Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, September 27, 2012

MENGANTISIPASI LIBERALISASI

LOGISTIK ASEAN


Sebagai bagian aktivitas ekonomi, logistik menjadi komponen penting bagi realisasi pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015. Untuk mencapainya, tahun depan liberalisasi industri logistik untuk kawasan ASEAN dimulai. Apakah Indonesia sudah siap dengan beragam konsekuensi dan menyiapkan langkah antisipasinya?

Dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), logistik masuk komponen bidang jasa, yang kesepakatannya ditandatangani anggota ASEAN tahun 1995 di Bangkok, Thailand. Liberalisasi logistik mencakup jasa kargo, pergudangan, agen transportasi, jasa kurir, dan jasa pengepakan barang.

Dalam konteks liberalisasi, setiap negara anggota ASEAN diminta menurunkan semua hambatan di bidang bisnis logistik. Hambatan tersebut meliputi pajak dan tarif sekaligus hambatan bersifat nontarif. Hambatan nontarif biasanya berupa ketentuan yang bersifat membatasi. Artinya, pelaku jasa logistik lokal dan asing harus diperlakukan sama.

Di antara negara-negara anggota ASEAN lain, potensi bisnis logistik di Indonesia dinilai paling tinggi. Sebagai negara kepulauan, kebutuhan logistik menjadi sangat tinggi. Ini ditambah dengan populasi 235 juta jiwa, yang sebagian besar membutuhkan jasa logistik. Tak heran jika Indonesia menjadi yang paling seksi sehingga dilirik banyak negara anggota ASEAN lainnya sebagai target pasar.

Lalu bagaimana kesiapan Indonesia? Bank Dunia mengumumkan Logistic Performance Index Indonesia tahun ini naik ke posisi ke-59 dari posisi ke-75 pada tahun 2010.Berdasarkan survei tersebut, peningkatan skor tertinggi terjadi pada indikator kompetensi jasa logistik (naik 0,38 poin) dan terendah terjadi pada pembenahan infrastruktur (nol). Untuk jasa logistik, pelakunya adalah swasta. Peran pemerintah minim.

Dari hasil survei nyata, pelaku industri logistik mulai berbenah. Mereka sadar pembenahan sangat diperlukan untuk bisa berkompetisi dengan pelaku bisnis asing. Persoalan terbesar justeru di sisi pemerintah. Pertama, dari aspek infrastruktur, Indonesia masih jauh tertinggal. Biaya logistikpun membengkak.

Kamar Dagang dan Industri Indonesia merilis biaya logistik di Indonesia mencapai 24 persen dari total produk domestik bruto atau Rp 1.820 triliun per tahun. Biaya tersebut terbagi dalam biaya penyimpanan Rp 546 triliun, biaya transportasi Rp 1.092 triliun, dan biaya administrasi Rp 182 triliun.

Nilai bisnis pengiriman logistik tahun ini diperkirakan Rp 50 miliar. Dari proyeksi itu, penguasaan perusahaan asing 60 persen atau Rp 30 miliar. Penguasaan oleh perusahaan asing karena mereka masih memiliki beberapa kelebihan dibandingkan perusahaan domestik, seperti pelayanan dan harga.

Tahun 2015 di depan mata. Apakah kita masih menunggu lagi untuk melakukan pembenahan? (Eny Prihtiyani).

Sumber :  Kompas, 27 September 2012