Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Wednesday, December 3, 2008

MELIHAT PELAKSANAAN AUDIT INTERNAL

Adanya keinginan manajemen untuk memberdayakan Para Auditor termasuk keinginan agar auditor bekerja dengan sesungguhnya sesuai dengan standar-standar yang menjadi acuan (minimal ISO 9001:2000 dan ISO 19011:2002), memiliki kompetensi (kemampuan mengaudit) serta menunggu realisasi dari komitmen manajemen tentang pemberdayaan tersebut mengusik saya untuk membuat tulisan ini sebagai bahan wacana kita bersama.

Adapun respon terhadap komitmen itu berbentuk pada improvisasi pelaksanaan audit di lapangan. Jika di waktu-waktu yang lalu proses audit sepertinya berjalan searah yaitu persepsi auditor yang ditujukan melulu pada auditee, maka kali ini auditee diberi kesempatan menilai auditor apakah mereka memiliki kecukupan kemampuan sebagaimana yang ditetapkan dalam parameter penilaian, yaitu :

(a). kompetensi (kemampuan mengaudit)
(b). manajemen waktu
(c). kemampuan komunikasi / investigasi
(d). sopan santun, dan
(e). manfaat temuan bagi divisi bersangkutan

Parameter (a), (c), dan (e) merefleksikan knowledge dan skill yang dimiliki auditor sementara parameter (d) dan (b) dikenal sebagai personnel attributes.

Secara keseluruhan pada saat pelaksanaan audit internal tanggal 25 s/d 28 November 2008, manajemen terhadap waktu boleh dibilang payah baik dari sisi auditee maupun dari sisi auditor. Para kepala divisi terkesan tidak membebaskan (para) staff yang ditunjuk sebagai auditee (pihak yang mewakili divisi untuk diaudit) untuk segera menyediakan waktunya begitu auditor tiba di tempat audit.

Di sisi lain, tim audit yang pada umumnya enggan mengaudit di hari pertama masih saja mengulur waktu pelaksanaan sehingga di rapat penutupan (closing meeting) masih belum bisa melaporkan hasil auditnya. Penguluran waktu oleh para auditor inipun kelihatannya antara lain “kurang dibebaskannya” mereka dari tugas sehari-hari.

Mengenai komentar Auditee dalam mengevaluasi kinerja auditor berikut beberapa tanggapannya :

“Cukup bagus dalam mengaudit dan cukup menguasai alur kerja”
“Kurang memahami prosedur yang ada sehingga pertanyaan cenderung melebar”
“Menguasai ruang lingkup divisi yang diaudit dan jeli dalam investigasi terhadap bukti audit”
“Bisa memberikan masukan tambahan buat perubahan yang dibutuhkan”
“Cara menyampaikan pertanyaan dalam mengaudit sangat baik”
“Lugas, tegas, dan dapat dipercaya”
“Kemampuan terhadap ruang lingkup pekerjaan auditee masih perlu ditingkatkan”
“Ketepatan waktu pelaksanaan audit seharusnya diperhatikan”
“Perlu peningkatan kualitas auditor secara kontinyu”
“Penyampaian / komunikasi dengan auditee baik”
“Teliti dalam mengaudit”
“Terlalu aktif, terkesan mencari-cari kesalahan”
“Pemahaman standar masih harus ditingkatkan”
“Baik dan teratur dalam meneliti file-file yang diaudit”

Bagi para auditor, tentunya masing-masing bisa menilai apakah dirinya termasuk yang dikomentari positif ataukah malah negatif. Memang, penilaian tersebut tidak terlepas dari persepsi subjektif maupun objektif dari auditee. Bagi auditee yang menguasai betul standar yang menjadi acuan, tujuan serta teknik audit maka penilaian subjektif akan sedikit berkurang. Untuk sebaliknya, maka penilaian cenderung menjadi subjektif.

Kemudian dari pantauan lapangan masih saja ada staf yang “kabur-kaburan” saat dilakukannya audit. Mereka adalah yang rencananya ditunjuk sebagai auditee oleh kepala divisinya tapi pada waktu yang ditentukan tidak di tempat, entah itu “tugas luar”, “sakit”, “masih banyak tugas” dan sebagainya. Sehingga timbul kesan bahwa di area tertentu si fulan menjadi “langganan” sebagai auditee.

Melihat dari fenomena tersebut, pemahaman standar baik ISO 9001:2000 maupun ISO 19011:2002 sangat dibutuhkan baik oleh auditor maupun auditee sehingga keterlibatan seluruh elemen organisasi dalam penerapan sistem ini menjadi prinsip yang benar-benar dapat diterapkan. Singkatnya, sistem manajemen mutu (SMM) berlaku untuk keseluruhan level organisasi tanpa kecuali.

Dengan gambaran sekilas seperti tersebut di atas maka sekali lagi pemahaman dan persepsi terhadap standar masih sangat dibutuhkan oleh kita semua tanpa kecuali. Sejalan dengan hal ini maka budaya mutu yang menjadi ruh dari penerapan SMM ini termasuk dalam rangka membangun mental yang positif dari segenap elemen menjadi hal yang perlu dibenahi.

Jaerony Setyadhi
(Management Representative)