Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Friday, December 23, 2011

S A M P A H

Health & Safety Awareness


Membaca subjek di atas, bayangan kita pastinya adalah seonggok barang yang berada di velbak, bak atau tempat sampah atau mungkin yang teronggok di pojokan pasar yang dikerubuti lalat dan dengan bau tidak sedap yang menyengat.

Anda tidak salah, tapi kali ini saya coba giring Anda pada sampah yang terdekat dengan kita sendiri yaitu :
1. sampah computer,
2. sampah dalam bentuk “waktu menunggu”, dan
3. sampah pembalut wanita !


1. Sampah Computer

Sangat sering sekali kita dengar teman kita atau mungkin kita sendiri yang komputernya mengalami masalah semisal hang, error atau data terhapus. Ternyata penyebabnya antara lain kita tidak pernah bertindak sebagai “tukang sapu” yang sebenarnya, yang dituntut untuk serajin mungkin membersihkan “halaman” computer, laptop atau gadget kita.

Sampah-sampah yang bisa kita identifikasi dari peralatan kita itu antara lain :
- onggokan SMS yang berbulan-bulan tidak kita hapus.
- onggokan incoming e-mail di mailbox Microsoft Outlook/Explorer kita.
- data-data lama yang sudah tidak relevan lagi dengan pekerjaan kita saat ini.
- foto-foto dokumentasi yang mestinya sudah dipindahkan ke media permanent (misal CD-ROM dsb.).
- file-file temporer dari kegiatan browsing di internet.
- program aplikasi tidak berguna yang tanpa sadar “nemplok” di computer/gadget kita.
- dan banyak lagi.

Sampah-sampah tersebut secara rutin mestinya dibersihkan. Kalau di rumah kita punya tukang sapu yang dipekerjakan untuk menyapu halaman rumah, maka untuk peralatan tersebut kitalah yang menjadi tukang sapunya.

Tips sederhana sebagai orang awam yang barangkali dapat Penulis berikan, antara lain :
1. Lakukan “disk clean-up” secara periodic (mingguan, bulanan, dst.).
2. Jika computer berjalan lamban, selain “disk clean-up”, lakukan “disk defragment”.

Mintalah teman yang paham untuk meletakkan dua aplikasi di atas di halaman desktop sehingga memudahkan menjalankannya.


2. Sampah dalam bentuk Waktu Menunggu

Sering kita dengar tentang “zero waste” atau terjemahan bebasnya “tidak ada sisa”. Zero waste dalam Kaizen adalah hal paling prinsip yang aplikasinya beragam bentuknya, salah satu yang kita kenal adalah “5S” (seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke) atau dalam istilah Bahasa Indonesia “5R” (ringkas, rapi, resik, rawat, rajin), sebuah aplikasi untuk housekeeping.

Sampah merupakan “produk ikutan” yang dihasilkan selain produk utama dari suatu proses. Jika itu proses produksi barang, maka sampahnya akan berupa sampah-sampah baik yang masih bernilai ekonomis (skrap dsb.) maupun yang tidak bernilai ekonomis semisal emisi gas buang dari cerobong-cerobong di pabrik-pabrik.

Lalu, apa bentuk “sampah” dari proses-proses jasa yang kita lakukan sehari-hari? Jawabannya adalah “waktu menunggu”. Konkritnya adalah, jika proses pekerjaan yang kita kerjakan menimbulkan akibat orang lain (atau proses setelah Anda) harus menunggu lama, maka “waktu” bagi orang yang menunggu itulah “sampah” kita.

Semakin Anda membuat orang “lama menunggu”, semakin menggununglah sampah yang Anda hasilkan! Coba kita renungkan hal ini !


3. Sampah pembalut wanita

Persepsi positif kita selama ini barangkali bahwa para penghuni gedung bertingkat (seperti penghuni Graha Iska, Jakarta) budayanya setinggi bangunan itu sendiri. Ternyata kita keliru !!!

Teman-teman kita dari Divisi HRD/GA ternyata setiap kali harus MEMUNGUTI sampah pembalut wanita dari septic tank yang terdapat di gedung Iska tersebut. Bahkan, sekali waktu (maaf), celana dalampun harus dipungut dari septic tank agar alat penampung ini tetap berfungsi dan tidak kepenuhan.

Sejatinya Penulis tidak paham / tidak pernah tahu apakah dalam kemasan produk “Pembalut Wanita” terdapat tata cara mengelola sampah pembalut ini, tapi mestinya sih ada. Sebab, seumur-umur tidak pernah melihat ceceran sampah “yang paling menyebalkan” ini (termasuk di rumah) selain info yang disampaikan teman-teman kita itu.

Masalah sebenarnya adalah kembali kepada diri kita sendiri, apakah budaya “membuang sampah pada tempatnya” – TERMASUK SAMPAH PEMBALUT – sudah menjadi kepribadian unggulan kita. Apakah tuntunan agama, “Kebersihan adalah Sebagian dari Iman” menjadi salah satu alat untuk menuju ketakwaan dalam proses keberagamaan kita?

Semoga tulisan “vulgar” ini dapat dijadikan penyadaran kita bahwa mengumbar “kesebelan” yang sejatinya adalah milik kita sendiri (privat) dan tak seorangpun mengetahui adalah tindakan primitive, TIDAK BERBUDAYA dan mengganggu lingkungan.



Kita sudah sebal dengan berita bertahun-tahun bahwa banjir yang terjadi di kota-kota besar salah satunya diakibatkan oleh sampah. Jika kita ingin menyumbang untuk “mengurangi” sampah fisik yang dimaksud, mulailah membentuk budaya dari kita, kita luruskan : Membuang dan mengelola sampah terdekat kita dengan benar.


(JS)

PS. Mohon maaf kepada PARA PEMBUANG SAMPAH PEMBALUT SEMBARANGAN dengan menerbitkan tulisan ini, dengan tujuan untuk menghentikan tindakan yang tidak baik itu.

Thursday, December 15, 2011

FPS CONVENES AT BALI

Monday, November 14, 2011


The host of the AGM for this year was PT FPS Indonesia, whose Head Office is based in Jakarta.

The theme for this year's AGM was "TOGETHER WE ARE STRONG" and represents the idea of "UNITY" and "TEAMWORK" which is the foundation of our success and the very essence of which has earned us respect from many of our clientele and competitors globally.

Total delegation that attended was 126 people represented by 40 countries from 60 offices.

Every two years, the Advisory Board members step down and new members are nominated and selected and this year, the structure of the 2nd term Advisory Board is as follows. The period that they will serve the group globally is October 2011 – October 2013.

The newly selected board members are:

Chairman: Mr Gihan Nanayakkara from FPS Sri Lanka (Colombo)

Advisory Board Members:
Ms Michele Dougal from FPS Brisbane (responsible for It Development)
Working with Michele Dougal on the IT side is Mr Chito Rollan of FPS Philippines (Manila)
Mr Jens-Ole Holmager from Team Freight Denmark (responsible for Agency Development
Mr Hendramoko Walujo from PT FPS Indonesia (Jakarta) (responsible for Sales and Marketing)
Treasurer is Mr Benny Ling (FPS Hong Kong)
Secretariat based in Hong Kong is Ms Cindy Ko


Source : http://www.fps-group.net/News.aspx?id=83

FPS INDONESIA AWARDED FOR THE COMPANY EMPLOYED DISABILITIES PEOPLE

In line with the corporate value adopted : “care and share”, employment of disabilities people has been started more than 15 years ago in PT FPS Indonesia.

Continuously, maintenance of the values by this employment going on spreading out not only in FPS Jakarta as a main office but also in some branch offices. They’re employed to various of positions such as tele-marketing, customer service, accounting/finance and EDP/IT.

For the effort by number of years, The Government of Jakarta awarded PT FPS Indonesia as a Private Logistic Company Employed Disabilities People at the event of 2011 International Disabled Day on 7th of December 2011.

This award is a testimony to the company that creating an added-value to stakeholders is corporate objective as a whole synchronous with the government policy. It’s not just money solely.

(JS)

Monday, December 5, 2011

MEMBANGUN KOMITMEN ORGANISASI

Pengertian Komitmen Organisasi

Pengertian komitmen organisasi menurut Riggio (2000, p.227) “Organizational commitment is a worker’s feelings and attitudes about the entire work organization” artinya komitmen organisasi adalah semua perasaan dan sikap karyawan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan organisasi dimana mereka bekerja termasuk pada pekerjaan mereka.

Luthans (1995, p.130) mengartikan komitmen organisasi sebagai :

a. A strong desire to remain a member of particular organization (Keinginan yang kuat untuk mempertahankan seorang anggota organisasi tertentu).
b. A willingness to exert high levels of effort on behalf of the organization (Sebuah kemauan yang kuat untuk berusaha mempertahankan nama organisasi).
c. A definite belief in, and acceptance of, the values and goals of the organization (Keyakinan dan penerima-an.nilai-nilai dan tujuan organisasi.

Menurut Robbins (2001, p.140) komitmen pada organisasi merupakan suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu.

“Organizational commitment is the collection of feelings and beliefs that people have about their organization as a whole.” Level komitmen bisa dimulai dari sangat tinggi sampai sangat rendah, orang-orang bisa mempunyai sikap tentang berbagai aspek organisasi mereka seperti saat praktek promosi organisasi, kualitas produk organisasi dan perbedaan budaya organisasi. (Jenifer dan Gareth, 2002, p. 76)

Komitmen organisasi mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terikat dengan tujuan-tujuannya. Para manajer disarankan untuk meningkatkan kepuasan kerja dengan tujuan untuk mendapat-kan tingkat komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya, komitmen yang lebih tinggi dapat mempermudah terwujudnya produktivitas yang lebih tinggi. (Kreitner dan Kinicki, 2003, p.274).


Dimensi Komitmen Organisasi

Luthans (1995, p. 131) mengemukakan tiga dimensi didalam komitmen organisasi, antara lain :

a. Affective commitment involves the employee’s emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization.

Affective commitment mengacu pada keterikatan emosional, identifikasi serta keterlibatan seorang karyawan pada suatu organisasi. Komitmen afektif seseorang akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan harapan-harapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya.

Goal congruence orientation seseorang terhadap organisasi menekankan pada sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi memiliki tujuan-tujuan pribadi yang sejalan dengan tujuan-tujuan organisasi. Pendekatan ini mencerminkan keinginan seseorang untuk menerima dan berusaha mewujudkan tujuan-tujuan organisasi. Ada suatu jenis komitmen yang berhubungan dengan pendekatan kongruensi tujuan (goal congruence approach), yaitu komitmen afektif (affective commitment) yang menunjukkan kuatnya keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia memang setuju dengan organisasi itu dan memang berkeinginan melakukannya. Pegawai yang mempunyai komitmen afektif yang kuat tetap bekerja dengan perusahaan
karena mereka menginginkan untuk bekerja di perusahaan itu.

b. Continuance commitment involves commitment based on the costs that the employee associates with leaving the organization.

Konsep side-bets orientation yang menekankan pada sumbangan seseorang yang sewaktu-waktu dapat hilang jika orang
meninggalkan organisasi. Tindakan meninggalkan organisasi menjadi sesuatu yang berresiko tinggi karena orang merasa takut akan kehilangan sumbangan yang mereka tanamkan pada organisasi itu dan menyadari bahwa mereka tak mungkin mencari gantinya.

c. Normative commitment involves the employee’s feelings of obligation to stay with organization

Komitmen normatif bisa dipengaruhi beberapa aspek antara lain sosialisasi awal dan bentuk peran seseorang dari pengalaman organisasinya.

Keterkaitan yang kuat antara komitmen dan pemberdayaan disebabkan karena adanya keinginan dan kesiapan karyawan dalam organisasi untuk diberdayakan dengan menerima berbagai tantangan dan tanggung jawab. Argyris dalam Rokhman (1998) membagi komitmen menjadi dua yaitu komitmen internal dan eskternal :
1. Komitmen internal merupakan komitmen yang berasal dari diri karyawan untuk menyelesaikan berbagai tugas, tanggung jawab dan wewenang berdasarkan pada alasan dan motivasi yang dimiliki. Pemberdayaan sangat terkait dengan komitmen internal karyawan. Proses pemberdayaan akan berhasil bila ada motivasi dan kemauan yang kuat untuk mengembangkan diri dan memacu kreativitas individu dalam menerima tanggung jawab yang lebih besar.

2. Komitmen eksternal dibentuk oleh lingkungan kerja. Komitmen ini muncul karena adanya tuntutan terhadap penyelesaian tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan oleh para karyawan. Peran supervisor sangat penting dalam menentukan timbulnya komitmen ini karena belum adanya suatu kesadaran individual atas tugas yang diberikan.

Pemberdayaan merupakan serangkaian proses yang dilakukan secara bertahap dalam organisasi agar dapat dicapai secara optimal dan membangun kesadaran dari karyawan akan pentingnya proses pemberdayaan sehingga perlu adanya komitmen dari anggota terhadap organisasi, dengan pemberian wewenang dan tanggung jawab akan menimbulkan motivasi dan komitmen organisasi terhadap organisasi.

Pemberdayaan yang dapat dikembangkan untuk memperkuat komitmen organisasi yaitu (Sharafat Khan dalam Rokhman, 1997) :

1. Lama bekerja (Time)
Merupakan waktu yang telah dijalani seorang dalam melakukan pekerjaan pada perusahaan. Semakin lama seseorang bertahan dalam perusahaan maka terlihat bahwa dia berkomitmen terhadap perusahaan.

2. Kepercayaan (Trust)
Setelah pemberdayaan dilakukan oleh pihak manajemen, langkah selanjutnya yaitu membangun kepercayaan antara manajemen dan karyawan. Adanya saling percaya diantara anggota organisasi akan tercipta kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa adanya rasa takut. Kepercayaan antara keduanya dapat diciptakan dengan cara antara lain : (1) Menyediakan waktu dan sumber daya yang cukup bagi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan ; (2) Menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan kerja ; (3) menghargai perbedaan pandangan dan perbedaan kesuksesan yang diraih karyawan ; (4) menyediakan akses informasi yang cukup.

3. Rasa percaya diri (Confident)
Menimbulkan rasa percaya diri karyawan dengan menghargai kemampuan yang dimiliki karyawan sehingga komitmen terhadap perusahaan semakin tinggi. Keyakinan karyawan dapat ditimbulkan melalui antara lain : (1) mendelegasikan tugas penting kepada karyawan ; (2) menggali saran dan ide dari karyawan ; (3) memperluas tugas dan membangun jaringan antar departemen ; (4) menyediakan instruksi tugas untuk penyelesaian pekerjaan yang baik.

4. Kredibilitas (Credibility)
Menjaga kredibilitas dengan penghargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang sehat sehingga tercipta organisasi yang memiliki kinerja tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara antara lain : (1) memandang karyawan sebagai partner strategis ; (2) peningkatan target di semua bagian pekerjaan ; (3) mendorong inisiatif individu untuk melakukan perubahan melalui partisipasi ; (4) membantu menyelesaikan perbedaan dalam penentuan tujuan dan prioritas.

5. Pertanggungjawaban (Accountability)
Pertanggungjawaban karyawan pada wewenang yang diberikan dengan menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran, standar dan tujuan tentang penilaian terhadap kinerja karyawan. Tahap ini sebagai sarana evaluasi terhadap kinerja karyawan dalam penyelesaian dan tanggung jawab terhadap wewenang yang diberikan. Akuntabilitas dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : (1) menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja karyawan ; (2) memberikan tugas yang jelas dan ukuran yang jelas ; (3) melibatkan karyawan dalam penentuan standar dan ukuran kinerja ; (4)memberikan saran dan bantuan kepada karyawan dalam menyelesaikantugasnya.
Jika karyawan memiliki tanggungjawab yang besar terhadap pekerjaannya,kecilnya peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lain, adanya pengalaman yang baik dalam bekerja dan adanya usaha yang sungguh-sungguh dari organisasi untuk membantu karyawan baru dalam belajar tentang organisasi dan pekerjaannya, maka akan tercipta komitmen pada organisasi.


sumber : http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/membangun-komitmen-organisasi.html

Tuesday, November 15, 2011

INTERNAL CONSOLIDATION GOES ON

Bali meeting October 18th – 21st was over, several home works have to be conducted by FPS Indonesia and Iska Group including its internal affair. During October – November 2011 the activities with the atmosphere of internal consolidation was done. The activities with content of awareness, consistency and social piety were training and fire emergency drill, internal and external audit of QMS and OHSMS, and slaughter of Idul Adha.

Training and Fire Emergency Drill
It is the requirement of OHSAS 18001:2007 where FPS Indonesia certified, that company have to organize an emergency drill regularly. Emergency scenario was arrange with the fifth floor of Graha Iska Building where FPS Indonesia official office located pointed as starting point that the emergency situation was occurred. In the drills, some activities facing the emergency situation including evacuation process of pregnant women was practiced. Evaluation Team recorded that it need 1 minute 36.6 second to evacuate pregnant women from the fifth floor to the assembly point nearby the building.

Internal and External Audit of QMS and OHSMS
Other important aspect that focused by FPS Indonesia management is performance and result of work evaluation particulary the aspect of quality and safety and compliance to the implemented standard of QMS and OHSMS. Respectively, on 2nd – 4th November 2011 and 9th – 10th November 2011 FPS Indonesia has performed internal and external combine audit based on ISO 9001:2008 and OHSAS 18001:2007 international standard.

Both audits carried out as a combine audit for time effectivity. For the next time, the activities proposed to be done as an integrated. In connecting with internal audit, improving the competency of the auditor is the must. Competency of personnel as a whole also to be focused of the company in line with coming Free Asian Trade in nearly time.

At the end of audit, assessment body concluded tha FPS Indonesia still recommended to certify by both standard.

Slaughter of Idul Adha
Same as number of years previously, FPS Indonesia and Iska Group, and its branch-offices as well, carried out a slaughter to celebrate Idul Adha. This observance was purposed to sharpen the social piety within the society. Sacrifice as the core of the observance should be a differentiator characteristic from other group of communities.

Sincere qurban worship could bring us to the learning of that sacrifice is not only in the situation of ‘the have’ but is could be in all situation including ‘the have not’ and other situation of suffering. Belove to fellow human beings is the highest value of this worship.


(Jaeroni Setyadhi)

Friday, September 30, 2011

ISO 19011:2011

ISO 19011:2011 – Guidelines for auditing management systems – Expected to be published in October 2011

Keshav Ram Singhal (Email - krsinghal@rediffmail.com)


International Organization for Standardization released ISO/FDIS 19011:2011 – Guidelines for auditing management systems in July 2011 to ISO members. It is expected that international standard ISO 19011:2011 will be published in October 2011.

ISO 19011:2002 is the current auditing standard that provides guidelines for auditing quality and/or environmental management system. This standard was long due for revision and since the initial publication of ISO 190011 in 2002 a number of new management system standards have been published. This has resulted in a need to consider a broader scope of management system auditing as well as providing guidance that is more generic. This is now reflected in ISO 19011:2011 that has the revised title “Guidelines for auditing management systems” instead of “Guidelines for auditing quality and/or environmental management systems” as mentioned in the existing standard ISO 19011:2002.

ISO 19011:2011 will provide guidance for all users, including small and medium sized organizations and will concentrates on what are commonly termed internal (first party) and second party audits as often conducted by customers on their suppliers.
International Organization for Standardization (ISO) has already published ISO 17021:2011, a standard for conformity assessment that provides requirements for bodies providing audit and certification of management systems. After publication of ISO 19011:2011, there will be two relevant standards - ISO 17021:2011, Conformity assessment – Requirements for bodies providing audit and certification of management systems - ISO 19011:2011, Guidelines for auditing management systems

The publication of ISO 19011:2011 will provide auditors, organizations implementing management systems and organizations (including certification bodies) needing to conduct audits of management systems an opportunity to re-assess their own practices and identify improvement opportunities in conducting audits.

What are the changes within ISO 19011:2011?
ISO 19011 is being revised to provide persons involved in management system auditing with good audit practice guidance relevant to the present environment. Presently there are many organizations implement management system covering multiple disciplines, for example quality (ISO 9001), environment (ISO 14001), occupational health and safety (OHSAS 18001) and information security (ISO 27000) etc.

The Principles of auditing on which the guidance is based are being revised and expanded to include the new auditing principle of ‘Confidentiality – security of information’. This will be a principle that will require auditors to be prudent in the use and protection of information acquired in the course of their duties during auditing management systems..

The main body of ISO 19011:2011 will set out good practice for Managing an Audit Programme and Performing an Audit. It will update to reflect current thinking and in parts expanded significantly. These sections will provide detailed guidance; intended to be used flexibly according to the size, level of maturity of an organization’s management system, the nature and complexity of the organization to be audited. The concept of risk in auditing is being introduced. Some guidance will be provided on combined audits, where two or more management systems of different disciplines are audited together (for example QMS and EMS, EMS and OHSAS, QMS and OHSAS). Also, the use of technology in remote auditing will be acknowledged.

Changes are being introduced in the guidance on Competence and evaluation of auditors. ISO 19011:2011 will address auditing management system covering multiple disciplines some of these may be wide ranging. The significant changes include:

- ISO 19011:2011 will identify that necessary auditor competence comprises generic knowledge and skills of management systems, plus discipline specific (for example, QMS) and sector specific (for example, aerospace) knowledge and skills. Annex A (informative) of the standard will provide examples of discipline-specific knowledge and skills of auditors, including:

- Transportation safety management
- Environmental management
- Quality management
- Records management
- Resilience, security, preparedness and continuity management
- Information security
- Occupational health and safety

ISO 19011:2011 will not include guidance on sector specific knowledge and skills of auditor. These may be developed later and published separately by the International Organization for Standardization (ISO).

The existing standard ISO 19011:2002 provides guidance on education, work experience, auditor training and audit experience that contribute to development of the knowledge and skills needed to perform audits and lead audit teams. ISO 19011:2011 will also provide guidance on knowledge and skills of management system auditors and an audit team leader but it will not make reference to auditors having completed education, work experience, auditor training and audit experience. This change will recognize that education, work experience, training and audit experience are enablers to competence, which ISO 19001:2011 and ISO 17021:2011 define as ‘ability to apply knowledge and skills to achieve intended results’. ISO 19011:2011 will recognize evaluation of competence needs, which may be carried out in a variety of ways, for example a combination of testing and examination, interview and observed audits.

1. Scope – There will be no significant changes.

2. Informative references – There will be no previous reference to terms and definitions given in ISO 9000 (QMS) and ISO 14050 (EMS).

3. Terms and definitions – New definitions for Observer, Guide and Risk are being introduced. The term risk will be used in ISO 19011:2011 in context of “risk-based auditing” and also “audit programme risks”. The definition of competence is being revised and although the change in wording appears slight it will require organizations to determine competence to achieve intended results. The starting point for which will be to define the intended results for the various activities involved in managing an audit programme and performing audits. This change will be consistent with ISO 17021:2011, a standard on conformity assessment.

4. Principles of auditing – There will be six principles in ISO 19011:2011 instead of five in ISO 19011:2002. Principles (a) – (d) will relate to auditors and the person managing the audit programme. Principles (e) and (f) will relate to the audit.

(a) Integrity – The principle of integrity will replace and expand the principle of ethical conduct mentioned in ISO 19011:2002. The principle of integrity is the foundation of professionalism.

(b) Fair presentation – There will be minor expansion that will include the obligation to report truthfully and accurately.

(c) Due professional care – the application of diligence and judgement in auditing. ‘Having the necessary competence is an important factor’ (in ISO 19011:2002) will be replaced with ‘An important factor in carrying out their work with due professional care is having the ability to make reasoned judgement in all audit situations’ in ISO 19011:2011.

(d) Confidentiality – security of information. It will be a new auditing principle, which will address the need for auditors to exercise discretion in the use and protection of information acquired in the course of their duties. The principle will refer to inappropriate use of such information for personal gain or in a manner detrimental to the legitimate interests of the auditee.

(e) Independence – the basis for the impartiality of the audit and objectivity of audit conclusions. ISO 19011:2011 will provide more specific guidance on the extent of independence that needs to be achieved, whilst recognizing that in small organizations it may be difficult for internal auditors to be fully independent. ISO 19011:2011 will refer to internal auditors being independent from the operating managers of the function being audited. ISO 19011:2011 will reflect the interpretation of independence that certification bodies generally apply.

(f) Evidence-based approach –There will be minor rewording in ISO 19011:2011 that will include the rational method for reaching reliable and reproducible audit conclusions in a systematic way.

5. Managing an audit programme – In this section ISO 19011:2011 will have considerable revision. The language of guidelines in this section will be easy to understand. There will be more clarity. Managing an audit programme guidelines will be structured in the following clauses:

5.1 - General

5.2 – Establishing the audit programme objectives

5.3 – Establishing the audit programme

5.4 – Implementing the audit programme

5.5 – Monitoring the audit programme

5.6 – Reviewing and improving the audit programme

5.1 General – This clause of the ISO 19011:2011 will recognize that an organization may implement a number of management system standards. Where the existing issue of ISO 19011:2002 refers to an organization establishing one or more audit programmes, ISO 19011:2011 will refer to an audit programme that can include audits considering one or more management system standards. Practically there will be little difference.

In this clause 5.1 of ISO 19011:2011 there will be guidance to allocate audit resources to audit those matters of significance within the management system. This concept is known as risk-based auditing.

5.2 Establishing the audit programme objectives – Title of this clause is being revised and also guidelines for structuring the content to follow the process flow guidance on the extent of an audit programme is being transferred to section 5.3.3.

5.3 Establishing the audit programme – ISO 19011:2002 states the title ‘Audit programme responsibilities, resources and procedures’ and this is being revised as new title ‘Establishing the audit programme.’. New to this issue is guidance on ‘Competence of the person managing the audit programme’. ISO 19011:2011 will add new guidance on ‘Identifying and evaluating audit programme risks’.

5.4 Implementing the audit programme – ISO 19011:2011 will provide more extensive guidance.

There will be sub-clause ‘Define the objectives, scope and criteria for an individual audit’. The sub-clause guidelines will identify that each audit should have a clear objective. This section will also highlight issues to consider when two or more management systems of different disciplines are audited together.
There will be a new sub-section ‘Selecting the audit methods’ and additional guidance on this issue will be provided in Annex B of ISO 19011.

Other sub-clauses will include: Selecting the audit team members, Assigning responsibilities for an individual audit to the team leader, Managing the audit programme outcome, Managing and maintaining audit programme records

In short we can conclude that section 5.4 of ISO 19011:2002 is being revised to provide comprehensive guidance to what was previously a list of headline topics that needed to be addressed when implementing the audit programme. Section 5.5 of ISO 19011:2002 – Audit programme records will be part of section 5.4

5.5 – Monitoring the audit programme and 5.5 – Reviewing and improving the audit programme - These two sections will replace what is stated in ISO 19011:2002 in clause 5.6 – Audit programme monitoring and reviewing. There will be minor expansion and reference to consider, such as, evaluate the performance of audit team members, consider as part of a review, alternative or new auditing methods, review the effectiveness of the measures to address the risks associated with the audit programme, review confidentiality and information security issues relating to the programme

6. Performing an audit – The clause title in ISO 19011:2002 is ‘Audit activities’ which is being revised. In this clause of ISO 19011:2011 you will find improved guidance. The section will be structured to follow the audit process flow, as under:

6.1 General

6.2 Initiating the audit

6.3 Preparing audit activities

6.4 Conducting the audit activities

6.5 Preparing and distributing the audit report

6.6 Completing the audit

6.7 Conducting audit follow-up

There will be few changes in the guidelines in ISO 19011:2011.

7. Competence and evaluation of auditors – Some significant changes are being introduced in ISO 19011:2011. The new standard will address auditing management system covering multiple disciplines. New guidance will include: Determining auditor competence to fulfill the needs of the audit programme, Personal behaviour, Knowledge and skills. The clause ‘Knowledge and skills’ will comprise: Generic knowledge and skills of management system auditors, Discipline and sector specific knowledge and skills of management system auditor. ISO 19011:2002 provides guidance for quality management system and/or environmental management system auditors, each having its own section providing guidance on auditor knowledge and skill requirements. In ISO 19011:2011 these two sections of ISO 19011:2002 will be replaced by one that will identify knowledge and skills that need to be applied to all management systems, for example, knowledge of: Legal requirements relevant to the specific discipline, fundamentals of the discipline and the application of business and technical discipline-specific methods, techniques, processes and practices sufficient to enable the auditor to examine the management system and generate appropriate audit findings and conclusions, risk management principles, methods and techniques relevant to the discipline and sector to enable the auditor to evaluate and control the risks associated with the audit programme.

ISO 19011:2011 Annex A will provide guidance on discipline-specific knowledge and skills of auditors for: Transportation safety management, Environmental management, Quality management, Records management, Resilience, security, preparedness and continuity management, Information security, Occupational health and safety.

ISO 19011:2011 will provide guidance on Generic knowledge and skills of an audit team leader, that will include knowledge and skills to: balance the strengths and weaknesses of the individual audit team members, develop a harmonious working relationship among the audit team members, manage the uncertainty of achieving audit objectives

ISO 19011:2011 will provide guidance on knowledge and skills for auditing management systems addressing multiple disciplines, achieving auditor competence.

Clause 7.6 of ISO 19011:2002 provides guidance on auditor evaluation, having sub-clauses, 7.6.1 – General and 7.6.2 – Evaluation process. ISO 19011:2011 will provide more clear guidance on auditor evaluation specifying guidance on establishing the auditor evaluation criteria, selecting the appropriate auditor evaluation method, conducting auditor evaluation, maintaining and improving auditor competence.

Thus we will find ISO 19011:2011 as a useful guidance document that will enable auditors to have more clear guidelines on auditing any management systems. The whole process of revising and preparing ISO 19011:2011 is under auspices of the ISO Joint Technical Co-ordination Group and administered by the ISO Technical Committee ISO/TC 176, ISO subcommittee ISO/TC 176/SC3 and also included interested parties for example ISO/TC 207, ISO/TC 34. ISO 19011:2011 will be the second edition of ISO 19011. The second edition of ISO 19011 will cancel and replace ISO 19011:2002 upon its publication.

Courtesy:

- ISO Website
- ISO 19011:2002
- ISO/FDIS 19011:2011
- IRCA Website

Posted by Keshav at 9:09 PM


http://iso9001-2008awareness.blogspot.com/2011/09/iso-190112011.html

ISO 19011:2011

Wednesday, September 21, 2011

JANGAN TERSENYUM, JANGAN TERTAWA

Lupakan tersenyum atau tertawa kalau kita tidak mengetahui manfaatnya.

Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian tertawa adalah melahirkan rasa suka dan sebagainya dengan suara terkekeh-kekeh. Sedangkan pengertian senyum adalah gerak tawa ekpresif yang tidak bersuara untuk menunjukkan rasa senang, gembira, suka dan sebagainya, dengan mengembangkan bibir sedikit.

Lalu apa manfaatnya apabila kita tersenyum dan tertawa. Berikut ini adalah 7 manfaat dari tersenyum dan tertawa bagi diri kita:

1. Menurunkan Resiko Terkena Penyakit Jantung
Hasil studi University of Maryland Medical Center menyatakan bahwa mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung pada umumnya kurang melakukan aktivitas tertawa dalam hidupnya bahkan memiliki kecenderungan sifat pemarah dan bermusuhan terhadap orang lain.

2. Memberikan Efek Bahagia Setara dengan Memakan 2000 batang coklat
"Jangan menunggu untuk bahagia baru tersenyum, namun tersenyumlah agar kita menjadi bahagia" (Aidh Alqarni).

The British Dental Health Foundation menyatakan bahwa tersenyum memiliki sensasi efek bahagia setara dengan saat memakan 2000 batang coklat.

3. Meningkatkan Peluang Memiliki Usia Lebih Panjang
Sebuah pepatah mengatakan "Menjadi tua tidak akan menghalangi utk tersenyum, tapi tidak tersenyum akan memprecepat proses menjadi tua".

Dalam Archives of General Psychiatry dinyatakan bahwa mereka yang memiliki sifat pesimis & jarang tersenyum serta tertawa cenderung memiliki usia lebih pendek dari pada mereka yang selalu optimis dan sering tersenyum serta tertawa.

4. Menambah Kekebalan Tubuh
Dalam hasil studi yang populer menyatakan juga bahwa ada hubungan erat antara tertawa dengan peningkatan kekebalan tubuh terhadap penyakit.

5. Menurunkan Tingkat Stress
Tertawa menurut berbagai studi dapat menekan hormon penyebab stress seperti cortisol, epinephrine, dopamine dan menumbuhkan hormon yang berfungsi untuk meningkatkan kesehatan seperti endorphins, dan neurotransmitters.

6. Memperbaiki Daya Tarik Kita
Sudah sewajarnya bagi mereka yang mudah senyum, dapat membuat orang lain tersenyum dan tertawa, akan disukai banyak orang karena senyum manis dan sifat humoris yang membuat wajah mereka juga semakin manis…:)

7. Senilai dengan sedekah
Ternyata sedekah bisa juga tanpa harta yaitu dengan senyuman sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits, yang artinya:

"Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah." (HR. Tirmidzi)

Sudahkah Anda tertawa lepas berkualitas dan membuat orang lain terhibur hingga mereka tertawa hari ini ?

Apa yang akan membuat Anda dan orang lain tersenyum hingga tertawa ?
Ayo berbagi pengalamnnya para sobat penebar senyum dan penghibur tawa..:).

Salam Safety
Sumber: Lorco.co.id dan diadaptasi juga dari berbagai sumber

Tuesday, September 13, 2011

AGM PLANNING STARTS NOW

Tuesday, June 14, 2011

The date of the FPS Group AGM has been confirmed and will take place between October 18 - 21, 2011.

The venue is the Intercontinental Bali Resort, Indonesia.

All member companies of the FPS network will be invited to the AGM to take part in discussions and one-to-one meetings with fellow freight forwarding members from around the network.

In joining the FPS network you are not joining just an anonymous network in which you have no control. By attending the AGM, you can have a real opportunity to shape the network’s direction and development.


Source: //www.fps-group.net/News.aspx?id=77

Tuesday, August 23, 2011

PETI KEMAS, TRANSIT DI SINGAPURA BERKURANG

Jakarta – Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II, RJ Lino mengatakan, volume peti kemas yang transit di Pelabuhan Singapura terus berkurang. Bila tahun 2009 sebanyak 60-65 persen peti kemas asal Tanjung Priok harus transit di Singapura, tahun 2010 hanya 20 persen.

“Prestasi ini karena kinerja Tanjung Priok makin baik, alatnya makin lengkap. Peti kemas ke Asia Timur, misalnya, langsung dikapalkan tanpa transit lagi. Tahun 2011 ini, bahkan saya menantang Tanjung Priok untuk investasi alat secara besar-besaran supaya kinerja makin baik,” kata RJ Lino, Rabu (23/2) di Jakarta.

RJ Lino berbicara dalam peresmian 12 unit rubber tyred gantry crane (RTGC) atau kendaraan penumpuk peti kemas milik PT Jakarta International Container Terminal (JICT).

Setiap tahun sekitar 2 juta peti kemas berukuran 20 kaki (TEUs) dibongkar muat di Tanjung Priok. “Dengan RTGC baru ini, kapasitas JICT diharapkan menjadi 3 juta TEUs per tahun pada 2012,” kata Presiden Direktur JICT Helman Sembiring.

(Sumber: Kompas, 24 Februari 2011)

Monday, August 15, 2011

ISO 9001:2008 SIMPLIFIED

Part 1: Scope, Part 2: References, Part 3: Terms and definitions

Part 4: Quality management system
General concept is to:
- Say what you do and do what you say (PDCA)
Documentation requirements
- Write down the important things
- Get organized to achieve quality
- Make directions available to users
- Keep directions up-to-date (as long as needed)
- Identify needed records and maintain them

Part 5: Management responsibility
Provide vision and commitment to quality
Plan to achieve quality
- Establish quality objectives
- Keep the quality management system current
Define duties and responsibilities
- Define and communicate responsibilities and authorities
- Put someone in charge of the quality program
- Communicate within the organization
Monitor the operations
- Periodically, to ensure suitability, adequacy and effectiveness of quality management system
- Inputs from both internal and external sources
- Outputs to cover QMS, product, and resources
- Keep records

Part 6: Resource management
Determine and provide resources for:
- Implementing and maintaining the QMS (including improving effectiveness)
- Enhancing customer satisfaction
Allow people to excel in their work
- Determine competencies and provide training
- Give them the tools and equipment to do the job
- Determine and manage the work environment

Part 7: Product realization
Define the process steps before doing it
- Product specifications
- Processes, instructions, and resources to make it
- Quality control (test and inspection) needed
- Records to prove it to outsiders
- Called "quality, production, or run plans"
Know what the customer wants
- Determine all the requirements
- Make sure you can do it (contract review)
- Keep the customer in the loop
Design for quality
- Create a design plan
- Define the design input (requirements)
- Capture the design in useful documents
- Periodically review the design process
- Verify that you did what you promised
- Validate the design to see if it really works
- Control changes to the design
Use good stuff from your suppliers
- Know what you want
- Check out your suppliers and monitor them
- Verify you received what you ordered
Control your production and service
- Make it under controlled conditions
- Validate processes that can’t be measured
- Match the job to the specs and show the status
- Keep track of what you make (if required)
- Don’t break your customer’s stuff
- Keep it good as it proceeds through production and delivery
Check the work with good equipment
- Identify information needed for monitoring (process) and measuring (conformity)
- Identify the devices needed for both
- Control monitoring and measuring processes
- Make sure measuring equipment is good

Part 8: Measurement, analysis and improvement
Develop ways to measure QC, QA, QM
Monitor your customer’s perception of your quality
Audit your quality management system
Monitor your internal processes
Measure the product characteristics
Don’t accidentally ship or use bad stuff
Properly dispose of bad stuff
Collect information and analyze it
Continually improve the QMS effectiveness

That's it!
Labels: quality


Source: http://auditguy.blogspot.com/2011/06/iso-90012008-simplified.html

Monday, August 1, 2011

BASMI VIRUS BAHAYA LOGISTIK

16 June, 2011 by alec

MENURUT laporan World Economic Forum (WEF) melalui Indeks Daya Saing Global alias Global Competitiveness Index (GCI) 2010–2011, disebutkan Indonesia berada di posisi ke-44 di antara 139 negara. Naik sepuluh peringkat dari posisi tahun lalu, yang bertengger di urutan ke-54.

GAFEKSI : Berada di urutan ke-44, Indonesia masih lebih baik daripada sebagian negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China/Tiongkok, dan Afrika Selatan), kecuali Tiongkok yang duduk di posisi ke-27.

Namun sayang, di antara negara terkemuka ASEAN, Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan Singapura (ke-3), Malaysia (ke-26), dan Thailand (ke-38).

Tapi, lebih bagus jika dibandingkan dengan Filipina (ke-85), Kamboja (ke-109), dan
Vietnam (ke-59).

Meski demikian, prestasi peningkatan daya saing tersebut kurang didukung dengan total biaya logistik (packaging and distributing) yang harus dikeluarkan pengusaha Indonesia.

Sebab, kenyataannya, dalam menjalankan bisnis, mereka masih memikul biaya yang tinggi.

Buktinya, Indonesia menempati posisi ke-58 dalam peringkat negara dengan biaya logistik paling efisien sedunia. Singapura menempati urutan kedua setelah Amerika.

Negara ASEAN lain, Malaysia, menempati peringkat ke-16. Sementara itu, Thailand menduduki peringkat ke-29 dan Filipina berada peringkat ke-52.

Berdasar data Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) 2002, persentase biaya logistik di
Indonesia terhadap GDP (gross domestic bruto) cukup tinggi, yaitu 30 persen.

Bandingkan dengan Meksiko yang hanya 14,9 persen; Singapura 13,9 persen; Jepang 11,3 persen; dan Hongkong sekitar 13,7 persen (Jawa Pos, 11/6/2011).

Tentu hal itu akan menjadi pekerjaan rumah yang penting bagi pemerintah sebelum menjalankan megaproyek Masterplan 2011–2025 yang baru saja diluncurkan dan proyek-proyek lain.

Jika diibaratkan dalam dunia medis, masalah biaya logistik itu termasuk virus yang bisa menimbulkan penyakit-penyakit ekonomi, seperti meningkatnya inflasi, bertambahnya jumlah rakyat miskin dan angka pengangguran, ketidakseimbangan neraca pembayaran, serta rendahnya pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, diperlukan langkah analgesik untuk mencegah menyebarnya virus biaya
logistik tersebut.

Ada beberapa langkah dan upaya analgesik yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi virus itu.

Pertama, membenahi masalah transportasi.

Salah satu masalah transportasi di Indonesia adalah kemacetan, terutama di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, dan lain-lain), akibat tidak seimbangnya jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat dengan luas jalan.

Akibatnya, dari sisi biaya angkutan, terjadi pemborosan Rp37 triliun.

Itu ditimbulkan oleh kemacetan yang berdampak pada meningkatnya biaya produksi dan harga barang.

Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Kepala Badan Litbang Kementerian Perhubungan Denny Siahaan bahwa transportasi merupakan komponen biaya terbesar yang harus dikeluarkan dari total biaya logistik.

Komposisi biaya untuk transportasi mencapai 25 persen (Jawa Pos, 11/6/2011).

Sebagai contoh, kerugian material di wilayah DKI Jakarta setiap tahun akibat kemacetan mencapai Rp20,7 triliun.

Itu disebabkan meningkatnya operasional perjalanan, pemakaian BBM, dan perbaikan
lapisan jalan tol (Kompas, 10/6/2011).

Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah kemacetan itu.

Antara lain, menggunakan kebijakan penataan kembali sistem transportasi dan tata ruang kota, pembatasan pemakaian kendaraan berat dan kendaraan pribadi di jalan, pengaturan parkir, serta peningkatan angkutan masal.

Juga yang paling penting adalah perlunya kesepahaman dan sinergitas antar kementerian serta pemerintah pusat dan daerah dalam membangun transportasi.

Kedua, membenahi masalah infrastruktur.

Infrastruktur dinilai sebagai kendala utama bagi kinerja dunia usaha. Pelaku usaha
menilai kualitas infrastruktur masih buruk.

Hanya telepon dan listrik (infrastruktur yang bukan kewenangan pemda) yang dinilai relatif baik oleh pengusaha (Jawa Pos, 8/6/2011).

Tidak salah jika studi yang dilakukan Islamic Development Bank (IDB) pada Juli 2010 mengenai kendala kritis pembangunan infrastruktur di Indonesia berkesimpulan bahwa begitu banyak hambatan dan kendala dalam penyediaan infrastruktur di negeri ini.

Antara lain, lemahnya kapasitas SDM dan kelembagaan, adanya masalah pembebasan lahan, serta lemahnya tata kelola pemerintahan.

Beberapa hal itulah yang mengakibatkan buruknya kualitas infrastruktur di Indonesia sehingga dalam aspek infrastrukturnya, menurut laporan WEF dalam Global Competitiveness Report 2010–2011, Indonesia hanya duduk di posisi ke-82 di antara 139 negara.

Posisi tersebut masih ketinggalan jauh oleh negara-negara ASEAN lain (Singapura peringkat ke-5, Malaysia ke-30, dan Thailand ke-35).

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah infrastruktur itu.

Di antaranya, segera menuntaskan UU Pengadaan Lahan yang masih menjadi perdebatan serta menambah jumlah porsi dana APBN untuk pembangunan infrastruktur yang masih minim.

Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan manajemen perusahaan.

Selain biaya transportasi yang merupakan penyumbang biaya terbesar dari total biaya
logistik, ternyata biaya produksi dan pengawasan merupakan salah satu bagian biaya terbesar (meliputi biaya storage 20 persen, inventory financing 16 persen, packaging 10 persen, serta management & control 11 persen) dari total biaya logistik tersebut.

Keempat, meningkatkan pelayanan birokrasi.

Sudah menjadi masalah klasik bahwa birokrasi di Indonesia cukup rumit dan penuh dengan pungutan-pungutan, pajak, dan segala tetek bengeknya dalam proses perizinan usaha.

Korupsi, tampaknya, sudah mendarah daging dalam setiap sendi kehidupan dunia birokrasi Indonesia, mulai tingkat pusat sampai daerah.

Tak salah jika biaya administrasi menyumbang 18 persen dari total biaya logistik yang harus dikeluarkan oleh pengusaha dalam menjalankan aktivitas bisnis.

Apalagi, sekarang masih terdapat 72 persen dari 1.481 peraturan daerah (perda) di 245
kabupaten-kota yang mengakibatkan ekonomi berbiaya tinggi.

Hal tersebut pada gilirannya akan mengakibatkan keengganan investor untuk menanamkan modal di Indonesia (Republika, 8/6/2011).

Kita semua berharap pemerintah segera membasmi virus biaya logistik tersebut sehingga tidak berlarut-larut menyerang ekonomi Indonesia.

Karena itu, diperlukan partisipasi dan kerja sama yang baik antara pemerintah, pelaku
dunia usaha, dan pihak-pihak lain yang terkait.

Juga yang paling penting, dibutuhkan langkah nyata dan ketegasan dari pemerintah sehingga wabah virus biaya logistik itu tidak semakin menyebar dan menular.

Agus Suman
Guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya
Sumber: radarjogja.co.id

Wednesday, July 13, 2011

THE SIX KESY TO SUCCESS

Author: unknown

1. Attitude
Bloom where you are planted. You have a choice to get back up after temporary set backs. Attitude is a small thing that makes a big difference!

2. Direction
If you don't know where you are going, any road will get you there. Write your short term goals down on paper. I have discovered and continue to discover that putting your dreams and goals down on paper lock in or focus your belief that they can be achieved--even if you have to take a course correction in achieving your goals. Success comes in cans, failure comes in can'ts.

3. Values
Explore what is important to you. Maybe it is family, friends, your spirituality or working hard at any given task. I can assure you that your priorities will change as you grow older. Very important that you value yourself and treat yourself like the valuable gift from God that you are.

4. Interests
Birds of a feather flock together. This is to say that if you are hanging around winners or others with a "can do" mind-set, you'll likely adapt to this same kind of thinking. Remember--"SUCCESS LEAVES CLUES!

5. Commitment
Feelings may change, commitments do not. "Success is getting up one more time than you fall." I have often wanted to give up, and then I must think to myself about what the consequences of giving up will be. Generally, this is more than enough of a motivation to make us stick to the task at hand even if we don't feel like it. When the task is achieved, Whow!--IT FEELS GREAT!

6. Encouragement
Be an encourager and comforter to friends that are feeling discouraged. I promise that you will not regret this as you will be encouraged by one, if not many, when you are feeling down. Encouragement and love are contagious qualities that can change the minds of the most stubborn and "hard-to-get- along-with" people you know. I have seen it happen over and over again.

Monday, July 4, 2011

GOAL SEEKER VS GOAL GETTER

"Goals are not only absolutely necessary to motivate us. They are essential to really keep us alive." -Robert H. Schuller

Berbicara soal goal dan tujuan hidup, di sinilah kita bisa bedakan dua tipe orang.

Orang yang pertama kita kategorikan sebagai goal seeker, dan kedua kita sebut goal getter. Goal seeker, adalah tipe orang yang selalu terus-menerus mencari goal. Goal getter adalah tipe orang yang selalu berusaha mewujudkan goal yang telah dicanangkannya. Semuanya memang berawal dan dimulai dari sebuah proses yang namanya goal.

Seorang yang belum memiliki goal yang jelas dan spesifik dalam hidupnya haruslah memulai langkah pertamanya dengan membuat suatu tujuan, yaitu menentukan apa yang sebenarnya mau diraih dalam hidup ini. Perilaku inilah yang sebenarnya kita sebut sebagai goal seeker.

Goal seeker biasanya memulai menemukan goal-nya baik dengan cara merenungkan goal hidupnya, ataupun dengan memodel orang-orang yang telah berhasil dalam pencapaian goal tersebut sehingga terinspirasi juga untuk mencapai goal yang sama bahkan lebih.

Siapa pun yang sukses, akan setuju bagaimana goal memiliki peranan yang penting dalam kehidupan mereka. Bahkan fisikawan Albert Einstein pun mengatakan, "If you want to live a happy life, tie it to a goal, not to people or things."

Ya, untuk menghidupi kehidupan yang bahagia, tentunya harus mengikatkannya dengan sebuah goal yang jelas. Namun, kehidupan tidaklah boleh berhenti hanya pada tataran membuat goal saja. Itulah yang banyak dialami oleh orang yang hidupnya mandek.

Setelah seorang goal seeker menemukan apa yang akan diraihnya, berikutnya dia harus bergerak menjadi goal getter. Dalam proses menuju goal getter, seorang goal seeker biasanya harus melewati banyak rintangan dan hambatan. Di sinilah godaannya. Sering terjadi, para goal seeker jadi frustrasi, menyerah bahkan akhirnya menyibukkan diri dengan terus-menerus mencari goal yang baru, dan mengganti goal lama yang sebenarnya belum pernah diusahakan sama sekali.

Inilah titik kritis di mana kalau goal seeker tidak mengalami transformasi menjadi seorang goal getter, waktu hidupnya akan terus-menerus dipakai untuk mencari goal yang baru. Akibatnya, setelah beberapa lama, entah beberapa bulan bahkan beberapa tahun, goal seeker tidak menghasilkan apa-apa sama sekali. Mereka kelihatan sibuk, tetapi pada dasarnya tidak menghasilkan apa pun (busy but not productive!).

Rasanya kita perlu mengingat kata-kata bijak dari co-writer buku The Power of Focus, yakni Les Brown yang mengatakan "You must take action now that will move you towards your goals. Develop a sense of urgency in your life."

Ya, diperlukan tindakan dan sesegera mungkin menjadi goal getter. Ambillah tindakan yang makin mengarahkan Anda menuju goal. Bangun terus sense of urgency dalam mencapai goal tersebut dengan melakukan transisi menjadi seorang goal getter, bukan hanya berhenti pada bermimpi saja.

Jadi manusia langka

Ada begitu banyak goal setter di dunia ini, tetapi sedikit sekali yang bisa berubah menjadi goal getter. Jadilah bagian dari manusia-manusia yang langka ini sehingga hidup Anda bukan hanya berisi ilusi semata, melainkan juga betul-betul menjadi sebuah realita yang bisa Anda nikmati, setelah Anda melewati berbagai rintangan di depan goal tersebut.

Dalam hal ini kita perlu belajar dari William Clement Stone, salah satu orang terkaya di Amerika yang merajut hidupnya dari mimpi-mimpi yang direalisasikannya sejak kecil. Bahkan, dengan beraninya, untuk mewujudkan mimpinya, sejak kecil dia nekat menjual koran di restoran.

Tahukah Anda, pada masa itu, menjual koran di restoran adalah hal yang tabu dan belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, dengan sikapnya yang persisten, ramah serta persuasif, akhirnya diceritakan bagaimana William meluluhkan hati para pemilik restoran untuk pertama kalinya mengizinkan seorang anak gembel menjual koran di restoran mereka.

Para pemilik restoran ini sama sekali tidak menyangka bahwa akhirnya, anak gembel yang gigih dengan semangatnya ini akan menjadi salah satu orang terkaya di Amerika yang memiliki bisnis asuransi terbesar pada masanya bahkan menjadi penulis berbagai buku tentang mental positif.

Dalam bukunya yang terkenal The Success System That Never Fails, dia berkata, "To solve a problem or to reach a goal, you don't need to know all the answers in advance. But you must have a clear idea of the problem or the goal you want to reach." Dengan kata lain, William mengingatkan para goal getter mereka perlu memiliki
kejelasan yang sangat jelas, spesifik dan detail tentang goal yang mau diraihnya.

Semakin spesifik dan semakin detail goal yang mau diraih bagi seorang goal getter, semakin jelas dan memudahkan bagi seorang goal getter untuk meraih goal yang telah ditentukannya saat mengalami transformasi dari goal seeker menjadi seorang goal getter.

Bahkan, Anda mungkin pernah mendengar ada pepatah yang mengatakan, "A goal properly set is halfway reached." Saat goal sudah ditentukan, perjalanan seorang goal seeker menjadi goal getter hanya tinggal setengah perjalanan lagi, tinggal membuat perencanaan-perencanaan dan tindakan-tindakan yang akhirnya akan mengarahkannya menjadi seorang goal getter.

Berikutnya, untuk memulai realisasi goal yang telah ditentukan, hal terpenting bagi seorang goal getter adalah menciptakan momentum. Momentum, berarti mengambil sebuah tindakan, entah tindakan itu besar ataupun kecil, tapi mulai melakukan aksi yang intinya membawanya semakin dekat pada tujuannya.

Tindakan itulah yang diperlukan agar mereka mulai termotivasi untuk segera mewujudkan goal itu. Benarlah sebuah kalimat bijak yang dikatakan oleh motivator nomor satu dunia, Anthony Robbins. "The most important thing you can do to achieve your goals is to make sure that as soon as you set them, you immediately begin to create momentum. "

Dalam rangka menciptakan momentum ini, biasanya hambatan yang paling sering dialami oleh seorang goal seeker adalah dalih (excuse) bahwa mereka membutuhkan dan mencari 'timing' atau waktu yang tepat.

Marilah kita percaya, waktu yang tepat itu tidak pernah ada. Waktu yang paling tepat itu sebenarnya sekarang. Marilah kita simak tip yang diberikan oleh Napoleon Hill, penulis buku Think and Grow Rich yang mengatakan, "Don't wait. The time will never be just right."

Sekali lagi, waktu yang terbaik tentu saja sekarang. Janganlah bermimpi bahwa akan ada waktu yang pas. Mulailah berani mengambil langkah-langkah awal yang yang akan menuntun kita semakin dekat dengan goal kita.

Yang jelas, penyebab seorang goal seeker gagal menjadi seorang goal getter adalah kurang atau tidak adanya tindakan untuk merealisasikan goal. Saya mengenal seorang sahabat saya yang punya rencana membangun bisnis media sejak 5 tahun yang lalu. Sampai sekarang pun dia masih terus mencita-citakannya.

Itulah contoh goal seeker yang terus-menerus berada di penantiannya. Jangan menjadi pribadi yang demikian. Marilah, mulai saat ini jadilah seorang goal getter bukan sekadar goal seeker yang selalu terus-menerus membuat goal.

Sumber: Goal Seeker vs Goal Getter oleh Anthony Dio Martin, Managing Director HR Excellency

Friday, June 10, 2011

INI NEGARA BERDAYA SAING TERBAIK DI DUNIA

Nur Farida Ahniar
JUM'AT, 10 JUNI 2011, 06:36 WIB


VIVAnews- World Economic Forum mengumumkan Global Competitiveness Report 2010-2011. Daya saing Indonesia sendiri menduduki peringkat 44 atau naik dibanding tahun lalu yaitu peringkat 54 dari 139 negara.

Peringkat ini dihitung dari berbagai data dan opini dari survey tahunan kepada para eksekutif yang dilakukan World Economic Forum bersama jaringan lembaga penelitian organisasi bisnis terkemuka, Partner Institutes.

Peringkat ini memiliki 12 indikator yaitu lembaga negara, infrastruktur, kesehatan lingkungan, ekonomi makro dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan. Indikator lainnya efisiensi pasar yang baik, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan, kesiapan teknologi kesiapan, ukuran pasar, kecanggihan bisnis dan inovasi. Berikut 4 negara dengan daya saing tertinggi di dunia.

1. Swiss

Swiss berhasil mempertahankan posisinya di urutan pertama, seperti tahun lalu. Swiss dinilai memiliki kapasitas sempurna untuk inovasi dan budaya bisnis yang canggih. Negara ini menduduki peringkat 4 untuk kecanggihan bisnis dan peringkat 2 untuk kapasitas inovasi.

Swiss juga memiliki institusi riset terbaik di dunia, dan kolaborasi kuat antara sektor akademis dan bisnis. Hal ini dikombinasi dengan pengeluaran perusahaan yang tinggi dalam sektor penelitian dan pengembangan (R&D) untuk memastikan semakin banyak penelitian mendukung produk dan proses bernilai. Juga diperkuat perlindungan hak intelektual dan dukungan pemerintah terhadap inovasi dan proses pengadaan barang.

Lembaga publik di Swiss juga dinilai paling efektif dan transparan di dunia (peringkat 5), atau lebih baik dibanding tahun lalu. Struktur pemerintahan juga memastikan tempat bermain (playing field) yang sama, meningkatkan kepercayaan bisnis, termasuk aturan hukum kuat, dan sektor publik akuntabel.

Daya saing negara ini juga ditopang oleh infrastruktur yang baik (peringkat 6), ketersediaan barang (peringkat 4), pasar keuangan yang maju (peringkat 8) dan lapangan kerja paling efisien di dunia (peringkat 2, sesudah Singapura). Eknomi makro Swiss melemah tahun lalu, namun bangkit kembali dan menjadi paling stabil di dunia (ranking 5) dimana saat ini banyak negara berjuang dengan keadaan ini.

2. Swedia

Swedia dipandang bergerak lebih maju dibanding Singapura dan Amerika Serikat, sehingga menempati peringkat dua. Negara ini mengambil keuntungan dari institusi publik paling transparan dan efisien di dunia. Rendahnya tingkat korupsi dan pemerintahnya merupakan salah satu paling efisien di dunia. Kepercayaan publik terhadap politisi menempati peringkat tiga.

Sementara institusi swasta juga mendapat rangking tinggi (peringkat 3), dengan prilaku etika perusahaan terbaik (ranking 1). Standar audit yang tinggi dan petinggi perusahaan berfungsi dengan baik. Sementara pasar barang dan keuangan sangat efisien, meski pasar tenaga kerja dianggap kurang fleksibel.

Kombinasi ini ditambah dengan kekuatan pendidikan yang difokuskna selama bertahun-tahun (peringkat 2 dalam bidang pendidikan tinggi dan pelatihan) dan adopsi teknologi terkuat di dunia (peringkat 1 dalam hal kesiapan teknologi). Swedia membangun budaya bisnis yang canggih (ranking 2) dan salah satu pemimpin inovasi (ranking 5). Karakteristik ini membuat Swedia memiliki produktivitas dan daya saing ekonomi yang tinggi.

3. Singapura

Singapura bertahan di posisi 4, dan masih menjadi urutan tertinggi dari Asia. Lembaga negara ini dinilai terbaik di dunia, menduduki peringkat 1 dalam mengurangi korupsi dan pemerintah yang efisien. Singapura menjadi tempat paling efisien untuk barang dan pasar tenaga kerja (ranking 1) dan peringkat 2 untuk kecanggihan pasar keuangan.

Singapura juga memiliki infrastruktur kelas dunia (ranking 5) baik jalan, pelabuhan, fasilitas transportasi udara. Selain itu daya saing negara ini ditopang fokus yang kuat pada pendidikan, menyediakan individual dengan skill yang dibutuhkan untuk ekonomi global yang cepat berubah. Untuk memperkuat daya saing, Singapura juga mengadopsi teknologi terbaru dan peningkatan teknologi.

4. Amerika Serikat

Peringkat Amerika Serikat terus turun sejak tahun lalu, jatuh dua level menempati urutan ke 4. Sementara banyak kategori membuat ekonomi produktif. Sejumlah kelemahan justri menurunkan peringkat AS selama 2 tahun terakhir.

Kelebihannya, perusahaan AS sangat canggih dan inovatif, didukung sistem universitas yang baik, mengkombinasikan sektor bisnis dalam riset dan pengembangan. Dengan ekonomi domestik terbesar di dunia, membuat peluang AS sangat kompetitif. Pasar tenaga kerja Amerika menempati peringkat 4, dimana mudah mencari pekerja dengan fleksibilitas upah yang signifikan.

Berikut 10 Besar Negara dengan Daya Saing Terbaik

Peringkat Negara Skor
1 Swiss 5,63
2 Swedia 5,56
3 Singapura 5,48
4 Amerika Serikat 5,43
5 Jerman 5,39
6 Jepang 5,37
7 Finlandia 5,37
8 Belanda 5,33
9 Denmark 5,32
10 Kanada 5,30

Sumber : Vivanews

Tuesday, May 31, 2011

USING STATISTICAL METHOD TO IMPROVE THE EFFECTIVENESS OF ISO 9001

Ref.: 875

2003-10-16

A new technical report is expected to help users of the ISO 9000 series identify statistical techniques that will improve the effectiveness of their quality management system.

Statistical techniques offer insight into the nature, extent and causes of variability in products and services and, in so doing, help control and reduce problems that could arise from such variability, and which exists throughout the life cycle of products, from market research to customer service and final disposal.

Published by ISO (International Organization for Standardization), the new technical report, ISO/TR 10017:2003, Guidance on statistical techniques for ISO 9001:2000, is intended to assist managers in their decision-making processes by identifying statistical techniques that could help improve the quality of products and processes.

"The effective deployment of statistical techniques is largely governed by how well their potential application and benefit are understood by management," says Lally Marwah, Convenor of the working group that developed the new standard. "This need is well served by the recently published technical report, which offers a clear and concise view of a range of widely used statistical techniques, and their potential role and value in driving quality improvement."

It can be used by organizations in developing, implementing, maintaining and improving a quality management system based on ISO 9001:2000, although the use of ISO/TR 10017 is not a requirement for certification/registration purposes.

ISO/TR 10017:2003 replaces ISO/TR 10017:1999. It is aligned with ISO 9001:2000 and will serve as a strategic tool for managers who may not necessarily be experts in statistical techniques.

http://www.iso.org/iso/pressrelease.htm?refid=Ref875

10 CRITICAL FACTORS THAT MAKE ISO IMPLEMENTATION SUCCESSFUL

...

Based on PQA's research on why some companies had such great success with their ISO implementations and others failed spectacularly, PQA has identified 10 Critical Success Factors that make an ISO implementation successful. They are:

1. Sr. Management's recognition of their crucial role in the ISO system management process

2. ISO involvement at all levels, jobs, and areas in the organization

3. Understanding of the organizational processes and the critical control points in the process.

4. People trained in how to do their job, and interact effectively with the whole system.

5. Focusing on organizational development & improvement, not just the bare minimum (ie. what the ISO Registrar is willing to accept today)

6. Finding balance between excess ISO bureaucracy, and insufficient ISO system depth to ensure consistent results.

7. Dedication to following the agreed systems at all levels in the organization

8.Keeping the organization focused on meeting the ISO implementation timeline

9. Effective ISO auditing (ie. Sr. Management knows the ISO status, the risks, and gets actionable recommendations for rapid improvement)

10. Timely management response to ISO audit results.

If a consultant was relied upon to guide the ISO implementation, the fault for a poor ISO implementation may very well lie with the consultant. Was the consultant's advise understood, and followed by Sr. Management? Most Sr. Management get distracted very early in the ISO implementation process, then abdicate (Sr. Management calls it "delegate") the ISO implementation process to staff or consultants. The effective ISO implementation is often sacrificed for a quick ISO certificate on the wall with minimal effort and costs.

For quality consultants to be effective, they need to have a good understanding both of ISO 9001 and the sector or company they are seeking to apply it to. Effective ISO 9001 implementation is supposed to lead to improved productivity, efficiency, consistency and client service. If ISO 9001 is not delivering this, then it has not been effectively implemented.

...


http://www.pqa.net/ProdServices/ISO/ISO-System-Effectiveness.html

MEASURING PURCHASING PERFORMANCE

Written by Martin Murray, About.com Guide


Measuring purchasing performance is important as the purchasing department plays an ever increasingly important role in the supply chain in an economic downturn. A reduction in the cost of raw material and services can allow companies to competitively market the price of their finished goods in order to win business. An obvious performance measure of the success of any purchasing department is the amount of money saved by the company. However there are a number of performance measurements that businesses can use when they measure purchasing performance.

Purchasing Efficiency
Administrative costs are the basis for measuring purchasing efficiency. This performance measurement does not relate to the amount of purchased items that the department has procured. The measurement relates to how well the purchasing department is performing in the activities they are expected to perform against the budget that is in place for the department. If the purchasing costs are within the budget then the efficiency of the purchasing department will exceed expectations. If the department is using funds over and above the budget then the purchasing function is not efficient.


Purchasing Effectiveness
The price that the purchasing department paid for an item is not necessarily a good measurement for purchasing performance. The price of an item may fluctuate due to market conditions, its availability, and other demand pressures; therefore the purchasing department may not be able to control the price. A popular method of assessing purchasing effectiveness is to review the inventory turnover ratios. The ratio measures the number of times, on average; the inventory is used, or turned, during the period. The ratio used to measure the liquidity of the inventory. However, this is not always a great measure of purchasing effectiveness as seasonal requirements for having items in stock can make this measurement inaccurate.


Purchasing Functionality
Purchasing performance can be measured against the functional requirements of the purchasing function. The primary function of the department is to provide the correct item at the required time at the lowest possible cost. The performance measurement can take into account these elements, but it does not take into account factors that may relate to the supplier stability, material quality issues and supplier discounts.


Performance Measurements
The performance of the purchasing function can be measured using a variety of measurements. A company can decide which of these measurements of effectiveness are relevant to the performance of their purchasing department. The measurements can include,

•Cost Savings; If the purchasing department procure an item at a lower price than they did previously, then it is a cost saving. This can occur when a new supplier is found, a less costly substitute item is used, a new contract has been signed with the vendor, a cheaper transportation method has been found or the purchasing department has negotiated a lower price with the existing supplier.
•Increased Quality; When an item has improved quality either by using a different supplier or by negotiating with the existing supplier, the improvement will be reflected in a reduction of waste or production resources.
•Purchasing Improvements; Efficiencies in the method used in the purchasing department will increase effectiveness. These can include the introduction of EDI, e-procurement systems, vendor managed inventory and pay on receipt processes.
•Transportation Improvements; When a purchasing department negotiates with a carrier or number of carriers to reduce the cost of transporting items from the vendor to the production facilities, the unit cost of the item will be reduced. This cost saving can be used as a measurement of effectiveness.

Purchasing Performance
A number of studies have been carried out on purchasing performance and the results have noted that there is no one method that will cover every purchasing department. However, there are a number of key measures that are found to be common in evaluating performance, namely; cost saving, vendor quality, delivery metrics, price effectiveness and inventory flow. Although these key measures are common, the weight placed on these measures is by no means uniform and will vary between industry to industry and business to business. In addition the importance of these measures to the overall effectiveness of a purchasing department will change over time and therefore need to be assessed and modified on a periodic basis.

Source: http://logistics.about.com/od/strategicsupplychain/a/measure_purchasing.htm

Thursday, April 28, 2011

SISTEM LOGISTIK NASIONAL MENDESAK DIBENAHI

Written by Tribunnews.com - Willy Widianto
Wednesday, 30 March 2011 12:52


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sistem Logistik Nasional saatnya dibenahi pemerintah agar 10 tahun ke depan Indonesia akan tumbuh menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Hal tersebut diungkapkan oleh anggota Komisi V DPR RI Abdul Hakim menanggapi kenyataan buruknya Indeks Kinerja Logistik Indonesia yang saat ini menduduki posisi ke-75 dari 155 negara di dunia.

“Menurut laporan Bank Dunia 2010, Kinerja Logistik Indonesia ini no. 4 terburuk di ASEAN, setelah Kamboja, Laos dan Myanmar. Padahal pada tahun 2007 kinerja logistik kita jauh lebih baik daripada Filipina dan Vietnam,” ujar Abdul Hakim di gedung DPR, Jakarta, Selasa (29/3/2011).

Selain itu, dalam pandangan Hakim, paket Undang-Undang Transportasi sebagai bagian dari Sistem Logistik Nasional, yang disahkan pada kurun waktu tahun 2007-2009 harus dapat memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi pemerintah untuk menciptakan harmonisasi diantara sistem angkutan darat, kereta api, laut dan udara.

“Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran telah mengamanahkan pada pemerintah untuk mendukung peningkatan peran industri pelayaran nasional terhadap sistem logistik, demikian juga halnya dengan Undang-undnag Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian,” jelas Abdul Hakim.

Di sisi lain, menurut Hakim yang juga anggota Fraksi PKS ini menjelaskan bahwa sharing angkutan laut dan kereta api masih sangat kecil terhadap total produksi angkutan barang di Indonesia. Padahal beban jalan raya yang menanggung lebih dari 90% angkutan barang di Indonesia sudah terlalu berlebihan.

Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi masalah kerusakan jalan, kemacetan lalu lintas dan kerugian kolektif hingga milyaran rupiah perharinya. Sementara di sisi lain, pelabuhan-pelabuhan strategis di Indonesia belum dilengkapi fasilitas bongkar muat yang memadai.

“Padahal dengan meningkatkan perhatian untuk membenahi fasilitas infrastruktur bongkar muat di pelabuhan, seperti Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, maka beban angkutan barang di jalan raya dapat dikurangi secara signifikan. Dengan begitu maka waktu dan biaya menggunakan angkutan laut akan kompetitif”, jelasnya.

Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Lampung ini mengingatkan bahwa Anggaran pemeliharaan jalan selama ini selalu menduduki peringkat pertama dalam hal besaran alokasi APBN setiap tahunnya, dan kenyataannya terbukti tidak mampu mengimbangi laju kerusakan jaringan jalan akibat muatan berlebih, seperti kerusakan jalan di Pantura, Trans Kalimantan dan Trans Sulawesi. Akibatnya, lanjut Hakim, hal ini menyebabkan komponen biaya angkutan barang meningkat lebih dari seratus persen.

Fakta ini menunjukkan bahwa seharusnya prioritas pembangunan infrastruktur transportasi yang terlalu berorientasi pada angkutan di jalan raya tidak tepat.

“Kementerian Perhubungan harus membenahi Sistem Logistik Nasional dengan mengambil langkah berani, yaitu melakukan percepatan pembentukan kelembagaan dan peningkatan Infrastruktur pelabuhan dan kereta api, sehingga target agar Indonesia menjadi salah satu Kekuatan Ekonomi Dunia akan segera terealisir. Artinya, tujuan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia pun tercapai”, tandasnya.

Monday, April 11, 2011

INCOTERMS (R) 2010

by James "Jim" Hohenstein (Holland & Knight)

Ed. Note: The following article is republished with permission of and our thanks to the author. Readers may also be interested in a November 2010 article on the same subject available by clicking below

http://www.forwarderlaw.com/library/view.php?article_id=730


The time is ripe to examine the new Incoterms® 2010 rules promulgated by the International Chamber of Commerce (ICC). Intended to replace Incoterms 2000, Incoterms® 2010 became effective on January 1, 2011.

The Incoterms® 2010 rules reflect the increasing variance in transport practices, the greater number and use of customs-free trade zones, increased concern about security in the transport of goods, as well as the widespread use and reliance on electronic communications in business transactions. The key changes contained in Incoterms® 2010 are highlighted below.1

Deletion of Four Terms and Introduction of Two New Terms

Incoterms® 2010 replaces four trade terms from Incoterms® 2000 – namely, DAF (Delivered at Frontier), DES (Delivered Ex Ship), DEQ (Delivered Ex Quay) and DDU (Delivered Duty Unpaid) – with two new terms: DAT (Delivery at Terminal) and DAP (Delivery at Place). There now will be 11 instead of 13 terms.

DAT and DAP may be used regardless of the agreed-upon method of transport. Under both new rules, delivery occurs at a named destination. DAT directs that delivery occurs when the goods, upon being unloaded from the arriving means of transport, are placed at the buyer’s disposal at a named terminal or a specified place of destination (as under the former DEQ rule). DAP designates delivery to have occurred when the goods are placed at the disposal of the buyer on the arriving means of transport ready for unloading at the named placed of destination (as under the former DAF, DES and DDU rules). Like their predecessors, DAT and DAP require the seller to bear all the costs (other than import clearance costs, as applicable) and risks associated with bringing the goods to the named terminal or place of destination.

From a practical standpoint, parties should identify as clearly as possible the terminal or the place of destination. A good example of such precision is: “DAP 31 West 52nd Street, New York, New York, Incoterms® 2010 rules.” The designated locations are important because the risks associated with effectuating delivery of the goods to that point, unless otherwise agreed, are the seller’s responsibility.

Classification of the Incoterms® 2010 Rules

The Incoterms® 2010 rules are divided into two distinct categories: deliveries by any mode of transport (sea, road, air, rail) and deliveries by sea/inland waterway.

The first type of rules – EXW, FCA, CPT, CIP, DAT, DAP and DDP – applies regardless of the mode of transportation selected by the parties and whether or not more than one mode of transportation is used. In short, these rules can be used when a ship, truck, aircraft or railcar is used for all or any part of the carriage.

The second type of rules – FAS, FOB, CFR, and CIF – only applies to sea and inland waterway transport. Importantly, with respect to FOB, CFR and CIF, the Incoterms® 2010 rules no longer designate the ship’s rail as the point of delivery. Instead, they instruct that delivery occurs when such goods are simply “on board” the vessel. This change reflects modern commercial reality and disposes of the obviously outdated notion that risk fluctuates back and forth across an imaginary perpendicular line.

Domestic and International Trade

Although the Incoterms® rules have traditionally been used in contracts governing the international sale of goods in cross-border transactions, the Incoterms® 2010 rules account for the growing number of transactions occurring in trade blocs such as the European Union, where border formalities between sovereign nations are less significant or non-existent. Indeed, the subtitle of the 2010 rules states that they are available for both international and domestic sales contracts and that compliance with export and import formalities exist only where applicable. It appears that traders commonly use Incoterms® rules for purely domestic sales contracts, presumably because in the use of trade terms they do not distinguish between domestic and international sales. The ICC indicates that there is growing practice in the United States of using Incoterms instead of the more limited trade terms defined in the Uniform Commercial Code (UCC).

Security Obligations

In light of post-9/11 security concerns in connection with the shipment of goods, the Incoterms® 2010 rules require a higher degree of cooperation between the parties by allocating specific obligations between the buyer and seller to obtain or to render assistance in obtaining security-related clearances, such as chain-of-custody or similar information.

For instance, articles A2/B2 of various Incoterms® rules require both the seller and the buyer to provide any export/import license and other official authorization and complete all customs formalities necessary for the export/import of goods.

Electronic Communication

Articles A1/B1 of the Incoterms® 2010 now equate electronic means of communication with paper communication, so long as the parties agree or where it is customary. Previous versions of the Incoterms rules specified those documents that could be replaced by an EDI (Electronic Data Interchange).

Insurance Cover

The Incoterms® 2010 rules are the first version of the Incoterms that take into account the alterations made to the Institute Cargo Clauses. The Incoterms® 2010 rules part from the generic descriptions of the parties’ obligations with respect to procuring insurance, which were previously found in articles A10/B10 of the Incoterms® 2010 rules. Now, however, under articles A3/B3 of the 2010 rules, the buyers’ and sellers’ respective duties in connection with contracts of carriage and insurance are more carefully articulated. For example, under CPT (Carriage Paid To) articles A3/B3, subsection (b) (“Contract of insurance”), the 2010 rules provide:

* The seller has no obligation to the buyer to make a contract of insurance. However, the seller must provide the buyer, at the buyer’s request, risk and expense (if any), information the buyer needs for obtaining insurance.
* The buyer has no obligation to the seller to make a contract of insurance. However, the buyer must provide the seller, upon request, the necessary information for obtaining insurance.

Terminal Handling Charges

To remedy the situation where the buyer pays for the same freight costs twice – once to the seller by way of the sales contract and again to the terminal operator upon receipt of the goods in the port or container terminal – in shipments involving Incoterms CPT, CIP, CFR, CIF, DAT, DAP and DDP, articles A6/B6 of the Incoterms® 2010 rules clearly allocate such costs in the relevant Incoterms® rules.

String Sales

The Incoterms® 2010 rules also seek to clarify the obligations of a seller in a middle of a string sale by recognizing that these obligations are different from the initial seller. Often, in sales involving commodities, the subject cargo is often sold numerous times during transit “down a string” or chain of sales. The seller in the middle of the string does not actually “ship” the goods because this task has already been arranged by the initial seller in the string. The Incoterms® 2010 recognizes this distinction by providing an obligation to “procure goods shipped” as an alternative to “shipping” goods in the relevant Incoterms rules.

Variance of Incoterms Rules

Although the Incoterms® rules do not prohibit altering the rules, commercial parties should be careful in doing so. To alleviate potential ambiguities that may arise, parties should be clear as to the purpose of the changes. For example, if the parties choose to alter the allocations of costs designated in the 2010 Incoterms rules, they should clearly express whether they intend to also change the point at which delivery takes place – i.e., at what point risk passes from seller to buyer.

The author's biography is available here:
http://www.hklaw.com/id77/extended1/biosjhohen/


January 24, 2011

Friday, April 8, 2011

ALIGNMENT, LEADERSHIP DAN DIRECTORSHIP

Zulkfli Zein | Tenaga Profesional LPP Yogyakarta

The Living Organism

Memaknai organisasi sebagai mahluk hidup (living organism)kiranya sangatlah tepat. Pemahaman the living organism bukan saja didasari oleh kenyataan bahwa organisasi merupakan kumpulan manusia, sehingga harus didekati dengan pendeketan kemanusiaan. Namun layaknya mahluk hidup, organisasi memiliki organ-organ yang harus berkoordinasi secara sempurna, tidak cukup hanya secara baik, sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai mahluk hidup. Bayangkan jika kedua tangan tidak berkoordinasi, sehingga saling memukul satu sama lain. Bayangkan jika kedua kaki tidak ingin melangkah dengan ayunan yang sama dan searah. Bayangkan jika kedua bola mata tidak melihat pada fokus yang sama. Bayangkan jika rahang berkontraksi tanpa terkendali dan mengatupkan mulut dengan keras sehingga menggigit putus lidah. Apa jadinya tubuh tanpa koordinasi. Tentu tak terbayangkan malapetaka yang terjadi.

Apakah pada kenyataannya organisasi mampu membangun koordinasi secara sempurna layaknya tubuh? Kita semua paham bahwa di banyak organisasi, koodinasi tidak selalu berjalan dengan baik. Apalagi sempurna. Organ-organ organisasi seringkali tidak berkoordinasi dengan baik, sehingga sering terjadi saling pukul, saling gigit, saling tarik, saling dorong. Langkah tidak selalu mengayun pada arah yang sama dan kecepatan yang selaras. Pandangan seringkali tidak fokus pada titik yang sama.

Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Mengapa organisasi tak dapat berkoordinasi sesempurna tubuh ? Jawabannya jelas, karena organisasi sebenarnya tidak saja terdiri dari tubuh-tubuh fisik manusia, tetapi di dalam tubuh-tubuh tersebut terkandung
berbagai kebutuhan, keinginan, kemauan, dan kepentingan. Para filsuf Yunani sejak ribuan tahun yang lalu mengatakan bahwa manusia adalah Homo Ekonomikus. Manusia adalah mahluk dengan interest yang sangat kompleks dan tak terbatas. Tak terkendali.

Otak dan Kepemimpinan

Lantas jika organisasi begitu laten terhadap diskoordinasi dan konflik, siapakah atau apakah yang mampu mengatasinya? Jawabnya adalah Kepemimpinan (Leadership). Koordinasi tubuh yang begitu baik, dah bahkan sempurna, merupakan kerja organ yang disebut otak. Dari sekian banyak organ tubuh, mungkin otaklah yang menyimpan begitu banyak misteri. Bahkan hingga kini, ilmu pengetahuan belum banyak menjawab misteri di seputar otak. Bagaimana organ yang sedemikian kecil dan lemah secara fisik namun memiliki peran yang begitu sentral dalam kehidupan manusia. Bagaimana organ dengan volume yang begitu terbatas, mampu membuat manusia melakukan hal-hal di luar batas.

Barangkali tidak salah menganalogikan kepemimpinan dalam organisasi dengan fungsi otak. Sejarah menunjukkan kepada kita, bagaimana pemimpin-pemimpin besar dan agung membangun dan menghancurkan dunia. Bagaimana Julius Caesar dan Alexander The Great membangun imperium terbesar sepanjang sejarah. Bagaimana Adolf Hitler dan Mussolini menggerakkan sebuah bangsa menjadi mesin pembunuh yang menciptakan malapetaka begitu masif. Dalam sejarah bisnis modern kita juga mengenal para CEO besar yang membangkitkan semangat ribuan karyawan dan menyelamatkan perusahaan raksasa dari kebangkrutan. Para CEO yang membangun perusahaan kelas dunia, dengan nilai asset setara sebuah negara berkembang.

Itulah misteri kepemimpinan. Misterinya organ yang bernama otak.

Directorship

Istilah directorship memang belum begitu populer, karena relatif baru dibicarakan. Perbincangan mengenai directorship, menilik beberapa referensi yang ada, umumnya terbatas disekitar aspek legal-korporasi, yaitu terkait dengan peran, wewenang dan
tanggungjawab kelembagaan, dari sekelompok orang yang duduk pada posisi manajemen tertinggi di dalam organisasi. Kelompok yang di dalam konsep korporasi barat disebut Board (Dewan Direksi). Pembahasan directorship dalam ranah yang lebih luas, seluas pembicaraan mengenai leadership, belum banyak dilakukan.

Masalahnya adalah, persoalan directorship, dalam kondisi riil dunia bisnis yang dinamis, tidaklah sekering itu. Dalam kehidupan organisasi yang riil, tidak ada satupun peran, wewenang dan tanggungjawab direksi dapat dilakukan dengan baik tanpa
mengetengahkan dimensi kepemimpinan. Mengapa? Karena pada level yang begitu tinggi (di puncak piramid organisasi), dengan rentang kendali yang begitu luas, tak satupun instrumen directorship dapat efektif dijalankan tanpa kepemimpinan. Kepemimpinan adalah alat satu-satunya untuk menegakkan akseptabilitas dan kepatuhan. Kepemimpinanlah yang menjembatani kepentingan-kepentingan, mengatasi konflik dan
membangun kebersamaan.

Lantas pertanyaanya sekarang adalah, mana yang lebih tinggi dari yang lainnya, leadership atau directorship ? Atau bagaimana hubungan diantara keduanya?

Collective Leadership

Adalah menarik jika menilik pengertian directorship dari Merriam-Webster Dictionary, yaitu: one or a group of persons entrusted with the overall direction of a corporate enterprise.

Paling tidak terdapat dua kata kunci yang perlu digarisbawahi di dalam pengertian tersebut. Pertama adalah entrusted, dan yang kedua adalah overall direction. Keduanya memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain.

Pemahaman mengenai konsep entrusted atau pihak yang diberi kepercayaan, amanah atau mandat, membawa konsekuensi logis bahwa directorship memiliki tugas yang sangat mulia. Pihak dimana orang banyak menggantungkan harapan, nasib, dan masa depan. Pihak yang dipasrahi. Bayangkan betapa beratnya beban directorship, jika organisasi terdiri dari puluhan ribu anggota dan ratusan ribu keluarganya. Bila organisasi mengelola asset bernilai trilyunan rupiah. Dalam kasus BUMN, asset tersebut adalah hak milik rakyat. Miliknya orang banyak. Konsep overall direction memiliki makna yang sama dengan entrusted tadi. Bahwa directorship dalam hal ini adalah pihak yang dipasrahi untuk menentukan arah organisasi. Pihak yang menentukan hitam putihnya warna organisasi. Pihak yang di banyak organisasi bahkan ibarat diberi cek kosong (blank cheque), bebas mau mengisi seberapa suka.

Jika seperti itu situasinya, maka bagaimana cara memegang amanah dan mandat begitu besar dengan cara yang bijaksana? Disinilah konsep kepemimpinan bersama (collective leadership) menjadi sangat penting. Yaitu situasi dimana wewenang dan tanggungjawab di-share dengan baik diantara sesama pimpinan. Keputusan-keputusan penting diambil dengan proses kebersamaan. Resiko didistribusikan secara proporsional, sehingga beban moral menjadi lebih ringan. Dengan kepemimpinan bersama yang efektif, keraguan dan ketakutan dalam pengambilan keputusan penting serta strategis dapat dikelola dengan baik. Kiranya disinilah inti konsep directorship tersebut dikembangkan. Collective leadership, visi bersama (common vision), pembagian wewenang dan tanggungjawab (shared authority and responsibility), dan pengelolaan resiko (managed risk).

Alignment

Salah satu dimensi penting dalam konsep Balanced Scorecard (BSC) yang dikemukakan oleh Norton dan Kaplan (1996) adalah alignment atau kesearahan. BSC merupakan salah satu bentuk metode manajemen strategi penting yang saat ini telah diterima secara luas baik oleh kalangan akademisi maupun praktisi bisnis. Peran BSC sebagai instrumen yang membumikan rencana strategi terbukti efektif di banyak organisasi.

Pengertian mendasar dari alignment adalah bagaimana arah strategi divisi, unit, fungsi, di dalam organisasi harus dikaitkan satu dengan yang lain, membentuk sebuah mozaik yang menggambarkan logika berpikir (logic of thinking) yang benar tentang bagaimana arah visi dan misi organisasi dapat dicapai. Divisi, unit, dan fungsi adalah entitas-entitas di dalam organisasi yang mewakili kepentingan (interest) yang sangat beragam. Alignment, jika dibangun dengan baik dan dengan logika yang benar, akan mengatasi perosoalan konflik kepentingan (conflict of interest) tersebut. Setiap entitas menyadari keberadaannya adalah bagian dari sebuah keberadaan yang lebih besar, yaitu organisasi atau perusahaan atau korporasi. Setiap entitas menyadari bahwa visi dan misi korporasi hanya dapat dicapai jika semuanya berjalan pada arah yang sama, dengan menjalankan tugas dan perannya masing. Bagaikan mengangkat tandu berukuran besar beramai-ramai. Tanpa membangun alignment, niscaya organisasi bagaikan kertas tipis yang ringkih, mudah sekali terkoyak-koyak.

Kegagalan Directorship

Pembicaraan mengenai alignment menjadi penting ketika membahas persoalan directorship. Mengapa demikian? Sebab salah satu peran directorship adalah berfikir, merencanakan, dan bertindak strategis. Ingat pengertian overall direction seperti telah dibahas sebelumnya. Seringkali kita mendengar dan melihat bagaimana sebuah perusahaan mengalami kemunduran dan bahkan hancur, bukan karena persoalan “di garis depan (frontline) atau di garis bawah (bottomline). Perusahaan hancur bukan karena ketiadaan atau kesulitan bahan baku untuk produksi. Perusahaan hancur bukan karena pasar lesu dan tiada pembeli. Tapi perusahaan hancur karena manajemen, terutama di puncak piramida (direksi), gagal membangun alignment sehingga lini produksi dan tenaga penjualan tidak dapat bekerja dengan baik.

Inilah sebagian dari bentuk-bentuk lemahnya alignment dari directorship. Tanaman tidak mampu menghasilkan panen sesuai potensinya, karena biaya pemupukan dan perawatan ditekan habis-habisan demi meraih kinerja keuangan jangka pendek. Kapasitas produksi tidak dapat ditingkatkan, karena dana untuk investasi tidak hendak dikucurkan. Peluang pasar tidak dapat diraih karena promosi dan R&D dianggap beban semata. SDM dikotak-kotakkan kedalam kelompok yang penting dan yang kurang penting. Citra perusahaan hancur karena CSR dan kehumasan dianggap sebagai aksesoris yang “yang penting ada”.

Directorship telah kehilangan salah satu ruh penting dari leadershipnya, yaitu kolektivitas. Kebersamaan. Ketika setiap anggota board melihat dengan cara pandang yang berbeda. Berfikir dengan logika yang berbeda. Mengambil keputusan dengan pertimbangan kepentingan yang berbeda. Directorship yang mengabaikan kepercayaan (trust) dari seluruh anggota organisasi yang dipimpinnya.


Sumber : LPPCom, September 2009

Friday, April 1, 2011

PROSES AUDIT BERNILAI TAMBAH

Apa yang dimaksud dengan “Memberikan Nilai Tambah”?

Kita sering mendengar tentang pentingnya "nilai tambah" dalam pelaksanaan audit sistem manajemen mutu (SMM), tapi apa sesungguhnya yang dimaksud? Apakah mungkin memberikan nilai dengan mengkompromikan integritas sebagai auditor atau dengan melakukan konsultasi? Secara prinsip, setiap audit harus menambah nilai, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.

Artikel ini memberikan panduan bagaimana audit dapat memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang terlibat, dan pada berbagai situasi yang mungkin ditemui dalam konteks audit pihak kedua atau audit pihak ketiga

Sistem manajemen mutu “bernilai tambah”

Terdapat beberapa definisi “nilai (value)” menurut kamus, semua berfokus pada konsep atas sesuatu yang bermanfaat. “Menambah nilai” dapat diartikan membuat sesuatu menjadi lebih bermanfaat.

Banyak organisasi menggunakan seri standar ISO 9000 untuk mengembangkan system manajemen mutunya yang terintegrasi dengan kegiatan bisnisnya, dan berguna dalam membantu mencapai sasaran strategis bisnisnya – dengan kata lain hal ini menambah nilai bagi organisasi. Sebaliknya, organisasi yang lain justeru menciptakan birokrasi dari keberadaan prosedur dan rekaman yang tidak merefleksikan realitas yang dilakukan organisasi, dan juga menambah cost, kemanfaatan yang belum dirasakan. Dengan kata lain, hal itu tidak “menambah nilai”.

Sebuah pertanyaan pendekatan:

Pendekatan “non-nilai tambah” mempertanyakan, “Prosedur apa yang harus kita tulis untuk mendapatkan sertifikat ISO 9000?”

Pendekatan “nilai tambah” akan mempertanyakan, “Bagaimana cara kita menggunakan system manajemen mutu yang berdasar ISO 9001 membantu meningkatkan bisnis kita?”

Bagaimana menambah nilai dalam proses audit?

Bagaimana kita memastikan bahwa audit berguna bagi organisasi dalam memelihara dan meningkatkan SMMnya? (Kita harus mengenali, apapun itu, bahwa mungkin terdapat perspektif lain yang perlu dipertimbangkan/dimaklumi).

Untuk “menambah nilai”, audit harus berguna :

· dalam mensertifikasi organisasi (untuk audit pihak ketiga) :

- dengan memberikan informasi pada manajemen puncak terkait dengan kemampuan organisasi dalam mencapai sasaran strategisnya,
- dengan mengidentifikasi masalah yang, jika terselesaikan, akan meningkatkan kinerja organisasi,
- dengan mengidentifikasi peluang peningkatan dan perbaikan atas area yang mungkin beresiko.

· bagi pelanggan organisasi dengan meningkatkan kemampuan organisasi dalam menyediakan produk yang sesuai,
· bagi badan sertifikasi, dengan meningkatkan kredibilitas proses sertifikasi pihak ketiga.

Pendekatan untuk “menambah nilai ” seringkali merupakan fungsi dari tingkat kedewasaan budaya mutu organisasi dan kedewasaan SMMnya, dengan mengacu pada persyaratan ISO 9001.

Dengan mengacu pada Gambar 1, kita secara konseptual dapat memisahkan organisasi ke dalam empat zona yang berbeda, sebagai berikut:

Zona 1: ("Budaya mutu" rendah; SMM tidak dewasa, tidak sesuai dengan ISO 9001)
Zona 2: ("Budaya mutu" dewasa; SMM tidak dewasa, tidak sesuai dengan ISO 9001)
Zona 3: ("Budaya mutu" rendah; SMM dewasa, sesuai dengan ISO 9001)
Zona 4: ("Budaya mutu" dewasa; SMM dewasa, sesuai dengan ISO 9001)

Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks ini:

"Budaya Mutu" mengacu pada tingkat kesadaran, komitmen, sikap dan perilaku kolektif organisasi dalam hal mutu.

“Kesesuaian dengan ISO 9001" berhubungan dengan kedewasaan SMM organisasi, dan sejauh mana itu memenuhi persyaratan ISO 9001. (Sebagaimana diketahui, ketidaksesuaian minor tertentu tetap akan terdeteksi sekalipun pada organisasi yang menampilkan tingkat kedewasaan yang tinggi dan telah sesuai dengan (conform to) ISO 9001).


Zona 1: ("Budaya mutu" rendah; SMM tidak dewasa, tidak sesuai dengan ISO 9001)

Organisasi yang memiliki sedikit atau tidak ada “budaya mutu” dan SMMnya tidak sesuai dengan ISO 9001, harapan bagaimana sebuah audit dapat memberikan pertambahan nilai dapat diartikan bahwa organisasi menerima saran “bagaimana untuk” menerapkan system manajemen mutu dan/atau menyelesaikan ketidaksesuaian yang timbul.

Apa yang dapat dilakukan oleh auditor, bagaimanapun, adalah memastikan bahwa pada saat ketidaksesuaian ditemui, auditee telah memiliki pemahaman yang jelas apa yang dibutuhkan standar, dan mengapa ketidaksesuaian diterbitkan. Jika organisasi dapat mengenali bahwa penyelesaian ketidaksesuaian ini akan mengarah pada kinerja yang meningkat, selanjutnya mereka akan menambah kepercayaan dan komit pada proses sertifikasi. Penting, bagaimanapun, bahwa ketidaksesuaian yang teridentifikasi dilaporkan, sehingga organisasi dengan jelas memahami apa yang perlu dikerjakan dalam memenuhi persyaratan ISO 9001.


Zona 2: ("Budaya mutu" dewasa; SMM tidak dewasa, tidak sesuai dengan ISO 9001)

Bagi organisasi yang telah memiliki “budaya mutu” yang dewasa, tetapi lemah dalam SMM dan tidak sesuai/conform dengan persyaratan ISO 9001, harapan mendasar bagaimana audit dapat menambah nilai akan sama dengan yang diharapkan dalam Zona 1. Sebagai tambahan, bagaimanapun, organisasi cenderung memiliki harapan dari auditornya.

Agar dapat memberikan nilai tambah, auditor harus memahami cara praktis yang dilakukan organisasi dalam memenuhi persyaratan ISO 9001. Dengan kata lain, auditor harus memahami proses-proses organisasi dalam konteks ISO 9001, dan tidak, sebagai contoh, memaksa organisasi mendefinisikan ulang proses-proses dan dokumentasinya agar selaras dengan struktur klausul dari standar.

Organisasi mungkin, contohnya, mendasarkan system manajemennya pada model business excellent, atau tool dari total quality management seperti Hoshin Kanri (Management by Policy), Quality Function Deployment, Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), metodologi “Six sigma”, program 5S, Systematic Problem Solving, Quality Circles dan sebagainya. Agar dapat menambah nilai selama proses audit, auditor harus, pada tingkatan minimum, perlu menyadari metodologi yang dimiliki organisasi, dan dapat melihat pada arah mana efektivitas ditempuh dalam memenuhi persyaratan ISO 9001 bagi organisasi yang khusus itu.

Penting juga bagi auditor agar tidak ter-“intimidasi” oleh penampilan kecanggihan yang tinggi yang ditunjukkan organisasi. Sementara organisasi menggunakan tool ini sebagai bagian dari keseluruhan filosofi mutu total, mungkin saja ditemui adanya kesenjangan pada saat tool itu digunakan. Oleh karena itu, auditor harus dapat mengidentifikasi adanya problem yang sistematis dan menerbitkan ketidaksesuai-an yang sesuai. Dalam situasi demikian, auditor mungkin dituduh bertele-tele atau bahkan birokratis, sehingga kemampuan menunjukkan relevansi ketidaksesuaian yang diterbitkan menjadi penting.


Zona 3: ("Budaya mutu" rendah; SMM dewasa, sesuai dengan ISO 9001)

Organisasi yang telah disertifikasi dengan salah satu dari seri standar ISO 9001 untuk periode waktu yang signifikan mungkin dapat menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi dari ISO 9001, tetapi pada saat yang sama tidak sepenuhnya menerapkan “budaya mutu” dalam organisasinya. Secara tipikal, SMM mungkin diterapkan di bawah tekanan dari pelanggan, dan dibangun di sekitar persyaratan standar, daripada kebutuhan dan harapan organisasi sendiri. Sebagai hasilnya, SMM mungkin dijalankan parallel dengan cara organisasi melakukan operasionalnya secara rutin, menghasilkan pengulangan pekerjaan dan tidak efisien.

Dalam rangka untuk menambah nilai dalam hal ini, peran utama auditor adalah sebagai katalis (pemercepat laju perbaikan) bagi organisasi dalam membangun system manajemen mutu berbasis ISO 9001, dan untuk mengintegrasikan system pada kegiatan sehari-hari (day-to-day operations). Sementara auditor sertifikasi pihak ketiga tidak dapat memberikan rekomendasi bagaimana memenuhi persyaratan ISO 9001. Mereka lebih mengakui praktek berjalan yang baik (best practice) dengan mendorong dan menstimulasi (tapi tidak membutuhkan!) organisasi untuk melampaui/memenuhi persyaratan standar. Pertanyaan yang diajukan auditor (dan cara bagaimana auditor mengajukan pertanyaan) dapat memberikan wawasan berharga bagi organisasi bagaimana SMM bisa menjadi lebih efisien dan berguna. Identifikasi “Peluang bagi Perbaikan (Opportunities for Improvement)” oleh auditor harus termasuk cara bagaimana efektivitas SMM dapat ditingkatkan, tapi juga ditujukan pada peluang untuk meningkatkan efisiensi.


Zona 4: ("Budaya mutu" dewasa; SMM dewasa, sesuai dengan ISO 9001)

Bagi organisasi yang telah dewasa dalam “budaya mutu”, dan telah disertifikasi dengan salah satu dari seri standari ISO 9000 pada kurun waktu yang signifikan, harapan bagaimana sebuah audit dapat memberikan nilai tambah menjadi hal yang sangat menantang bagi auditor. Keluhan umum pada organisasi jenis ini adalah bahwa “kunjungan surveillance rutin” oleh auditor mungkin berlebihan, dan memberikan sedikit nilai di mata organisasi.

Dalam kasus ini, manajemen puncak menjadi pelanggan penting bagi proses sertifikasi. Oleh karena itu penting bagi auditor memiliki pemahaman yang jelas tentang sasaran strategis organisasi, dan dapat menempatkan audit SMM dalam konteks itu.

Auditor perlu mendedikasikan waktu untuk diskusi secara rinci dengan manajemen puncak, untuk menentukan harapan mereka untuk SMM, dan untuk memasukkan harapan-harapan ini ke dalam kriteria audit.


Beberapa tips untuk auditor tentang cara untuk menambah nilai

1) Perencanaan audit

a. Memahami harapan auditee / budaya perusahaan
b. Setiap masalah tertentu telah disampaikan (output dari audit sebelumnya)?
c. Analisis Risiko dari sector/spesifik industri bagi organisasi.
d. Pra-evaluasi persyaratan hukum / peraturan perundangan.
e. Menghargai seleksi tim audit untuk mencapai sasaran audit,
f. Alokasi waktu yang memadai.

2) Teknik audit

a. Lebih fokus pada proses, daripada prosedur. Prosedur terdokumentasi, instruksi kerja, check-list dsb mungkin diperlukan agar organisasi dapat merencanakan dan mengontrol proses, tetapi pengauditan harus ditujukan pada kinerja proses.
b. Lebih berfokus pada hasil daripada pada catatan. Dalam cara yang sama, beberapa catatan mungkin diperlukan agar organisasi dapat memberikan bukti objektif bahwa proses berjalan efektif (memberikan hasil yang direncanakan), tetapi dalam rangka untuk menambah nilai, auditor harus menyadari dan mengapresiasi bentuk bukti yang lain.
c. Ingat 8 Prinsip Manajemen Mutu.
d. Gunakan pendekatan "Plan-Do-Check-Act" untuk mengevaluasi efektivitas proses organisasi.

i. Apakah proses telah direncanakan?
ii. Apakah dilaksanakan sesuai rencana?
iii. Apakah hasil yang direncanakan tercapai?
iv. Apakah peluang untuk perbaikan diidentifikasi dan diterapkan?

- Dengan mengoreksi ketidaksesuaian
- Dengan mengidentifikasi akar penyebab masalah dan melaksanakan tindakan korektif
- Dengan mengidentifikasi tren, dan kebutuhan untuk tindakan pencegahan
- Dengan inovasi


e. Mengadopsi pendekatan "holistik" untuk mengumpulkan seluruh bukti audit, bukan berfokus semata-mata pada klausul ISO 9001 secara individual.


3) Analisis dan keputusan

a. Masukkan temuan ke dalam perspektif (penilaian resiko / "masuk akal").
b. Kaitkan temuan dalam praktek pada kemampuan organisasi untuk menyediakan produk yang sesuai (lihat ISO 9001 klausul 1.1).


4) Laporan dan Tindak Lanjut

a. Pelaporan yang wajar dari temuan audit

i. Pendekatan berbeda mungkin diperlukan tergantung pada:

· tingkat kedewasaan organisasi (Zona 1, 2, 3 dan 4)
· tingkat keyakinan dalam SMM
· pelibatan aspek resiko
· sikap auditee dan komitmen terhadap proses audit

o Proaktif
o Reaktif

ii. Pastikan bahwa setiap aspek budaya dipertimbangkan
iii. Tekankan temuan positif yang sesuai
iv. Apakah solusi yang diusulkan organisasi dalam menanggapi temuan negatif berguna?

b. Laporan harus obyektif dan ditujukan kepada "pihak" yang benar. (Manajemen puncak mungkin akan memiliki harapan yang berbeda dari wakil manajemen).





**********