Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Tuesday, May 13, 2008

SOSOK EKONOMI SETELAH REFORMASI

Faisal Basri, Ekonom

Koran Tempo, 13 Mei 2008, Edisi 10 Tahun Reformasi

Kebebasan. Itulah kata yang bisa menggambarkan suasana kehidupan berbangsa pascareformasi. Perekonomian Indonesiapun turut menghirup kebebasan itu. Memang tidak sebebas negara-negara penganut aliran Neoklasik atau Neoliberal, tapi setidaknya, kesumpekan akibat monopoli dan kartel terang-terangan yang diabsahkan pemerintah bisa dikatakan sudah nyaris sirna. Kendali pemerintah pusat atas daerah sudah jauh berkurang. Pemerintah tak bisa lagi mendikte DPR untuk mengesahkan anggaran pendapatan dan belanja negara tanpa perubahan satu sen pun. Bank Indonesia tak lagi di bawah ketiak pemerintah.
Penguasaan negara di sektor produksi sudah jauh berkurang. Di sektor telekomunikasi, penerbangan, perbankan, dan perkebunan, peran badan usaha milik negara tak lagi dominan, digantikan oleh swasta domestik maupun asing.
Perlidungan terhadap industri atau usaha dalam negeri dikikis oleh liberalisasi perdagangan. Proteksi dipangkas hingga tingkat yang sangat rendah, sebagaimana tercermin dari tarif bea masuk rata-rata yang sudah di bawah 10 persen. Tidak terkecuali terhadap produk-produk pertanian yang dihasilkan oleh hampir separuh penduduk yang taraf kehidupannya terbilang sangat memprihatinkan.
Mesin mekanisme pasar berputar kencang. Laju pertumbuhan ekonomi mulai cepat. Tahun lalu, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mencapai 6,3 persen, yang berarti hampir mendekati pertumbuhan rata-rata selama Orde Baru. Namun, kalau kita cermati corak pertumbuhannya, ternyata sangat berbeda dengan periode prakrisis. Di awal Orde Baru, sektor pertanian jadi titik perhatian. Pemerintah mendirikan pabrik pupuk berskala besar, dan membangun infrastruktur pertanian secara masif. Memasuki dasawarsa 1980-an sektor industri manufaktur menggeliat dan lebih digenjot pada dekade 1990-an.
Di era reformasi, kedua sektor tersebut relatif merana. Produk-produk pertanian kian membanjiri pasar. Banyak sekali produk pertanian yang dikonsumsi masyarakat luas yang kita impor : beras, kedelai, jagung, garam, gandum dan terigu, gula, bubuk cabai, sayur-mayur, buah-buahan. Sementara itu, industri manufaktur tumbuh jauh di bawah pertumbuhan PDB, sangat kontras dibandingkan masa Orde Baru yang tumbuh jauh di atas pertumbuhan PDB, bahkan tak jarang tumbuh dua digit. Penurunan juga terjadi di sektor pertambangan. Maka, tak mengherankan sementara kalangan mensinyalir telah terjadi gejala dini deindustrialisasi.
Padahal, pertanian, manufaktur, juga pertambangan (sektor tradable) merupakan tumpuan hidup sekitar dua pertiga penduduk. Jika pertumbuhan ketiga sektor ini melempem, maka kesejahteraan relatif mayoritas penduduk kian tertinggal. Yang tumbuh sangat pesat -- jauh melampuai pertumbuhan PDB -- adalah sektor-sektor jasa modern di kota-kota besar (non-tradable) yang kebanyakan disantap oleh kalangan menengah ke atas.
Kesenjangan pertumbuhan sektor tradable versus sektor non-tradable semakin menganga. Data untuk 2007 menunjukkan sektor tradable hanya tumbuh 3,8 persen sedangkan sektor non-tradable tumbuh 9 persen. Dengan pola pertumbuhan demikian, niscaya kita akan sangat sulit memerangi kemiskinan dan menekan pengangguran.
Selama 10 tahun terakhir jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan praktis tak berubah, yakni di sekitar 17,7 - 17,6 persen. Pada 2007 turun sedikit menjadi 16,6 persen. Jikat kita menggunakan ukuran pengeluaran per kapita di bawah satu dolar AS sehari, penurunan jumlah orang yang tergolong sangat miskin hanya turun dari 7,8 persen pada 1996 menjadi 6,7 persen pada 2007. Laju penurunan jumlah orang yang sangat miskin di Indonesia sungguh sangat lambat bila dibandingkan dengan Vietnam dan Cina. Di Vietnam, jumlah penduduk sangat miskin turun drastis dari 23,6 persen pada 1996 menjadi hanya 4 persen pada 2007. Untuk Cina, pada kurun waktu yang sama, angkanya menurun dari 16,4 persen menjadi 6,9 persen.
Perkembangan di bidang ketenagakerjaan juga tak mengalami perbaikan. Angka pengangguran terbuka bahkan melonjak dari 4,9 persen pada 1996 menjadi 9,1 persen pada 2007. Walau harus diakui bahwa dalam dua tahun terakhir telah terjadi sedikit penurunan angka pengangguran terbuka, pebaikan tersebut hanya dari sisi nominal dan belum diiringi oleh perbaikan kualitas.
Perlu dicatat pula bahwa di barisan penganggur ini, porsi yang berusia muda dan atau berpendidikan SLTA ke atas terbilang sangat tinggi. Dilihat menurut lokasi, dua provinsi dengan angka pengangguran tertinggi ialah Banten dan Jawa Barat. Mengingat kedua provinsi tersebut merupakan, basis terpenting industri manufaktur Indonesia, berarti semakin kuat konstalasi bahwa industri manufaktur mengalami kemunduran relatif yang mengarah pada gejala deindustrialisasi.
Dengan pola dan kualitas pertumbuhan seperti itu, sangat bisa dipahami mengapa kesenjangan pendapatan dalam beberapa empat tahun terakhir semakin menganga, bahkan tahun lalu kondisi memburuknya sangat mencolok. Reformasi agaknya tidak mendekatkan kita pada cita-cita kemerdekaan : mewujudkan keadilan sosial, memajukan kesejahteraan umum, mengenyahkan dominasi kapitalis, dan memerangi kemiskinan. Quo vadis reformasi? o