Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, January 26, 2012

KEMARAHAN NABI

Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam pernah marah. Akan tetapi marahnya karena membela Allah. Beliau tidak tahan melihat batas-baas dan apa yang dilarang Allah dilanggar. Beliau tidak pernah sama sekali marah karena dirinya (disakiti).
Seperti yang dikatakan Aisyah radhiyallahu'anhuma: "Dan Rasulullah tidak pernah marah karena dirinya, kecuali jika yang diharamkan Allah dilanggar, maka dia marah karena Allah (Muttafaq ' Alaih).

Diantara bukti yang menguatkan hal itu seperti yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu'anhuma : 'Pernah Nabi didatangi seorang Badui yang langsung memegang selendang Nabi. Lalu Badui itu menariknya dengan sangat keras hingga aku melihat bekas merah di leher Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam, selendang itu telah membekas di leher Nabi karena begitu kerasnya Badui itu menarik. Lalu Badui itu berkata: "Wahai Muhammad berikan kepadaku harta Allah yang ada padamu." Maka Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam menoleh dan tersenyum sambil memerintahkan agar Badui itu diberi harta." (Muttafaq ' Alaih).

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhuma berkata: " Suatu ketika Rasulullah melakukan pembagian harta lalu seorang laki-laki berkata: "Sesungguhnya pemberian ini tidak dimaksudkan untuk mengharap wajah Allah." Kemudian berita tersebut disampaikan kepada Rasulullah, maka merahlah wajah beliau lalu bersabda:

" Semoga Allah merahmati Musa, sungguh dia telah disakiti lebih dari ini tetapi dia bersabar." (Muttafaq ' Alaih).

Begitulah Nabi shallallahu'alaihiwasallam, meneguk gelas kesabaran menghadapi gangguan, beliau tidak marah ketika yang disinggung adalah dirinya, tidak dendam karenanya. Namun jika urusan tersebut menyangkut Allah, agama dan syari'at Nya, maka beliau pun marah karena Allah. TAK SEORANGPUN BISA SETARA dengan beliau dalam proposionalnya ketika marah.

Contoh lain yang menggambarkan kemarahan beliau karena Allah dan agama-Nya dilanggar

Seperti yang diriwayatkan bahwa Aisyah berkata:

" Rasulullah masuk ke rumahku sedangkan di rumah ada gorden kain yang terdapat gambar (bernyawa), maka terlihat raut wajahnya berubah. Kemudian beliau mengambil gorden itu dan merusaknya."(Muttafaq ' Alaih).

Dari Abu Mas'ud radhiyallahu'anhuma berkata: " Seseorang mendatangi Nabi lalu berkata: "saya besok akan mengakhirkan shalat karena si fulan ketika menjadi Imam begitu lama shalanya. Abu Mas'ud berkata : "Aku belum pernah melihat kemarahan Nabi ketika memberi nasehat dengan kemarahan seperti di hari itu. Kemudian beliau bersabda

"Wahai manusia, sesungguhnya di antara kalian ada yang segera hendak pergi, maka siapapun diantara kalian yang menjadi imam shalat bagi manusia, hendaknya meringankannya, karena diantara mereka ada yang sakit, tua dan ada keperluan." (Muttafaq ' Alaih).

Ketika ditanyakan bahwa Nabi pernah marah, maka marahnya tidak pernah melebihi batas kebenaran, kejujuran dan keadilan. tidak pernah melampiaskan kecuali masih dalam kadar yang diperbolehkan oleh syar'i. Kemarahan tidak menyebabkan beliau keluar dari kebenaran, kejujuran dan kebaikan.

Sebagai bukti yaitu sebuah riwayat dari Abdllah bin Amru yang berkata " Aku menulis apa yang saya dengar dari Rasulullah karena aku ingin menghafalnya, tetapi orang-orang Quraisy melarangku. Mareka berkata: "Apakah engkau menulis segala yang diucapkan padahal Rasulullah juga manusia yang berbicara di saat marah dan ridha?" Maka akupun berhenti menulis, lalu aku tanyakan hal itu pada Rasulullah, maka beliau mengisyaratkan telunjuk beliau ke mulutnya dan bersabda:

"Tulislah, demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar dari sini kecuali kebenaran." (Hr Ahmad, Abu Dawud dinyaakan shahih oleh Al-Albani).

Maka sudahkah sama kemarahan kita dengan kemarahan Rasulullah? Kejujuran kita dengan kejujurannya? Keadilan kita dengan keadilannya? Sifa memaafkan kita dengan pemaafnya? Santun kita dengan kesantunannya?

Semoga shalawat dan salam semoga tercurah aas Nabi yang mulia ini.

Bilal

Sumber:
Kitab Jangan Marah - Divisi Ilmiah Daarul Wathan hal 19-23