Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, June 25, 2009

DEPTAN WAJIBKAN KEMASAN PRODUK IMPOR DIPERIKSA KARANTINA

Wednesday, 24 June 2009 15:20

Mulai 1 September 2009 Departemen Pertanian (Deptan) akan menerapkan ketentuan ISPM no 15 (Standar Kesehatan Tumbuhan nomor 15) terhadap kemasan produk impor dari luar yang masuk ke Indonesia.

Jakarta, 23/6 (Roll News) - Mulai 1 September 2009 Departemen Pertanian (Deptan) akan menerapkan ketentuan ISPM no 15 (Standar Kesehatan Tumbuhan nomor 15) terhadap kemasan produk impor dari luar yang masuk ke Indonesia.

Kepala Badan Karantina Pertanian Deptan, Hary Priyono, di Jakarta, Selasa, mengatakan, ketentuan ISPM 15 telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) no.12 tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Tindakan Karantina Tumbuhan Terhadap Pemasukan Kemasan Kayu Ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

"Dengan ketentuan ini, maka setiap produk impor yang masuk ke Indonesia akan dikenakan tindakan karantina terhadap kemasannya yang terbuat dari kayu," katanya.

Menurut dia, kemasan dari kayu merupakan media pembawa penyakit dan hama tumbuhan sehingga perlu diterapkan tindakan karantina untuk mencegah masuknya organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) ke wilayah Indonesia.

Sementara itu, hampir 90 persen produk impor yang masuk ke dalam negeri menggunakan kemasan kayu yang sangat potensial membawa penyakit dan hama tumbuhan.

Hary mengatakan, selama ini, ketentuan ISPM 15 tersebut telah diterapkan terhadap produk-produk yang akan diekspor untuk memenuhi persyaratan internasional,tepatnya sejak 2006.

"Jika produk ekspor Indonesia tidak memenuhi persyaratan tersebut maka akan sulit masuk ke negara tujuan ekspor," katanya.

Oleh karena itu, tambahnya, kini Indonesia juga siap menerapkan aturan yang sama untuk produk-produk impor yang akan masuk ke dalam negeri baik terhadap kemasan kayu yang dipergunakan bagi komoditas pertanian maupun non pertanian.

Menyinggung ketentuan ISPM 15 yang baru akan diterapkan 6 bulan mendatang sementara Permentan no 12/2009 keluar pada 9 Februari 2009, Kabadan Karantina menyatakan, hal itu untuk sosialisasi serta memberi kesempatan bagi pengusaha mempersiapkan diri.

"Kalau langsung diterapkan sekarang bisa jadi nanti banyak produk yang ditahan dan ini menggangu perdagangan," katanya.

Selain itu, tambahnya, hal itu juga untuk memberikan kesiapan bagi pelaku usaha kemasan kayu serta usaha "treatment" (tindakan karantina).

Mengenai bentuk tindakan karantina yang dipersyaratkan terhadap kemasan kayu, menurut dia, yakni berupa pemanasan dengan menggunakan udara panas pada suhu dan waktu tertentu.

Selain itu berupa fumigasi yakni menggunakan fumigan di dalam ruang kedap gas pada konsentrasi, waktu dan suhu tertentu.

Kemasan kayu yang telah melalui tindakan karantina nantinya diberikan "marking" atau cap tertentu yang sesuai dengan standar intenasional.

"Bila nantinya kemasan kayu untuk produk impor yang masuk ke Indonesia tidak dikenakan tindakan karantina tersebut maka akan dikenakan penolakan," katanya.


http://www.news.id.finroll.com/industri/76182-____deptan-wajibkan-kemasan-produk-impor-diperiksa-karantina____.html

Monday, June 15, 2009

CETAK BIRU LOGISTIK NASIONAL MENDESAK

Senin, 15/06/2009 00:54 WIB
Cetak biru logistik nasional mendesak

JAKARTA: Pemerintah diminta segera menerbitkan cetak biru logistik nasional sebagai pedoman pelayanan sektor usaha itu, menyusul adanya perbedaan pendapat soal masuknya jasa logistik di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pos.

Gabungan Forwarder, Ekspedisi, dan Logistik Indonesia (Gafeksi) menolak jasa logistik dimasukan ke dalam RUU Pos, tetapi Asosiasi Perusahaan Jasa Titipan Ekspres Indonesia (Asperindo) justru mendorong inisiatif dari DPR dan pemerintah itu karena jasa logistik di dalam RUU Pos dinilai berbasis pos.

"Untuk mencegah terjadi pertentangan dan polemik, serta tumpang-tindih atas ketentuan yang mengatur jasa logistik oleh departemen terkait, pemerintah perlu segera membuat batasan mengingat pengertian logistik itu sangat luas," ujar Ketua Umum DPP Gafeksi Iskandar Zulkarnain kepada Bisnis, kemarin.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Asperindo M. Kadrial mengatakan usaha jasa titipan saat ini dilindungi oleh UU No. 6/ 1984 tentang Pos, sedangkan jasa logistik yang diatur dalam revisi UU itu membatasi pada kegiatan pengiriman yang hanya dilakukan oleh perusahaan jasa titipan atau kurir.

"Dari sisi komoditas, layanan logistik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni yang berbasis kurir atau pos dan berbasis freight. Logistik yang dimaksud di dalam RUU Pos adalah yang berbasiskan kurir atau pos," katanya.

Dia menegaskan RUU Pos yang sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah juga berpedoman pada ketentuan Universal Postal Union (UPO) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Dalam ketentuan UPO itu, paparnya, ditetapkan komoditas yang dilayani oleh pos adalah logistik. "Jadi, dimasukkannya logistik dalam RUU Pos telah melalui proses yang sesuai dengan perkembangan bisnis dan aturan internasional saat ini."

Direktur Eksekutif Asperindo Syarifuddin menambahkan masuknya soal logistik ke dalam RUU Pos merupakan inisiatif dari DPR dan pemerintah, sedangkan Asperindo hanya mendorong usulan logistik yang terkait dengan usaha jasa titipan.

"Jadi [perusahaan jasa titipan] bukan ingin merebut kegiatan logistik yang selama ini dilaksanakan oleh perusahaan freight forwarding," tegasnya.

Keberatan Gafeksi

Namun, Iskandar menegaskan Gafeksi keberatan atas usulan jasa logistik di dalam RUU Pos karena tanpa disertai dengan batasan pada layanan pos dasar dan berat maksimumnya.

Menurut dia, jasa logistik mencakup bidang usaha yang terkait langsung dengan freight forwarding atau perusahaan jasa pengurusan transportasi (JPT) di bawah pembinaan Departemen Perhubungan.

"Gafeksi tidak keberatan atas RUU Pos itu jika membatasi pada kegiatan pengiriman surat, dokumen, dan paket dengan kriteria dan berat maksimum yang jelas dan sesuai dengan rasa keadilan sehingga bisa dibedakan antara pengiriman paket dan kargo," tutur Iskandar.

Oleh karena itu, paparnya, perlu dibuat batasan mengenai layanan logistik pos untuk membedakan dengan layanan logistik yang lebih luas. Pasalnya, selama ini Peraturan Menteri Perhubungan No.5/2005 menetapkan berat maksimum untuk parsel atau paket kiriman adalah 30 ton.

"Pada tataran operasional, kebijakan ini sangat merugikan anggota Gafeksi karena sulit diterima oleh akal sehat jika maksimum berat parsel atau paket bisa seberat 30 ton," tegasnya.Oleh Aidikar M. SaidiBisnis Indonesia

bisnis.com

URL : http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/transportasi-logistik/1id122520.html

Tuesday, June 9, 2009

GAFEKSI SOROTI RUU POS

Senin, 08/06/2009 00:37 WIB

JAKARTA: Gafeksi mendesak DPR melibatkan pelaku usaha forwarding dan logistik serta instansi terkait dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Pos untuk menghindari tumpang tindih dengan UU bidang transportasi.

Ketua Umum DPP Gabungan Gabungan Forwarder, Logistik, dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) Iskandar Zulkarnain mengatakan pengusaha mempertanyakan pembahasan RUU Pos yang hingga saat ini tidak melibatkan pelaku usaha sektor logistik dan instansi terkait.

"Pembahasan RUU Pos dilakukan oleh Komisi I DPR dalam waktu sangat singkat dan Gafeksi sudah mengecek kepada Dephub, Depdag, dan Kementerian Perekonomian juga tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU itu," ujarnya kepada Bisnis kemarin.

Menurut dia, Kadin Indonesia juga tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU Pos, padahal pemerintah melalui tim dari Kementerian Perekonomian sedang menyusun cetak biru logistik nasional yang sudah hampir 12 tahun dibahas.

Menurut Iskandar, Gafeksi sudah melayangkan surat keberatan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh karena terjadi simpang siur soal usaha logistik yang dilakukan oleh perusahaan jasa pengurusan transportasi atau forwarder dengan perusahaan jasa titipan.

"Itu terjadi karena tidak ada kejelasan dari RUU Pos. Sesuai dengan Peraturan Menhub No. 5/ 2005, paket adalah kemasan yang berisi barang maksimun seberat 30.000 kg atau 30 ton, sedangkan dalam SK Dirjen Bea Cukai No. P5/BC/2006 disebutkan batasan barang kurir adalah 100 kg."

Sementara itu, paparnya, surat edaran Ditjen Pajak No. SE-37/PJ/2008 menyatakan atas jasa penerusan pengiriman paket internasional di luar daerah pabean, tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN).

Namun, berdasarkan surat Dirjen Pajak No.S-766PJ.53/2004, atas jasa penerusan pengiriman muatan atau kargo di luar daerah pabean, dikenai PPN bila tidak dibuat langsung atas nama pihak ketiga dan pemberlakuan PPN 1% atas invoice jasa titipan.

Oleh Aidikar M. Saidi
Bisnis Indonesia
bisnis.com

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/transportasi-logistik/1id121209.html