mana pikiran, talenta  dan hati bersinergi satu sama lain. Kita butuh menyusun barisan yang bisa berespon terhadap perubahan yang tak terduga, dan berkecepatan seperti kilat ini. Kita tidak lagi bisa mengkontrol kekuatan pengambilan keputusan dari ‘kursi’ kita sendiri. Kalau bisa, seluruh karyawan dipersiapkan untuk berjaga-jaga dengan membentuk pemahaman, pengembangan dan kemampuan belajar yang tinggi, sehingga apapun perubahan, perusahaan bisa dengan fleksibel menanggulanginya.

Jadi, peran leader sebagai coach memang bukan lagi bersifat pilihan, tapi sudah bergeser menjadi keharusan. To be an effective leader, you must be an effective coach.”

Menggeser Fokus
Kita bisa melihat guru yang baik menjadi kepala sekolah, salesman top menjadi manajer, komputer programmer yang piawai kemudian menjadi team leader. Padahal tidak ada jaminan bahwa para profesional ini bisa mengakselerasi kinerja. Mereka bisa menggerakkan dirinya sendiri untuk berprestasi, tetapi bisakah menggerakkan orang lain dan timnya? Kompetensi teknis memang senantiasa menjadi jalan bagi individu untuk menapaki karier ke posisi leader. Namun, saat kita di posisi yang menuntut pengelolaan anak buah, kita perlu segera mengembangkan kemampuan interpersonal kita, seperti berkomunikasi, memberi masukan, mengajak, bersabar, mendengar, berkonfrontasi dan menanggulangi konflik. Kita juga belajar menyeimbangkan kekuatan kita dengan faktor-faktor eksternal seperti strategi, prioritas, dan hasil disamping ‘values’, sasaran, dan ‘self awareness. Pada saat inilah seseorang perlu melangkah lebih jauh dan mulai mempersiapkan kompetensi ‘coaching’ nya.

Pemimpin perlu sadar bahwa ia tidak lagi bisa hanya ribet dengan sasaran, image dan obsesi pribadinya, melainkan harus mulai membagi fokus pada hal-hal yang jauh di luar dirinya, termasuk kondisi anak buahnya, karena inilah yang pada akhirnya merupakan  kekuatan organsisasi. Tentu bukan hal yang salah untuk berfokus pada laba perusahaan dan harga saham, namun pemimpin perlu sadar bahwa peran untuk memonitor progres, perbaikan dan prestasi setiap individu dibawah pimpinannya adalah peran sentral dalam kepemimpinannya.  Bila seorang pemimpin sudah me’lepas’kan ke ‘aku’annya, barulah ia siap untuk meng-engage pikiran dan hati anak buah. Pada saat itulah dia perlu mempraktekkan kemampuan komunikasi tingkat tinggi, jago mendengar, bersabar, menunggu, dan merancang tugas-tugas progresif timnya, agar biasa menjadi pemenang. 

Memimpin Pemimpin
Seorang pemimpin yang kuat melakukan ‘coaching’ menyadari bahwa ia bukan melakukan hal itu sekedar karena hobi atau ‘passion’-nya. Kesadaran bahwa ia sedang mempersiapkan bawahannya menjadi pemimpinlah yang bisa memperkuat ‘power’-nya untuk melakukan ‘coaching. Ia harus sadar bahwa individu yang tengah ia bimbing adalah pemain-pemain tangguh yang dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang sulit diprediksi, penuh turbulensi, chaos, bukan sekedar perubahan normal. Respons-respons yang dilatih bukan sekedar melihat kebelakang, mengencangkan ikat pinggang saja, tetapi justru kekuatan menghadapi hal-hal eksternal seperti perubahan peraturan, kekuatan pelanggan dan perkembangan teknologi. Latihan  ketahanan , keberanian untuk menghadapi yang tidak terduga, keberanian untuk “tampil” perlu dibuatkan lahan  latihan. Seorang coach adalah “culture creator”, bukan “answer provider”. Hanya dengan adanya manusia berkualitas perusahaan bisa mempunyai nilai ‘sustainability’ tinggi. Dan, membangun manusia hanya bisa dilakukan melalui ‘coaching’ yang intensif.



Sumber :  Kompas, 20 Oktober 2012