Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Tuesday, June 12, 2007

Foreign Holds 50% of Perak Forwarding

Ocean Week, No. 130/VI
May 24 - June 5, 2007

As many as 20 foreign forwarders are now holding around 50% of forwarding business market at Tanjung Perak Port, while the volume continues to drop. According to East Java Indonesian National Forwarders Association (East Java INFA), total forwarding market volume from Tanjung Perak reached around 18 million tons per annum. "Those foreign forwarders are holding 50% or around 9 to 10 million tons of the Tanjung Perak market," Poernomo Soedewo, East Java INFA Chairman, disclosed in a recent seminar on Empowerment & Entrepreneurship at Hotel Hyatt Regency Surabaya recently.

According to Poernomo, local forwarders should strengthen themselves to build up competitiveness with foreign companies. But, he also expects the government policy to protect local forwarders. "Recently, the government does not filter them, so foreign forwarders can easily expand their business in Indonesia." Moreover, with their strong financial capability and wider network, they can expand their market easily. "They can set up a more competitive tariff," he said.

Recently, INFA also monitor and evaluate its members, the one who become the agents of foreign forwarders in particular. "The result of monitoring will become as recommendation to customs office that has authority to issue ID Card," he said, adding that the activity has been beginning since 2006. More than 900 forwarding companies are member of East Java INFA. However, in the last year, Transport Department has withdrawn business permit of around 350 forwarders, member of INFA. "Their permits in JPT (transportation service) and EMKL (sea expedition) have been withdrawn since they have no activity anymore," he said.

INFA also encourages its member to be more creative, innovative, and competitive in expanding the domestic market in particular. "Now we are still holding the domestic market. But, we will soon loose it in line with the era of globalization, if we do not build up our competitive capability." Dewo explained that East Java forwarding commodities are dominated by agriculture and handicraft products. "Coffee, tobacco, rubber, and handicrafts products are the leading commodities," he said. [dan/ow]

Adpel Priok Dukung Penuh Tarif Lini 1


JAKARTA: Administrator Pelabuhan Tanjung Priok menyatakan kesepakatan tarif pelayanan jasa barang dan kontainer di lini 2 tetap akan diberlakukan efektif mulai 1 Juli, meski ditolak kalangan operator depo dan pergudangan.

Adpel Tanjung Priok Jakarta, Bobby R. Mamahit mengatakan penetapan tarif itu merupakan hasil kesepakatan enam asosiasi yang memiliki kegiatan di pelabuhan terbesar di Indonesia.

Keenam asosiasi itu, yakni Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi), Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat (APBMI) Tanjung Priok, Asosiasi Tempat Penimbunan Sementara Seluruh Indonesia (Aptesindo) dan Indonesian National Shipowners' Association (INSA).

"Tetap dalam perkembangan awal. Arahnya sudah jelas, menertibkan biaya-biaya yang tak profesional di pelabuhan," ujarnya seusai rapat tertutup dengan beberapa perwakilan asosiasi di Departemen Perhubungan, kemarin.

Dia menjelaskan hasil kesepakatan bersama itu guna meningkatkan kelancaran arus barang ekspor dan impor sesuai dengan Keppres No. 54/2002 yang ditetapkan 23 Juli 2002. "Sesuai Keppres itu, Adpel berkewajiban mengoordinasikan upaya peningkatan kelancaran arus barang ekspor dan impor di pelabuhan."

Selain itu, pihaknya mengoordinasikan pengintesifan upaya pemberantasan penyelundupan, perumusan strategi peningkatan kelancaran arus barang ekspor dan impor. "Saya sebagai aparat di pelabuhan berkewajiban mengawal keputusan dan kebijakan Tim Keppres," kata Bobby.

Meski demikian, pihaknya tetap menerima keluhan dari kalangan pelaku usaha di pelabuhan yang harus disampaikan melalui masing-masing asosiasi. "Kesepakatan itu antarmereka, kami tak bersepakat, kami hanya mengawasi," ungkap Bobby.

Ketua Ikatan Eksportir dan Importir Indonesia, Amalia Achyat, mendukung penetapan tarif pelayanan jasa barang dan kontainer di lini 2 Tanjung Priok. "Kami mendukung kesepakatan tarif itu karena memperjelas struktur tarif di Priok," kata Amalia.

Selama ini, ungkap dia, besaran tarif pelayanan jasa barang dan kontainer di lini 2 berbeda-beda, bahkan ada yang sangat tinggi, sehingga memberatkan kalangan eksportir dan importir. "Kami bahkan pernah membayar tarif biaya penumpukan seharga sama dengan tarif kamar hotel berbintang lima," kata Amalia.

Sebelumnya, Sedikitnya 250 perusahaan operator depo dan gudang serta perusahaan konsolidator barang impor dan ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok terancam tutup dan merumahkan ribuan karyawannya.

Menurut Ketua Umum DPP Asosiasi Perusahaan Depo dan Pergudangan Indonesia (Apdepi) Soendjoto, penetapan tarif lini 2 itu meresahkan pelaku usaha yang menangani konsolidasi barang impor dan ekspor di Tanjung Priok karena harga yang ditetapkan di bawah biaya operasional.

Sesalkan penolakan

Sementara itu, Gafeksi DKI menyesalkan penolakan kesepakatan tarif itu oleh sekelompok usaha forwarder nasional yang tergabung dalam forum konsolidator. Gafeksi menilai kehadiran forum itu sebagai upaya liar dan tidak bisa mengatasnamakan usaha forwarder nasional.
"Setiap keputusan dari forum itu tidak mungkin dijadikan rujukan bagi pemerintah," kata Ketua Bidang Kepabeanan DPW Gafeksi DKI, Widijanto.

Beberapa perusahaan forwarder yang tergabung dalam forum konsolidator yang dibentuk pekan lalu itu, mayoritas merupakan mitra TPS (tempat penimbunan sementara) di Pelabuhan Priok. "Dalam praktiknya, selama ini mitra-mitra tersebut membebankan invoice kepada pemilik barang dengan nilai yang tidak logis."

Dia mengatakan pedoman tarif lini 2 itu hanya diberlakukan untuk kargo dengan status LCL (less-than container load) dan tidak termasuk tarif paket bongkar muat peti kemas yang menjadi tanggung jawab perusahaan pelayaran.

Untuk kargo dengan status LCL, kata Widijanto, harus ada keseragaman tarif demi kepentingan nasional karena selama ini tarif pelayanan di lini 2 Priok bervariasi dan tidak jelas peruntukannya.

"Keseragaman tarif juga berfungsi membantu pemerintah mendorong kelancaran ekspor impor. Aturan itu sudah baik, kami mempertanyakan jika masih ada sekelompok usaha forwarder yang merasa keberatan," ujarnya. (k1/Aidikar M. Saidi) (hendra. wibawa@bisnis.co.id)

Oleh Hendra Wibawa
Bisnis Indonesia