Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, July 19, 2007

Agar Merek Jadi Hidup

Oleh : Bembi Dwi Indrio M.
Analis Bisnis Senior MarkPlus & Co.

Adakah hubungan antara merek dan layanan yang diberikan kepada pelanggan? Tak mudah menjawab pertanyaan ini. Kebanyakan orang menganggap branding hanya berkaitan dengan masalah penamaan produk dan aktivitas promosi. Aktivitas branding pun akhirnya hanya berkisar di kedua hal itu.

Padahal, branding juga menyangkut sejumlah hal lain. Merek harus dicerminkan dalam setiap aspek budaya organisasi perusahaan; terutama ketika terjadi interaksi antarmanusia (antara karyawan dan pelanggan), yaitu dalam hal layanan. Layanan yang diberikan kepada pelanggan harus mampu mendukung dan meningkatkan merek perusahaan atau produk. Dengan menjalankan layanan seperti ini, merek pun akan menjadi hidup.

Argumen inilah yang dikemukakan Janelle Barlow dan Paul Stewart dalam buku mereka Branded Customer Service. Menurut mereka, ekuitas merek dibangun bukan hanya melalui iklan atau aktivitas public relations, tetapi juga melalui layanan yang diberikan.

Karena itu, perusahaan harus melakukan on-brand service, yaitu layanan yang selaras dengan apa yang dijanjikan merek (brand promises). Mereka mengatakan, jika pesan merek yang disampaikan lewat upaya iklan dan promosi lainnya tidak sejalan dengan layanan yang diberikan karyawan, perusahaan ini hanya membuang uang dan mungkin memiliki masalah citra.

Penulis mengilustrasikan hal ini dengan pengalaman pribadi. Janelle Barlow beberapa tahun lalu melihat tayangan iklan di televisi tentang layanan terbaru kantor pos di Amerika Serikat.

Karena sangat terkesan, dua hari kemudian ia mencoba layanan terbaru ini di kantor pos dekat rumahnya. Ternyata, gedung kantor pos itu tidak sebagus dan sebersih seperti yang ditayangkan pada iklan. Begitu pula karyawannya, tidak seramah dan semenarik seperti yang ada pada iklan.

Namun, ia sadar. Setiap iklan tentu dibuat sedikit berlebihan atau paling tidak menampilkan citra terbaik yang dimiliki perusahaan. Dan memang, pesan utama yang disampaikan dalam iklan tersebut bukan kenyamanan kantor pos atau keramahan petugasnya, melainkan murahnya harga layanan itu.

Setelah antre beberapa lama, ia menuju konter dan berkata kepada petugas bahwa ia ingin menggunakan layanan terbaru seperti yang diiklankan di teve. Petugas kantor pos itu menatapnya, kemudian menjawab, "Harganya tidak murah."

Bisa dibayangkan, perusahaan telah menghabiskan banyak uang untuk melakukan positioning produk, tetapi hal ini dengan cepat dan mudah dihancurkan oleh seorang karyawan saja! Ini menunjukkan bahwa kantor pos itu tidak atau kurang mempersiapkan ribuan karyawannya untuk menjalankan on-brand service terhadap pelanggan yang ingin mencoba layanan terbaru tersebut.

Ketika manusia banyak berperan dalam pemberian layanan kepada pelanggan, kita akan lebih sulit menjamin terpenuhinya ekspektasi pelanggan seperti dalam iklan. Inilah tantangan utama bagi perusahaan dengan tingkat kontak layanan pelanggan yang tinggi (misalnya, perusahaan otomotif, telekomunikasi, hospitality, maskapai penerbangan dan perusahaan peranti lunak) atau perusahaan yang produknya diberikan secara eksklusif lewat orang (misalnya, kantor akuntan, rumah sakit, atau kantor pengacara).

Selain menjelaskan pentingnya on-brand service, penulis juga menguraikan empat strategi customer service (CS) yang selama ini biasa dijalankan perusahaan.

Strategi pertama memandang CS sebagai biaya (CS as a cost). Strategi ini menganggap CS tidak diperlukan dan bukan sesuatu yang esensial. Transaksi yang terjadi pun hanya bersifat jangka pendek.

Strategi selanjutnya, CS dipandang sebagai hal yang perlu (CS as a necessity). Di sini, CS dibutuhkan karena pesaing sudah menawarkannya. Namun, perusahaan yang menjalankan strategi ini masih menganggap CS sebagai biaya, bukan investasi pemasaran.

Strategi ketiga memandang CS sebagai keunggulan kompetitif (CS as a competitive advantage). CS dipandang sebagai salah satu strategi mengembangkan bisnis. Karyawan dilatih memperhatikan pelanggan dan manajemen perusahaan peduli terhadap peringkat kepuasan dan loyalitas pelanggan yang didapat melalui survei-survei.

Strategi keempat, yang tertinggi, adalah memandang CS sebagai ekspresi hidup yang penting dari merek (CS as an essential living expression of the brand). CS dipandang sebagai aspek terpenting organisasi. Di sini setiap titik sentuh dengan pelanggan (touch point) mencerminkan merek. Pelanggan akan merasa memiliki hubungan emosional dengan perusahaan. Strategi inilah yang harus diterapkan setiap perusahaan.

Kemudian, pertanyaannya, bagaimana perusahaan bisa menjalankan strategi keempat ini sehingga layanan yang dijalankan adalah on-brand service?

Jawabannya ada di bagian akhir buku ini. Di bagian ini, penulis melengkapi dengan Toolbox yang dapat membantu karyawan memahami masalah merek secara umum, merek produk atau perusahaan Anda secara khusus, dan peranan karyawan dalam memberikan layanan yang sesuai dengan merek tersebut.

Memang, branding merupakan tanggung jawab setiap pihak dalam perusahaan, bukan hanya manajer merek atau manajer produk. Departemen sumber daya manusia perusahaan pun sesungguhnya berperan penting terhadap pembentukan dan pengembangan merek.

Tak pelak, buku ini merupakan terobosan penting dalam dunia bisnis. Ia mampu memberikan perspektif baru terhadap dua hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan "layanan dan merek" tetapi selama ini dijalankan dengan strategi yang tidak berkaitan satu sama lain. Inilah buku yang patut dibaca jika Anda ingin menjalankan layanan yang selaras dengan apa yang dijanjikan merek Anda (on-brand service).
sumber : www.swa.co.id

Adpel Priok : Tarif Baru Lini 2 Paling Lambat Mulai Agustus

JAKARTA: Adpel Tanjung Priok mengultimatum agar kesepakatan tarif pelayanan jasa barang dan peti kemas di lini 2 Pelabuhan Tanjung Priok dilaksanakan per 1 Agustus 2007. Pengguna jasa yang tidak mematuhi kesepakatan itu akan dilarang beroperasi di pelabuhan tersebut.

Administrator Pelabuhan Utama Tanjung Priok Bobby R. Mamahit mengungkapkan sesuai kesepakatan itu tarif container freight station (CFS) di lini 2 Priok sebenarnya diberlakukan efektif mulai 1 Juli, setelah sosialisasi selama satu bulan sejak Juni.

"Sudah cukup waktu untuk masa tenggang, tapi kesepakatan itu belum berjalan optimal. Waktu bagi yang telanjur kontrak dengan pihak luar negeri dengan perhitungan lama sudah diberikan dan dinilai cukup. Maka, sebagai regulator, saya akan mengeluarkan larangan, tidak boleh beroperasi di Priok bagi mereka yang tidak melaksanakan kesepakatan itu mulai 1 Agustus 2007," tandasnya kepada Bisnis, kemarin.

Kesepakatan tarif itu dibuat oleh enam asosiasi yakni Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi), Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Indonesian National Shipowners Association (INSA) Jaya, Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Tanjung Priok, Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Seluruh Indonesia (Aptesindo).

Kesepakatan itu sempat ditolak oleh pengurus Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo), Asosiasi Depo dan Pergudangan Indonesia (Apdepi) serta Forum Konsolidator Forwarder Jakarta (FKFJ).

Rekomendasi Adpel
Bobby mengatakan pihaknya segera menerbitkan rekomendasi positive list perusahaan-perusahaan yang melaksanakan kesepakatan itu dan dapat terus beroperasi, sehingga yang tidak masuk dalam daftar tersebut tidak akan dilayani oleh Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Tanjung Priok dan Pelindo.

Dia juga mengatakan seluruh kontrak per 1 Agustus 2007 harus disesuaikan dengan kesepakatan tarif pelayanan jasa barang dan peti kemas di lini 2. Bagi pelaku usaha yang tidak terdaftar sebagai anggota asosiasi di Kantor Adpel Utama Tanjung Priok, juga akan dikomunikasikan Adpel Priok untuk tidak dilayani oleh BC dan Pelindo.

"Rekomendasi itu akan saya komunikasikan agar BC dan Pelindo tidak melayani mereka yang tidak masuk dalam daftar positive list. Sanksi larangan beroperasi itu saya keluarkan, karena saya juga sudah mengeluarkan surat edaran. Jalannya kesepakatan itu ada dalam koordinasi saya sebagai Adpel.

"Bobby mengimbau kepada instansi pemerintah dan BUMN yang melayani kepentingan para pengguna jasa pelabuhan untuk tidak memberikan pelayanan kepada perusahaan dan atau pengguna jasa pelabuhan yang belum atau tidak memenuhi legalitas dan peraturan yang berlaku di wilayah kerja Tanjung Priok.

Oleh Sylviana Pravita R.K.N.
Bisnis Indonesia