Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Wednesday, March 6, 2013

CUSTOMER AWARDS & MOTIVATION TRAINING


Berita Foto


Pada 19 Februari 2013 yang lalu, FPS Indonesia menyelenggarakan kegiatan dengan tajuk sebagaimana tersebut di atas. Acara tersebut merupakan bentuk ekspresi dan ungkapan terima kasih perusahaan khususnya kepada para pelanggan yang telah memberikan support dalam setahun terakhir.

Selain pemberian plakat kepada pelanggan yang termasuk dalam “Top Ten Customer”, pelanggan juga disuguhi sebuah acara menarik dalam bentuk training. Training yang materinya boleh dibilang “baru” ini cukup memberikan kesan tersendiri, terbukti para pelanggan yang hadir tidak beranjak hingga acara selesai.

Training yang oleh instrukturnya diberi tema “Brain Dominance-based Performance Improvement” itu berisi ulasan tentang dominasi kerja otak seseorang yang terdiri dari 5 area otak manusia. Training menjadi semakin menarik manakala tipe dominasi otak tiap peserta diumumkan oleh instruktur, yang sebelumnya para peserta pada saat registrasi telah dilakukan tes sidik jari oleh tim trainer. Dalam pembentukan perilaku, meski pengaruh lingkungan adalah 80%, artinya kita tidak bisa serta-merta mendudukkan / me-reposisi kemestian yang didukung oleh factor dominant itu, para peserta tetap saja terkesan termasuk yang pada 26 Februari 2013 dilakukan secara internal terhadap sejumlah karyawan dari berbagai divisi dan unit bisnis di lingkungan Iska Niaga Darma group itu.

Berikut petikan gambar-gambar pada kedua acara tersebut :






( Jaeroni Setyadhi )

Catatan : 
Penganugerahan plakat diberikan kepada beberapa pelanggan PT FPS Indonesia dan PT FPS Movers yang berkontribusi paling besar selama setahun terakhir.



CUSTOMER AWARDS & MOTIVATION TRAINING


Sesi foto bersama pada acara "Customer Awards & Motivation Training", 19 Februari 2013

MERESPON PERLAMBATAN DAN RESIKO EKONOMI GLOBAL


Oleh: Aunur Rofiq, Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan/Praktisi Bisnis Pertambangan dan Perkebunan

PEREKONOMIAN Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2012 diperkirakan dapat mencapai 6,3 persen dan selanjutnya ditahun 2013 diperkirakan meningkat dikisaran 6,3 hingga 6,7 persen. Pertumbuhan tersebut didorong oleh kuatnya permintaan domestik yang ditopang konsumsi rumah tangga dan investasi.

Tekanan inflasi dalam tahun 2012 dan 2013 diperkirakan masih cukup rendah yakni 4,5 plus minus satu persen. Hingga akhir tahun 2012, nilai tukar rupiah bergerak sesuai kondisi pasar dengan intensitas depresiasi yang menurun. Namun pada awal tahun 2013, rupiah melemah akibat neraca perdagangan kita yang defisit.

Dari sisi kinerja perbankan hingga Desember 2012 tetap terjaga dengan penyaluran kredit yang cukup tinggi, seiring tren perkembangan ekonomi yang terus meningkat. Per oktober 2012, kredit tumbuh 22,40% dari Rp 2.028,14 triliun per Oktober 2011 menjadi Rp 2.482,52 triliun per Oktober 2012. Pertumbuhan itu mengangkat rasio antara kredit dan DPK (loan to deposit ratio/LDR) dari 81,03% per Oktober 2011 menjadi 83,78% per Oktober 2012. Dengan demikian LDR perbankan nasional sudah melewati LDR minimal 78% sebagaimana disyaratkan Bank Indonesia untuk menggeber kinerja kredit pada kisaran LDR 78-100%. Dengan LDR minimal 78% berarti ketika suatu bank dapat menghimpun DPK Rp 100 triliun, bank tersebut wajib menyalurkan kredit minimal Rp 78 triliun.

Rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Dengan kondisi perekonomian yang terus tumbuh, terutama konsumsi domestik yang kuat, menyebabkan adanya kegiatan ekonomi sehingga perbankan Indonesia masih memiliki ruang untuk memperkuat laju pertumbuhan kinerjanya. Meski demikian, kinerja perbankan nasional masih beroperasi dalam kondisi yang tidak efisien dimana besaran rasio net interest margin selalu berada diatas 5% yang merupakan angka tertinggi di kawasan Asia. Hal ini menyebabkan sektor perbankan belum optimal berperan sebagai agent of growth bagi perekonomian nasional.

Dengan kondisi fundamental yang cukup baik ini, ketahanan ekonomi ditahun 2013 diperkirakan masih cukup kuat. Meski demikian, terdapat tiga hal penting yang harus diwaspadai oleh pemerintah dalam menghadapi perkembangan ekonomi 2013, yakni:

Pertama, Pada 2013, potensi ancaman krisis dunia masih tetap tinggi yang bersumber pada pemulihan krisis di Zona Eropa dan pelemahan ekonomi Amerika Serikat akibat program pengetatan belanja publik dan kenaikan pajak.

Kondisi ekonomi dan keuangan global masih cenderung melemah akibat berlarutnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan lambatnya pemulihan krisis Eropa. Rencana pemerintah Amerika Serikat mengatasi masalah fiscal clif dengan menaikkan tarif pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak hingga 600 miliar dollar AS akan berpotensi menimbulkan kontraksi perekonomian Amerika Serikat. Dampaknya akan menimbulkan penurunan daya beli domestik Amerika, sehingga berpotensi melemahkan impor Amerika dan ekspor negara lain ke Amerika termasuk Indonesia.

Potensi destabilitas kawasan terkait dengan konflik kepulauan Senkaku/Diaoyu antara dua kekuatan ekonomi terbesar Asia yaitu Jepang dan China juga menciptakan kekhawatiran baru. Konflik terbuka antara kedua negara sangat dikhawatirkan mengganggu kinerja ekonomi kawasan dan juga Indonesia.
Tanpa adanya solusi diplomasi dan meruncingnya konflik akan mengganggu investasi, perdagangan dan jalur transportasi antar negara-wilayah dalam kawasan Asia Pasifik.

Kedua, efek berantai kedua wilayah ini berpengaruh terhadap sejumlah kinerja ekonomi nasional terutama di sektor perdagangan dan investasi. Sebenarnya pada 2012, perekonomian nasional telah menerima dampak atas pelemahan ekonomi global. Secara akumulatif Januari-November 2012, deficit Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) mencapai 1,33 miliar dollar AS dengan nilai impor mencapai 176.09 miliar dollar AS dan ekspor sebesar 174,76 miliar dollar AS.

Defisit neraca perdagangan kita sudah mulai terasa dampaknya terhadap kestabilan rupiah. Defisit ini bukan semata karena daya saing ekspor kita yang melemah, tetapi juga pangsa pasar ekspor kita yang melemah akibat krisis global.

Ketiga, terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi global ikut mempengaruhi ekspektasi pertumbuhan ekonomi domestik. Beberapa lembaga keuangan dan perbankan telah mengoreksi target pertumbuhan ekonomi pemerintah dari 6,8 persen menjadi sekitar 6,3 persen. Perlambatan ekonomi global berdampak terhadap penurunan harga komoditas internasional sehingga kinerja ekspor ikut menurun. Kinerja ekonomi Indonesia tahun mendatang akan sangat tergantung pada kemampuan memobilisasi kekuatan domestik, yakni konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah dan investasi.

Keempat, pertumbuhan ekonomi yang kita capai masih belum mampu menampung pertumbuhan tenaga kerja baru dan mengentaskan kemiskinan. Meski pertumbuhan ekonomi melahirkan banyak kelas menengah baru, namun kemiskinan dan pengangguran masih tetap tinggi, sehingga masih terjadi ketimpangan distribusi pendapatan antarpenduduk.

Menyadari berbagai kemungkinan tersebut, Pemerintah perlu mengoptimalkan beberapa potensi dan peluang yakni:

Pertama, struktur ekonomi Indonesia yang masih berorientasi pada kekuatan permintaan domestik yang ditopang oleh kinerja sektor UMKM dan informal. Sektor ini telah menunjukkan kemampuannya dalam memberikan andil dalam perekonomian nasional terutama dalam menghadapi krisis.

Kedua, kuatnya fundamental ekonomi Indonesia dengan pasar dan sumber daya alam yang besar masih menjadi daya tarik bagi investasi ke depan, baik PMA maupun PMDN. Meskipun beberapa komoditas berbasis sumber daya alam sekarang ini menghadapi pelemahan permintaan global, namun sektor ini masih mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, iklim investasi yang cenderung membaik, yang diawali dari kenaikan peringkat Indonesia yang telah kembali menjadi investment grade pada awal tahun 2012 lalu. Perbaikan iklim investasi ini membaik sejak terpuruk akibat krisis tahun 1997/98. Investasi telah meningkat baik investasi langsung maupun tidak langsung.

Keempat, sektor perbankan masih cukup kuat dalam menopang perkembangan ekonomi, dimana jumlah dana di lembaga keuangan khususnya perbankan Indonesia yang belum mampu dimanfaatkan sektor riil masih besar. Kelebihan likuiditas inilah yang selama ini terpaksa diserap oleh Bank Indonesia, yang dewasa ini berjumlah sekitar Rp430 triliun.

Tantangan ekonomi global membutuhkan kesiapan kita bersama untuk membuat kebijakan dan strategi antisipatif. Strategi dan arah kebijakan dalam tahun 2013 selain harus memperkuat ketahanan dalam menangkal risiko penularan krisis global terhadap stabilitas makroekonomi dan keuangan Indonesia, juga harus mendorong potensi dan kekuatan perekonomian nasional.

Pemerintah harus terus memonitor dan mempersiapkan langkah-langkah antisipatif-kebijakan untuk memitigasi setiap potensi resiko ancaman eksternal. Semangat Indonesia-Incorporated dalam meminimalisir resiko ekonomi global sangat penting. Sehingga kita dapat mencapai target-target pembangunan baik yang tertuang dalam RPJP, RPJM dan ausmsi APBN 2013.

Dari sisi kebijakan makroekonomi, kebijakan fiskal Pemerintah dan kebijakan moneter Bank Indonesia perlu diarahkan untuk dapat menstimulus perekonomian khususnya dari sisi permintaan dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Dari sisi keseimbangan fiscal, meski defisit anggaran dan utang masih cukup aman, tetapi beban subsidi BBM yang terus membengkak bisa mengurangi fleksibilitas pengelolaan fiskal.

Proporsi defisit/PDB dan utang Indonesia masih pada zona aman. Pemerintah dan DPR telah menyepakati defisit anggaran terhadap PDB pada 2013 sebesar 1.65 persen dan dibawah rule of thumb standar aman sebesar 3 persen. Sementara rasio utang terhadap PDB berada pada lebel 25 persen. Proporsi ini perlu terus kita jaga dan pertahankan untuk menciptakan fundamental ekonomi yang semakin kuat. Sekaligus juga sebagai antisipasi terhadap setiap external-shock kepada kesehatan belanja dan fiskal Indonesia pada 2013.
Sementara itu, dari sisi kebijakan sektoral dan struktural, peningkatan investasi dan kapasitas perekonomian untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran perlu dilakukan melalui percepatan berbagai program yang selama ini telah dicanangkan untuk peningkatan investasi dan infrastruktur, khususnya dalam Master Plan untuk Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).(*)



THE FUTURE OF ISO 9001


By :  Yasuhiko Yoneto


Yasuhiko Yoneto discusses the Japanese view of ISO 9001 and his suggestions for the revised version of the standard in 2015

When ISO 9000 was first published in 1987, many Japanese companies showed a strong resistance to the requirements of western-style documentation. ISO 9001:2000 was expected to breathe new life into Japanese companies that were suffering from the collapse of the bubble economy, and to help restore their competitiveness. However, we found out that the quality management system on its own was not enough to strengthen the economic results of Japanese companies' operations. The revision in 2008 was not a full-scale one and there were only minor modifications. With this in mind, from a personal point of view, expectations are high for the revised version of ISO 9001 (expected to be released in 2015).

Today, you would be hard pressed to find an organisation that is unaffected by the wave of globalisation.  It is now common to procure materials, components for products, and even services, from abroad. For example, a company in the US might be continuously carrying out around-the-clock development work on computer software in collaboration with an Indian company. Despite this situation, the only wording that reflects this in the current version of the standard is "evaluation of suppliers". So it is difficult to say that the standard places enough emphasis on the management of suppliers. Many companies have responded by creating a supplier qualification process using their own rating criteria, such as supply capability and quality control level. There has been a host of challenges for international supply chains recently, which demonstrate the need for supply chains to be strengthened. It's therefore desirable that a clear statement about the requirement for supplier evaluation is made in the revised ISO 9001 standard, addressing the presence or absence of supply chain management and need for periodical second-party auditing.

According to a recent ISO survey on the relationship between financial results and the concept of zero defects, a financial disadvantage can surface when the management system for the manufacturing process aims to achieve a zero-defect product infinitely through the principle of 'quality first'. The survey also found that many companies are seeking economic benefits through the utilisation of the ISO 9001 quality management system. In Japan it is not as prevalent as the rest of the world, but some companies do seek third-party certification of their management system for the sole purpose of increasing their commercial advantage. This is a particularly strong pattern among small and medium-sized companies. To avoid such improper trends, one option for the revised ISO 9001 standard would be that 'management review' requires organisations to discuss investment efficiency as well as cost reduction.

Due to advances in information technology, it's become common practice for management systems and various documents to be digitalised. This practice encourages the internal sharing of various documents so that they can be facilitated at every level of an organisation. Today, many organisations use information technology to strengthen their internal communications and share knowledge of customer information and personal experiences. However, the current international standard does not specifically mention the utilisation of information technology, other than referring to "documents containing digital data". An active utilisation of information technology could be encouraged in the standard, by adding a requirement regarding documentation.

The difference between corrective and preventive actions is not so clear, although these are major requirements in the current international standard. Not only that, but the requirement for preventive action cannot be described as a proactive approach, but rather a reactive approach. In addition, 'preventive action' is often synonymous with risk assessment, hence it has to be positioned at the 'plan' stage in Deming's plan-do-check-act cycle. Very fortunately, the newly proposed high level structure for international standards follows this direction and emphasises risk management in the planning stage as a part of the management system. The risk-based approach adopted for another standard – PAS 99:2006 – might be one of options to encourage organisations to carry out a simple risk assessment. Therefore, my final suggestion for the revised ISO 9001 standard is to add a note referring to the risk-based approach of PAS 99.

Yasuhiko Yoneto is a quality commentator, former employee of ExxonMobil Chemical, and former quality improvement engineer in Japan, the US and Singapore