Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, June 28, 2007

Desakan Penghapusan THC Menguat

JAKARTA (Bisnis Indonesia): Pelaku usaha dan kalangan DPR kembali mendesak pemerintah agar menghapus terminal handling charges (THC) di pelabuhan yang selama ini dibebankan oleh pelayaran asing yang melayani rute internasional kepada pemilik barang ekspor-impor nasional.

"THC itu masuk dalam kategori pungli [pungutan liar] dan hanya Menhub Jusman Syafii Djamal yang bisa menghapusnya melalui keputusan menteri," kata Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Amirudin Saud di sela-sela diskusi bertema Dua Tahun THC Diturunkan, Siapa Diuntungkan?, kemarin.

Selain itu, lanjut dia, Menhub juga harus mengevaluasi kembali besaran tarif container handling charges (CHC) pascapenurunan THC sejak dua tahun lalu. Sejak 1 November 2005, pemerintah menurunkan THC untuk peti kemas 20 kaki dari semula US$150 menjadi US$95, terdiri dari CHC US$70 dan surcharge US$ 25.

THC peti kemas 40 kaki yang semula US$230 diturunkan menjadi US$145, terdiri dari CHC US$105 dan surcharge US$ 40.

CHC adalah tarif bongkar muat peti kemas di terminal peti kemas internasional. THC dihitung dari biaya CHC ditambah surcharge.

Menanggapi desakan itu, staf ahli Menhub Efendi Batubara menjelaskan kebijakan pemerintah menurunkan THC sejak dua tahun lalu sudah sesuai prosedur hukum dengan mengacu pada implementasi Keppres No. 24/2005 tentang Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor.

Sejak THC diturunkan, papar Efendi, dunia usaha khususnya eksportir dan importir nasional telah memperoleh manfaat berupa penghematan US$342 juta atau sekitar Rp3,1 triliun per tahun yang berasal dari arus peti kemas ekspor-impor di pelabuhan Indonesia yang jumlahnya sekitar 6 juta TEUs (twenty-foot equivalent units) per tahun.

Sikap DPR
Ketua Komisi V DPR Ahmad Muqowwam mendukung desakan pelaku usaha agar Menhub mengkaji kembali penurunan THC. "Waktu itu kami [DPR] sudah meminta kepada pemerintah agar THC dihapuskan saja, tetapi pemerintah bilang itu sesuatu yang tidak bisa dihindari mengingat hal itu merupakan suatu kelaziman yang ada di beberapa negara," ujarnya.

Muqowwam mengingatkan bahwa persoalan ini merupakan pekerjaan rumah serius yang mesti disikapi oleh Menhub. "Menhub harus berani mengambil alih persoalan ini."

Sementara itu, perusahaan pelayaran asing melalui perwakilannya di Indonesia menyatakan tidak pernah diajak berkonsultasi saat pemerintah memutuskan penurunan THC pada dua tahun lalu.
"Kami tidak pernah dikonsultasikan padahal kami juga merupakan pengguna jasa kepelabuhanan di Indonesia," ujar Jean Charles Tassoni, Presdir CMA-CGM Indonesia.

Dia mengakui sejak terjadi penurunan THC, pendapatan pelayaran asing yang melayani pelabuhan di Indonesia turun sekitar 37% dari yang selama ini diperoleh dari pemilik barang (shippers) di Indonesia.
Tassoni juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang memberlakukan tarif CHC seragam di seluruh pelabuhan peti kemas.

Padahal, menurut dia, infrastruktur dan peralatan yang ada di setiap operator terminal peti kemas (TPK) berbeda-beda.

Sebagai contoh, tuturnya, di Jakarta International Container Terminal (JICT) dan TPK Koja masing-masing mengoperasikan tujuh unit post panamax cranes.

Adapun TPS Surabaya mengoperasikan 10 unit gantry cranes (GC), TPK Semarang (4 GC), TPK Belawan (3 GC), TPK Panjang (2 GC), dan TPK Palembang hanya mengoperasikan satu unit GC.
"Fasilitasnya berbeda, tetapi tarif CHC yang diberlakukan sama. Belum lagi seperti di TPK Panjang dan Palembang, seringkali peralatan gantry cranes-nya tidak berfungsi."

Vice President Director Terminal Petikemas Surabaya David P. Montgomery mengatakan penurunan THC dua tahun lalu telah mengakibatkan tiga pelayaran yang sebelumnya melayani pengangkutan langsung ke Asia Timur dari terminal tersebut telah menghentikan kunjungannya ke Surabaya, di mana ada sedikitnya 12 kunjungan kapal per bulan.


Tuesday, June 26, 2007

DJBC Operasikan KPU Tanjung Priok

JAKARTA (suara Karya): Pengoperasian Kantor Pelayanan Utama (KPU) Tanjung Priok pada 2 Juli 2007 ini menandai dimulainya era baru pelayanan prima di Ditjen Bea dan Cukai (DJBC).

"KPU menjadi awal era baru DJBC dalam memberikan pelayanan yang berkualitas (prima) dan melakukan pengawasan yang efektif kepada industri, perdagangan, dan masyarakat," kata Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi akhir pekan lalu, di Jakarta.

Anwar menjelaskan, KPU merupakan wujud dilakukannya perubahan secara sistemik di DJBC. Dengan pengoperasian KPU Tajung Priok sekaligus menjawab adanya kesan kurang baik di BC yang selama ini menjadi anggapan orang. "Citra dan kinerja Bea dan Cukai yang dinilai kurang baik telah menjadi cambuk bagi kami untuk melakukan revitalisasi. Khususnya program reformasi serta mempercepat proses pembenahan melalui pembentukan KPU," ujarnya.

Menurut Anwar, upaya reformasi yang dilancarkan DJBC, terutama sejak 2002 selama ini belum maksimal. Upaya yang dilakukan itu juga belum mendapat respons dan citra yang positif dari dunia usaha dan masyarakat. Hal itu ditandai, misalnya dengan masih banyaknya keluhan terhadap kinerja DJBC, indeks persepsi korupsi yang buruk, dan hasil dari beberapa survei yang dilakukan oleh berbagai institusi.

Menurut Anwar, hasil kajian tim percepat reformasi kebijakan bidang pelayanan bea dan cukai menunjukkan bahwa uapya peningkatan citra dan kinerja BC harus dilakukan melalui sumber daya manusia (SDM). Selain itu juga melalui sistem dan prosedur, organisasi, dan adanya dukungan bagi peningkatan kesejahteraan pegawai.

Menjelaskan SDM di KPU, kata Anwar, pihaknya menyadari kebijakan yang diambil meliputi beberapa aspek, yaitu pegawai harus menandatangai pakta integritas, memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas lingkungan kerja dari KKN, memiliki komitmen dalam memberikan pelayanan prima di bidang kepabeanan dan cukai serta memiliki integritas yang tinggi dan mengutamakan kepentingan institusi.


Thursday, June 21, 2007

NSW Integrasikan 76 Jenis Ijin

JAKARTA - Penerapan sistem national single window (NSW) dalam kepabenanan akan mengintegrasikan paling tidak 76 jenis perizinan/rekomendasi yang dikeluarkan oleh 37 unit, terutama instansi pemerintah. Integrasi perizinan dari instansi pemerintah itu terkait proses ekspor dan impor.

"Implementasi atau penerapan NSW memerlukan sejumlah prasyarat, antara lain adanya komitmen dari instansi terkait agar proses tersebut diintegrasikan menjadi satu," kata Sekretaris Tim Nasional Persiapan NSW Edy Putra Irawady di Gedung Departemen Keuangan Jakarta, kemarin.

Edy menyebutkan, untuk tahap awal, pemerintah akan mengintegrasikan proses pemberian ijin, rekomendasi, dan lainnya yang berkaitan dengan ekspor dan impor dari empat instansi pemerintah, yaitu Departemen Perdagangan, Badan Karantina, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta Ditjen Bea dan Cukai.

"Empat unit itu dipilih karena mereka mewakili sekitar 80 persen komoditas yang ditransaksikan secara impor dan ekspor dari sekitar 8.700 komoditas," kata Edy yang juga Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan.

Empat unit itu dipilih, lanjut Edy, juga karena mereka telah membangun sistem internal, sehingga lebih gampang untuk diintegrasikan ke dalam sistem tunggal.

Edy menjelaskan, Tim Nasional Persiapan NSW sudah bekerja sejak akhir Desember 2005, di mana tugasnya antara lain adalah melaksanakan pilot proyek NSW, melakukan sosialisasi NSW, dan melakukan integrasi NSW secara bertahap ke dalam Asean Single Window (ASW) mulai Januari 2008. Penerapan single window secara penuh di tingkat ASEAN (6 negara) ditargetkan dapat terealisasi pada September 2008.

"Kita sudah melakukan pilot proyek di Batam pada Desember 2006. Kita uji konsep integrasi proses dari berbagai instansi yang menyangkut ekspor-impor," jelasnya. Pemerintah merencanakan akan melakukan pilot proyek NSW yang kedua pada Desember 2007 yaitu di Pelabuhan Tanjung Priok.

"Dengan adanya NSW, segala proses ekspor-impor, penyelesaian kepabeanan dan kepelabuhanan yang menyangkut pengeluaran barang ekspor dan impor itu akan dilakukan melalui single loket yang elektronis. Jadi satu pengajuan, satu proses, dan satu keputusan," katanya.

Ia menyebutkan, implementasi NSW akan mendasarkan diri pada sejumlah prinsip, antara lain pembangunan NSW adalah untuk minimalisasi budget pemerintah, dan biaya pengoperasian dan pelayanan yang dibebankan ke pengguna dengan memperhatikan kemampuan pengguna.

"Juga memperhatikan adanya proteksi data transaksi dan informasi, transpran dalam proses, mudah diukur, efisien, mudah dijalankan, efektif, felksibel dan berkelanjutan," kata Edy. (ahm/ant)


www.bisnis-jakarta.com

Rethinking Promotion Strategy

Firmanzah

At the heart of business nowadays is the competition to attract consumers' attention toward products and services. Consequently, each producer needs to build a more attractive strategy and action plan than its competitors. But the strategy should not be just attractive but also appropriate.

Designing an appropriate strategy to communicate and to introduce products into the market can increase market acceptance. Thus, success in attracting the attention and awareness of customers will determine customers' purchasing behavior and a firm's performance. One customer strategy approach that can be used by companies is the promotion strategy.

A promotion strategy is important during a new product's launch period in order to encourage initial acceptance. Early in the launch of a new product, there is a desire to affect a trial period to obtain more rapid market penetration. In principle, launching a new product needs a trial strategy to introduce consumers to the product by test, feel, taste, touch and smell. Therefore, a promotion
strategy facilitates consumers' firsthand experience with a new product.

While in order to boost sales, there are various promotional options and incentives that can be used to entice consumers to try a new product. A promotion strategy is used as an incentive to make customers aware of certain products.

Such incentives are called a consumer promotion when directed at the consumer (e.g., vouchers, samples, discounts and premiums attached to a given product) and a trade promotion when it is directed at channeling intermediaries like retailers to stock or push the companies' product or brand (e.g., trade allowances).

Promotion is also utilized to increase shelf space and create displays in stores, eloquently communicating that this new product is essential and that it is worthy of consumers' attention and trial. If the trial message is reinforced with a sample or voucher delivered in-store or at home, the degree of consumer receptivity will be heightened.

Promotion activities prompt consumers to buy more and consume faster. By using promotions, a company can temporarily build up usage rates. Since there is seasonal purchasing behavior in the market, a company can manage buying behavior during each season. It makes consumer buying behavior more predictable and manageable.

Consequently, a company can also manage its production and inventory facility. This situation can maintain the fluctuation of company sales and market share. When a company knows that there is a low demand for several periods, it can use promotional programs to induce buying behavior. Several programs can be used such as price discrimination (e.g., imposing a lower price over a certain period and a high price at another period) and also product-bundling in which one product is combined with another to provide more advantage in the consumer's perspective.

However, the utilization of promotional activities should consider several aspects. First, if it is not well managed, promotion activities can have a negative effect on customers' brand evaluation. A manager must fully understand the nature of his company's products.

Blind promotion activities can destroy brand image construction. This could happen when consumers associate price promotions, for example, with inferior brand quality. Luxurious products, for example, will have a more sensitive effect rather than consumer goods on brand evaluation.

With luxurious products, consumers perceive and associate luxury brands with high quality and high social status. Regularly reducing the price of this kind of product will endanger luxury brand image construction. In this case, promotion activities might not achieve the extent of sales but decrease it.
Second, promotions should be supported by a company's experts who have some basic industry knowledge and are able to translate information gathered from promotions into valuable information in order to improve a product's quality. By using promotion activities, a company can interact directly with customers. They can see, feel and note consumers' reactions during a product's promotion.

Promotion saleswomen, for example, do not merely introduce and persuade consumers to try a new product but can gather and accumulate valuable information about consumers' responses. This information is hard to amass when a company merely uses advertising as a means to promote a new product.

Third, developing a promotion program must also take into consideration the industrial environment (e.g., suppliers, distributors, consumers, competitors) as well as the general environment (e.g., inflation rate, economic growth, political situation, national disasters) that affect demand. A company's manager should be sensitive to the need for extra service, greater range, style, packaging and labeling and the numerous intangible factors to enhance the viability of the product in the market.

In other words, a promotion program must be adapted and suited to existing market conditions. In order to determine the effectiveness of a sales promotion technique, a manager should assess several things such as consumer motivation, behavior pattern, decision-making characteristics and value orientation. The evaluation should be realized by also considering economic developments, media characteristics and market facilities.

Therefore, a company should monitor sales and profit during and up to two months after the promotion in order to evaluate the efficacy of promotion programs. As long as the intermediate and indirect effects are profitable, playing the promotional game appears to be better than staying out of it.

Promotion programs should be combined with advertising strategy. There is a complementary function between advertising and promotion programs. The role of advertising is more to build brand equity in the long term and to ensure the product/brand positioning in consumers' perceptions. The main objective of an advertising program is to gain consumer loyalty and brand equity building over the long term.

However, promotion activities try to influence consumer behavior in the short term and to encourage buying behavior via price reductions, product samples and testing and interesting displays in retail stores. Hence, advertising and promotion are two important issues to develop and to construct "consumer-communication-package" planning. These two concepts are more situated in the complementary logic rather than in the competing concept.

The writer is a lecturer at the graduate program of Management School of University of Indonesia (PSIM-UI) and consultant at the Management Institute of UI.

www.thejakartapost.com

Wednesday, June 20, 2007

Menhub : Sulit Berantas Pungli

Praktik yang Sama Terjadi di Pelabuhan Tanjung Mas

Jakarta, Kompas - Pemerintah mengakui, tidak mudah memberantas pungutan liar atau pungli yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Alasan yang dikemukakan pemerintah, kondisi tata ruang pelabuhan semrawut dan sistem pemeriksaan dokumen ekspor maupun impor masih manual.
"Tim kami sedang bekerja menyelesaikan rencana induk tata ruang pelabuhan, termasuk sistem pemeriksaan dokumennya. Jika pelabuhan sudah tertata, sistem pemeriksaan dokumen dilakukan secara elektronik, otomatis pungli akan hilang," kata Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, yang juga Ketua Pelaksana Harian Tim Percepatan Kelancaran Arus Barang Ekspor-Impor, Senin (19/6) di Jakarta.

Menurut Jusman, sesuai target pemerintah, rencana induk tata ruang pelabuhan akan selesai pada Oktober mendatang. Timnya juga akan menyelesaikan roadmap penataan ruang dan kegiatan pelabuhan yang terbuka untuk ekspor dan impor pada bulan Desember mendatang.

"Masalah pungli dan biaya tinggi sudah termasuk dalam prioritas kerja tim ini. Beberapa waktu lalu biaya penanganan peti kemas di pelabuhan sudah berhasil diturunkan. Bahkan, beberapa komponen biaya, pembayarannya sudah diubah dari dollar AS ke rupiah," ujar Jusman.

Mengenai tata ruang pelabuhan, akan dipisahkan secara jelas antara dermaga dan lapangan peti kemas untuk ekspor dan impor.

Manajer Humas Jakarta International Container Terminal (JICT) Agus Barlianto mengungkapkan, persoalan pungli tidak akan bisa dihapus. Praktik itu tetap terjadi jika tidak ada komitmen yang tegas dari pengguna jasa dan otoritas pelabuhan.

"Para sopir truk itu sendiri yang kadang-kadang membuka peluang pungli. Karena alasan ingin cepat dilayani, mereka menyodorkan uang pelicin. Padahal, tanpa uang itu, mereka pasti dilayani. Sopir sendiri memberikan uang karena mereka sudah meminta uang operasional tambahan," ujarnya.
Menurut Agus, sesuai aturan perusahaan, karyawan yang memungut pungli akan dikenai sanksi. "Tentu saja kami akan mengawasi lebih ketat," ujarnya.

Selain itu, untuk menekan pungli, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya, seperti pesan layanan singkat "SMS tracking". SMS tersebut mempermudah pengguna jasa pelabuhan melakukan pencarian status dan posisi peti kemas di lapangan JICT. Mereka juga bisa mengetahui jadwal kapal, melakukan pencarian dokumen, dan simulasi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan transaksi impor secara tepat waktu.

"Kami juga sudah melakukan percepatan proses peti kemas ekspor sampai dengan pencetakan kartu masuk terminal (KMT) yang dilakukan di tempat konsolidasi peti kemas. Untuk saat ini baru dilaksanakan di Gede Bage, Bandung," kata Agus.

Selain pungli, pengguna jasa juga mengeluhkan persoalan sempitnya lahan parkir truk pengangkut peti kemas di JITC dan Terminal Peti Kemas Koja. Banyaknya persimpangan jalan di pintu masuk pelabuhan menimbulkan kemacetan yang luar biasa di dalam area hingga di luar pelabuhan sepanjang 5 kilometer pada Selasa, Rabu, Jumat, dan Sabtu. Kemacetan ini rutin terjadi pada sore hingga dini hari.

Di tempat terpisah, Kepala Subdirektorat Pelaksanaan Jalan dan Jembatan Metropolitan Departemen Pekerjaan Umum Danis H Sumadilaga menegaskan, pekerjaan perbaikan Jembatan Buntu, yang menghubungkan jalan akses ke Pelabuhan Tanjung Priok dengan Kawasan Berikat Nusantara (KBN), akan selesai dalam dua bulan mendatang.

"Perbaikan akan dikerjakan dengan cepat, bahkan mungkin akan selesai dalam 1,5 bulan mendatang," kata Danis.

Pungli di Tanjung Mas
Pungli juga terjadi di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah. Pungli itu terjadi mulai di depan pintu gerbang pabrik. Seorang eksportir mebel, sebut saja Lina di Yogyakarta, mengatakan, sejak truk peti kemas parkir di depan pabrik, oknum polisi sudah datang ke pabrik untuk meminta uang minimal sekitar Rp 50.000 per truk per hari.

"Pungli di sepanjang perjalanan, pintu masuk pelabuhan hingga pengapalan. Oknum polisi, petugas pelabuhan berseragam maupun tidak," kata Lina.

Untuk pengurusan dokumen asal barang, biaya sebenarnya cuma Rp 1.000 per dokumen, tetapi petugas biasanya meminta Rp 10.000 per dokumen. Jika tidak diberikan tambahan, kelancaran pengurusan dokumen bisa-bisa tersendat dan kontainer tidak segera diangkut ke kapal.

Akhirnya, kata Lina, biaya pengiriman yang dititipkan melalui sopir truk harus ditambah minimal Rp 100.000. Hal itu terpaksa dilakukan supaya barang bisa sampai di tangan konsumen tepat pada waktunya.

Secara terpisah, Direktur Fasilitasi Ekspor Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Harmen Sembiring, mengatakan, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa mengejar kondisi pelabuhan di Indonesia sama seperti di Malaysia dan Singapura. Masalahnya, akses masuk ke pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia tidak lancar karena kondisi sarana infrastruktur dan waktu operasional pelabuhan.

Asisten General Manager Pelayanan Logistik Pelabuhan Northport Malaysia Lim Seok Hua mengatakan, pengelolaan pelabuhan di Indonesia masih dilakukan oleh pemerintah yang sangat birokratis. Akibatnya, banyak aturan yang menghambat sehingga tidak memperhitungkan sisi komersial perdagangan.

"Perlu mengubah pola pengelolaan pelabuhan di Indonesia menjadi privatisasi. Pihak swasta yang mengelola bukan lagi pemerintah. Jika sudah diprivatisasi, pekerja akan lebih giat bekerja sehingga yang ditarget adalah peningkatan layanan, pengusaha senang, dan memberi keuntungan," kata Lim Seok Hua.


Tuesday, June 19, 2007

11 Provinces Waiting in Line for SEZs : Minister

Business News - Tuesday, June 19, 2007

The Jakarta Post, Jakarta
Eleven provincial governments have proposed the establishment of special economic zones (SEZ) in their respective areas, but the government says they will have to meet the "tough" criteria set by a government-sanctioned team.

"The National SEZ Committee requires strong commitment on the part of the administration, compliance with local ordinances, and the availability of land and integrated infrastructural services should it want to secure SEZ status," Industry Minister Fahmi Idris said Monday.

He was speaking during a meeting with the House of Representatives' industry and trade commission.
The 11 provincial administrations must be able to offer, among other things, a site extending to a minimum of 500 hectares, adequate infrastructure, and compliance with the requirements of local spatial planning regulations, he explained.

He said that thus far North Sumatra, Riau, Riau Islands, South Sumatra, Banten, West Java, Central Java and East Java, and South Sulawesi, Central Sulawesi and North Sulawesi had all proposed the establishment of SEZs within their areas.

The North Sumatra administration had proposed SEZs for Medan and Kuala Tanjung, while the Riau Islands administration had proposed Batam island as a hub for mechatronic, electronic and shipbuilding industries, Bintan island for textiles, footwear and tourism, and Karimun island for shipbuilding, metal, agro- and marine product industries.

Meanwhile, the East Java administration had proposed the establishment of a hub for jewelry and shipbuilding industries within its area, while the Central Sulawesi administration had sought for Palu to be declared a hub for the rattan industry.

The government already established an SEZ covering Batam, Bintan and Karimun islands last August, with the seven initial investment projects worth US$566.4 million coming from Singapore, South Korea and India. These projects have created a total of 8,057 new jobs.

Fahmi said West Kalimantan's Semperug, Sajingan, Etikong, Temaju and Mempawang, and East Kalimantan's Kutai, East Kutai and Malewio had also been proposed for SEZs.
"A cabinet meeting, however, rejected all of them."

The SEZ concept is a government fast-track program to boost investment, which has long been hampered by bureaucratic red-tape and lack of infrastructure.

Among the benefits for investors are reduced taxes or even duty-free facilities for imported raw materials, and reductions in other taxes.

"Those who operate in SEZs are not subject to value-added tax and income tax on imported raw materials," said Fahmi.

They also benefit from non-fiscal incentives, including accelerated licensing and dispute-resolution processes, he added. (06)

Arus Barang Masih Saja Terhambat

Pemeriksaan Dokumen Lamban

Jakarta, Kompas - Arus barang dari dan ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, hingga kini masih mengalami hambatan. Hal itu disebabkan masih terbatasnya fasilitas lapangan untuk antrean kendaraan dan lambannya proses pelayanan di gerbang pelabuhan. Kondisi infrastruktur juga sangat tidak mendukung.

Kondisi itu bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah terbaru, Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Salah satu poin penting dalam inpres itu adalah memperlancar arus barang ekspor dan impor sebagai
salah satu bagian dari upaya perbaikan iklim investasi.

Berdasarkan pengamatan Kompas, pada Jumat (15/6) malam dan Sabtu (16/6) siang, terlihat kepadatan dan antrean truk peti kemas yang cukup panjang di depan gerbang Terminal Peti Kemas Ekspor di Jakarta International Container Terminal (JICT).

Truk-truk yang hendak masuk ke JICT dari arah Cakung dan Jalan Yos Sudarso harus masuk dengan memutar ke wilayah Pelabuhan Tanjung Priok. Itu dilakukan untuk menghindari kemacetan parah di pertigaan lampu merah di depan JICT.

Meski demikian, kepadatan dan kemacetan kendaraan tetap tidak bisa dihindarkan karena truk-truk harus antre untuk pemeriksaan dokumen di pintu gerbang yang memakan waktu sekitar 15 menit sebelum masuk ke area dermaga.

Pelayanan lamban
Empat gerbang yang dibuka untuk pelayanan pemeriksaan dokumen juga masih kurang karena jumlah truk yang masuk terlalu banyak. Berdasarkan data PT Pelabuhan Indonesia II, setiap hari rata-rata total masuk keluar peti kemas sebanyak 6.000 TEUs atau 6.000 kendaraan.

Menurut Muhiyar, salah seorang pengemudi truk peti kemas, antre kendaraan terjadi karena pengemudi harus menunggu proses pemeriksaan dokumen. "Lebih kurang 15 menit untuk pemeriksaan semua dokumen, seperti kartu barang muat, surat jalan, survei pelayaran, dan permohonan ekspor. Agak lama karena harus dicek dan disesuaikan tempat blok dan dermaga untuk peti kemas yang kami bawa," ujarnya.

Ketua Kepelabuhanan dan Kepabeanan Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia Toto Dirgantoro mengungkapkan, pemeriksaan dokumen sekitar 15 menit sudah digolongkan sebagai pelayanan lamban. Dampaknya, kata Toto, tidak hanya bisa menyebabkan antrean kendaraan di pelabuhan, tetapi juga keterlambatan pengiriman barang.

"Kalau satu kendaraan membutuhkan waktu 15 menit, dalam satu jam berarti cuma meloloskan empat kendaraan atau 16 kendaraan jika ada empat gerbang yang dibuka. Padahal, dalam satu hari, jumlah truk yang masuk sekitar 3.000 unit," ujarnya.

Menurut Toto, operator pelabuhan sudah semestinya menyederhanakan proses pemeriksaan barang. Dengan demikian, tidak akan ada lagi antre kendaraan dan stagnasi arus peti kemas.

Asisten Sekretaris Perusahaan PT Pelabuhan Indonesia II Hendra Budhi mengungkapkan, pemeriksaan dokumen memang membutuhkan waktu agak lama karena dokumen itu harus diperiksa beberapa
otoritas pelabuhan, seperti dari operator pelabuhan, dan petugas Bea dan Cukai. Pemeriksaan dokumen juga masih secara manual.

"Karena itu, dengan kondisi seperti ini, sebenarnya kami sudah mengimbau eksportir agar waktu pengiriman barang tidak terlalu mepet dengan batas waktu akhir. Faktanya, sampai sekarang eksportir lebih sering mengirim barang mendekati batas waktu akhir. Padahal, kami sendiri sudah memberi kemudahan bahwa biaya penumpukan peti kemas di dermaga selama tiga hari hanya dikenai biaya satu hari," kata Hendra.

Selain di gerbang pelabuhan, pengiriman peti kemas juga sering terhambat di sekitar akses jalan menuju pelabuhan, seperti di Jalan Cakung-Cilincing. Tingginya volume kendaraan dibandingkan dengan kapasitas jalan menyebabkan kemacetan parah. Hal itu akan bertambah parah jika kondisi badan jalan rusak.

Tidak hanya truk peti kemas, jalan itu juga dilalui kendaraan pribadi dan angkutan umum serta sepeda motor. Tak ayal, jalan yang terdiri dari dua lajur dengan lebar sekitar 12 meter menjadi rebutan semua kendaraan.

Jembatan buntu jebol
Berdasarkan pengamatan, kondisi badan jalan Cakung-Cilincing saat ini memang sudah bagus karena sudah diperbaiki. Namun, dalam dua minggu terakhir, kemacetan parah tidak terhindarkan akibat jebolnya jembatan buntu yang merupakan akses utama Kawasan Berikat Nusantara Marunda. Truk peti kemas yang biasa melalui jalur ini harus memutar dan melewati jalan Cakung-Cilincing sebelum belok ke arah jalan baru.

"Kondisi infrastruktur memang masih memprihatinkan. Bagaimana pemerintah mau mendongkrak
pertumbuhan ekspor kalau tidak didukung infrastruktur? Yang dibutuhkan sekarang bukan hanya wacana, tetapi aksi nyata," tutur Toto.

Lebih dari 70 persen barang ekspor-impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Ironisnya, pemerintah tidak menyelesaikan berbagai hambatan di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok.


*****

Tuesday, June 12, 2007

Foreign Holds 50% of Perak Forwarding

Ocean Week, No. 130/VI
May 24 - June 5, 2007

As many as 20 foreign forwarders are now holding around 50% of forwarding business market at Tanjung Perak Port, while the volume continues to drop. According to East Java Indonesian National Forwarders Association (East Java INFA), total forwarding market volume from Tanjung Perak reached around 18 million tons per annum. "Those foreign forwarders are holding 50% or around 9 to 10 million tons of the Tanjung Perak market," Poernomo Soedewo, East Java INFA Chairman, disclosed in a recent seminar on Empowerment & Entrepreneurship at Hotel Hyatt Regency Surabaya recently.

According to Poernomo, local forwarders should strengthen themselves to build up competitiveness with foreign companies. But, he also expects the government policy to protect local forwarders. "Recently, the government does not filter them, so foreign forwarders can easily expand their business in Indonesia." Moreover, with their strong financial capability and wider network, they can expand their market easily. "They can set up a more competitive tariff," he said.

Recently, INFA also monitor and evaluate its members, the one who become the agents of foreign forwarders in particular. "The result of monitoring will become as recommendation to customs office that has authority to issue ID Card," he said, adding that the activity has been beginning since 2006. More than 900 forwarding companies are member of East Java INFA. However, in the last year, Transport Department has withdrawn business permit of around 350 forwarders, member of INFA. "Their permits in JPT (transportation service) and EMKL (sea expedition) have been withdrawn since they have no activity anymore," he said.

INFA also encourages its member to be more creative, innovative, and competitive in expanding the domestic market in particular. "Now we are still holding the domestic market. But, we will soon loose it in line with the era of globalization, if we do not build up our competitive capability." Dewo explained that East Java forwarding commodities are dominated by agriculture and handicraft products. "Coffee, tobacco, rubber, and handicrafts products are the leading commodities," he said. [dan/ow]

Adpel Priok Dukung Penuh Tarif Lini 1


JAKARTA: Administrator Pelabuhan Tanjung Priok menyatakan kesepakatan tarif pelayanan jasa barang dan kontainer di lini 2 tetap akan diberlakukan efektif mulai 1 Juli, meski ditolak kalangan operator depo dan pergudangan.

Adpel Tanjung Priok Jakarta, Bobby R. Mamahit mengatakan penetapan tarif itu merupakan hasil kesepakatan enam asosiasi yang memiliki kegiatan di pelabuhan terbesar di Indonesia.

Keenam asosiasi itu, yakni Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi), Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat (APBMI) Tanjung Priok, Asosiasi Tempat Penimbunan Sementara Seluruh Indonesia (Aptesindo) dan Indonesian National Shipowners' Association (INSA).

"Tetap dalam perkembangan awal. Arahnya sudah jelas, menertibkan biaya-biaya yang tak profesional di pelabuhan," ujarnya seusai rapat tertutup dengan beberapa perwakilan asosiasi di Departemen Perhubungan, kemarin.

Dia menjelaskan hasil kesepakatan bersama itu guna meningkatkan kelancaran arus barang ekspor dan impor sesuai dengan Keppres No. 54/2002 yang ditetapkan 23 Juli 2002. "Sesuai Keppres itu, Adpel berkewajiban mengoordinasikan upaya peningkatan kelancaran arus barang ekspor dan impor di pelabuhan."

Selain itu, pihaknya mengoordinasikan pengintesifan upaya pemberantasan penyelundupan, perumusan strategi peningkatan kelancaran arus barang ekspor dan impor. "Saya sebagai aparat di pelabuhan berkewajiban mengawal keputusan dan kebijakan Tim Keppres," kata Bobby.

Meski demikian, pihaknya tetap menerima keluhan dari kalangan pelaku usaha di pelabuhan yang harus disampaikan melalui masing-masing asosiasi. "Kesepakatan itu antarmereka, kami tak bersepakat, kami hanya mengawasi," ungkap Bobby.

Ketua Ikatan Eksportir dan Importir Indonesia, Amalia Achyat, mendukung penetapan tarif pelayanan jasa barang dan kontainer di lini 2 Tanjung Priok. "Kami mendukung kesepakatan tarif itu karena memperjelas struktur tarif di Priok," kata Amalia.

Selama ini, ungkap dia, besaran tarif pelayanan jasa barang dan kontainer di lini 2 berbeda-beda, bahkan ada yang sangat tinggi, sehingga memberatkan kalangan eksportir dan importir. "Kami bahkan pernah membayar tarif biaya penumpukan seharga sama dengan tarif kamar hotel berbintang lima," kata Amalia.

Sebelumnya, Sedikitnya 250 perusahaan operator depo dan gudang serta perusahaan konsolidator barang impor dan ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok terancam tutup dan merumahkan ribuan karyawannya.

Menurut Ketua Umum DPP Asosiasi Perusahaan Depo dan Pergudangan Indonesia (Apdepi) Soendjoto, penetapan tarif lini 2 itu meresahkan pelaku usaha yang menangani konsolidasi barang impor dan ekspor di Tanjung Priok karena harga yang ditetapkan di bawah biaya operasional.

Sesalkan penolakan

Sementara itu, Gafeksi DKI menyesalkan penolakan kesepakatan tarif itu oleh sekelompok usaha forwarder nasional yang tergabung dalam forum konsolidator. Gafeksi menilai kehadiran forum itu sebagai upaya liar dan tidak bisa mengatasnamakan usaha forwarder nasional.
"Setiap keputusan dari forum itu tidak mungkin dijadikan rujukan bagi pemerintah," kata Ketua Bidang Kepabeanan DPW Gafeksi DKI, Widijanto.

Beberapa perusahaan forwarder yang tergabung dalam forum konsolidator yang dibentuk pekan lalu itu, mayoritas merupakan mitra TPS (tempat penimbunan sementara) di Pelabuhan Priok. "Dalam praktiknya, selama ini mitra-mitra tersebut membebankan invoice kepada pemilik barang dengan nilai yang tidak logis."

Dia mengatakan pedoman tarif lini 2 itu hanya diberlakukan untuk kargo dengan status LCL (less-than container load) dan tidak termasuk tarif paket bongkar muat peti kemas yang menjadi tanggung jawab perusahaan pelayaran.

Untuk kargo dengan status LCL, kata Widijanto, harus ada keseragaman tarif demi kepentingan nasional karena selama ini tarif pelayanan di lini 2 Priok bervariasi dan tidak jelas peruntukannya.

"Keseragaman tarif juga berfungsi membantu pemerintah mendorong kelancaran ekspor impor. Aturan itu sudah baik, kami mempertanyakan jika masih ada sekelompok usaha forwarder yang merasa keberatan," ujarnya. (k1/Aidikar M. Saidi) (hendra. wibawa@bisnis.co.id)

Oleh Hendra Wibawa
Bisnis Indonesia

Thursday, June 7, 2007

Trik Googling: Mencari dengan Cepat dan Tepat

Untuk mencari sesuatu di internet, Anda membutuhkan sebuah 'search engine'. Salah satu yang andal dan paling banyak digunakan adalah Google (http://www.google.com/). Dengan Google, Anda dapat mencari apa saja yang Anda inginkan. Tetapi kadang-kadang Google seperti buta. Website tak berguna yang penuh dengan iklan mendominasi hasil pencarian.

Dalam artikel "Trik Terbaik Google" yang terdapat pada CHIP 08/2006, Anda akan mendapatkan trik-trik terbaik dan alternatif pencarian yang tepat. Berikut cuplikan artikelnya, yang membahas perintah rahasia Google untuk pencarian lebih akurat.

EXT
Mencari tipe file tertentu
. Untuk menemukan tabel Excel, gunakan perintah 'ext:xls'.

related
Website dengan tema-tema serupa dapat Anda temukan dengan 'related:', misalnya: 'related:chip.co.id'.

site
Menampilkan sub-site
. Dengan perintah 'site:chip.co.id', Google akan menampilkan semua sub-site di bawah www.chip.co.id. Dengan perintah ini juga, Anda dapat mencari di website yang diinginkan. Misalnya mencari "graphic card" pada website CHIP dengan 'graphic card site:chip.co.id'.

allinurl
Memperhatikan istilah pencarian dalam URL
. Dengan mengetikkan 'allinurl:chip' Anda akan mendapatkan website yang menggunakan kata 'Chip' dalam alamatnya.

allintittle
Mencari istilah dalam baris judul
. Dengan perintah ini Anda melakukan pencarian dalam baris-baris judul website, misalnya 'allintittle:chip.co.id'.

define
Menampilkan penjelasan istilah
. Anda ingin tahu arti kata 'Mitochondria'? Dengan 'define:mitochondria' Anda akan diberi daftar website yang menjelaskan istilah itu secara panjang lebar.

..
Mencari rangkaian bilangan dalam teks
. Anda dapat menemukan music-charts terbaru dengan '..:charts 1.100'

link
Memeriksa popularitas website
. Semakin menarik sebuah website, semakin banyak link ke sana dari website lainnya. Untuk mengetahui siapa saja yang menyediakan link ke website pribadi Anda, masukkan perintah 'link:alamatwebsite'.

movie
Menampilkan info film
. Penggemar film yang mengerti bahasa Inggris bisa mendapatkan review mengenai blockbuster aktual melalui perintah 'movie:'. Untuk membaca review film Superman yang baru misalnya, ketikkan 'movie:superman returns'.

daterange
Menemukan website yang baru diindeks
. Perintah ini akan menampilkan website yang diindeks Google dalam lingkup waktu tertentu. Masukkan lingkup waktu yang diinginkan dalam cara penulisan AS, misalnya 'daterange:(2006-05-03)(2006-06-04)'.

TIM CHIP


sumber: www.kompas.co.id

Wednesday, June 6, 2007

THE BASIC OF INTERNAL AUDITING

WQA Newsletter


As with any other process, auditing requires planning, definition, consistent implementation and control to be effective. Without these features, features, auditing is a resource-draining waste of time.

Internal auditing is one of the elements that makes your quality management system (QMS) complete. It fits snugly into the "check" component of your plan-do-check-act (PDCA) cycle. Internal auditing isn't a haphazard or optional occurrence that you tolerate to maintain certification. It's an assessment tool that provides a reliable indicator of the integrity of your organization's system and processes and their capacity to support your goals.

Audits help you to identify problems, risks, good practices and opportunities to better serve your customers. The information garnered from well-conducted audits is a company asset that far outweighs the modest investment in time and training. The manner in which the organization values and uses this asset is partially dependent on how audits are performed.

Executive management, through visible support and allocation of resources, has primary responsibility for ensuring the effectiveness of the internal audit program. Auditors have the responsibility for good stewardship of management's support, as demonstrated by their commitment to good auditing practices and the production of meaningful audit reports. The person in charge of the internal auditing program asks management to support the endeavor. In exchange for the trust and confidence implicit in this support, auditors strive diligently to provide valuable information that management can utilize for strategic planning and other decision making.

What follows are some of the practices that will help your organization reap benefits from its internal uditing program. Although the comments are directed primarily at the first-party (or internal) audit, most of the tips are equally valid for second- and third-party audits.

Plan your audits
Make sure that the audit schedule and the defined frequencies reflect your organization's needs. You must give appropriate consideration to criticality of activities, identification of areas that are more subject to change or to turnover of personnel, and processes that have experienced problems or breakdowns. Review your audit schedule periodically and revise it based on these considerations.

If you have a mature product line and no new hires in recent history, assessing training more than once a year is a redundant paper exercise. Conversely, if you handle a lot of customer-owned materials, and their requirements vary significantly, ensure that those activities are included in the schedule at a greater frequency.

Prepare for the audit
Have an audit plan. Probably the single best reason to have a plan and to communicate it is so that you can tell people in advance when you'll be in their area. It's common courtesy. This goes a long way toward dispelling the witch-hunt mentality with which people usually perceive the arrival of an auditor. Failing to alert process owners of planned audits carries other negative consequences. As long as individuals feel that an audit is a surprise attack designed to catch them in error, they'll conceal problems. They won't look upon the audit as a fact-finding event designed to foster a culture of improvement. They'll look upon it with the dread of miscreants afraid to be punished for their transgressions-even though they've probably done nothing wrong. Problems recur cyclically because they're covered up out of fear of punitive action.

Efficiency is another reason for having an audit plan. It saves time. The auditor has a sequence that makes the audit flow smoothly and logically from input to output through a series of processes. Effective planning brings an element of lean to the auditing process. It minimizes the backtracking and repeat visits that eat up precious time without adding value.

Review the documents that describe the processes you'll be auditing. This helps you to frame the questions you'll be asking the auditee, and ultimately will promote more comprehensive answers. Reading the documents ahead of time also helps you distinguish the most critical requirements and the points at which ownership of a product (or process) changes to a new person or function.

Review the last audit report and any corrective action requests that emerged. This will help you to assess if things have improved or if a problem has persisted or gotten worse. If your corrective action process is well-linked to your internal audits, you can verify the implementation and effectiveness of corrective actions as part of the audit process. This applies to all corrective actions, regardless of origin. One of the areas in which this is particularly useful is in verifying the results of supplier corrective actions. Through the questions that you ask, you can augment purchasing staff's understanding of the verification process. This helps them to discern if the response they've received from a supplier actually provides evidence of an effective action plan. Without such verification, all the purchasing department really has is evidence that the supplier can fill out a form. Opportunities for learning and improvement are lost.

Easy questions an auditor might ask are: "How do you know that the plan worked?" "Have you asked them to send final test reports for the last orders they've shipped us so we can review them against our own records?" In this way, the auditor furtively drops hints that increase other individuals' comprehension of how the organization's QMS works to improve their processes-in this scenario, through the effectiveness and productivity of supplier relationships.

Prepare a checklist
Even if your organization uses canned checklists, it's important to prepare and revise them, based on the documents you've reviewed, so the audit trail you map out is complete. This also helps you to develop questions so you don't waste time, and it serves to keep you from meandering outside of the scope of the audit.

Use accepted audit practices
Regardless of whether this is an internal or an external audit, there's no excuse for ignoring good audit practices.

Conduct an opening meeting.
For a third- party certification audit, this is a fairly formal event with a whole list of items that must be covered: scope, purpose, standard, duration, schedule, confidentiality and nondisclosure agreements, rules for reporting nonconformities, safety equipment, escorts and the appeals process. For an internal audit, it's appropriate to have an abbreviated version that outlines what processes are being audited, how long you expect the audit to take and the individuals you may wish to interview. Arriving in an area and beginning the audit without some initial remarks or a simple greeting only serves to increase tension and the likelihood of alienating those who can facilitate a productive audit.

Pay attention to how you ask questions. Here are a few pointers to remember.

* Bear in mind at all times that auditees weren't hired to answer your questions. They're paid to do their jobs, so they probably won't be quoting text verbatim from a procedure. They should be describing their process in a way that lets you understand it, and that demonstrates how well they understand it.

* Ask open-ended questions, as opposed to the kind that will get only yes or no responses. Give the auditee an opportunity to explain what she does. The person will provide more complete information if she isn't being steered toward the auditor's preconceived notion of what the answer should be.

* Ask how the auditee does his job. You're not just trying to verify that something is done; you want to verify that it's done correctly-as defined. Reading a report on nonconforming product will tell you something wasn't done right, but assessing the process will help you pinpoint what went wrong.

* Remember to use documents to help you frame your question. This lets you determine if the documentation accurately reflects the requirements of the process.

* Don't be afraid to repeat or restate your question. Sometimes we need to come at a subject from a different angle. Restating a question helps the auditee to grasp what you're trying to ascertain.

* Give the process owner time to answer. Be patient. He may be thinking. Don't assume that a delayed response is an indication that the person is lying or making stuff up.

* Ask what happens next. Avoid quality speak. If you're trying to determine what the output of a process is, simply ask, "What happens next?" Asking a customer service technician, "What's the output of the process" will probably get you a blank stare followed by an awkward moment in which you'll get the sense that you've just made her feel incompetent-which isn't the case. She knows perfectly well that when the order is entered in the database, it next gets routed to the scheduler, who confirms the ship date so that the order can be acknowledged to the customer.

* Suggest a scenario and ask, "What would happen if...?" This will help you verify how well the process is controlled if there is a deviation or if something goes wrong. It will also help you assess the effectiveness of communication and the definition of authority and responsibility. Does the person know what he is authorized to handle, and what incidents require input from a supervisor?

* Ask why. People who do tasks mindlessly, without understanding the reason for the activity, are less likely to be diligent in ensuring that the process is consistently and correctly implemented. It's hard to care about something that makes no sense.

* Listen to the auditee. Practice your listening skills. Are you hearing what the person is saying, or what you anticipate her answer to be? Listening is facilitated by the simple practice of looking directly at the person who's speaking. Not only do you remain better focused, you convey to the other person that you're interested in what she has to say.

* Write down the answer so you don't forget. Also, record the evidence you've assessed. Take copious notes. This provides the foundation for the audit report and it also allays any confrontation. The auditor doesn't need to defend his conclusion. All that's needed is a reference to the evidence upon which the observation is based.

* If you're writing while the person is speaking, make sure that she knows it. Say, "I'm listening to you, but I need to write this down." If you get the sense that the auditee is afraid that your report will result in punitive action, explain why you write things down. My favorite line goes something like this: "I have a brain like a sieve. If I don't write things down, I'll forget, and I won't be able to do my report."

* Always make sure you tell the auditee if you're planning to report a nonconformity uncovered in his area. This goes back to the fear of punitive action mentioned earlier. No one likes to be blindsided two days after an audit by a report that appears to say that he screwed up. Tell the person what will be reported and provide reassurance that the intent is to make the process better for everyone.

* Never leave an area without saying, "Thank you." Write a comprehensive audit report The report doesn't have to be lengthy, but it should convey a balanced summary of the status of the organization audited. It should mention good practices that have been observed, risks that have been perceived and problems that have been identified.

The audit report should include the following:

* Date of the audit. When did the audit take place? This provides evidence that audits are being conducted in accordance with the established audit schedule. If management wants to know what resources are being expended, it's also appropriate to record the duration of the audit. How much time and money is the organization spending on internal auditing?

* Areas audited. If the company has multiple locations, this is even more important.

* Standard used. For a third-party audit, it's generally a QMS standard, e.g., ISO 9001, ISO/TS 16949, ISO 13485, etc. For internal audits, it's usually a list of the internal documents associated with the functions and activities audited. Examples would include procedures, work instructions and detailed travelers.

* Lead auditor and audit team. If there's only one auditor, that person is the lead.

* Persons interviewed . This provides evidence that the persons who answered questions were actually the process owners who have responsibility for the activity. It's not uncommon for people to try to be helpful and answer an auditor's question even it's not part of their regular jobs. Sometimes the auditor finds out too late that she wasn't speaking to the right person. What you hear is a manager saying, "Francine doesn't take care of patient intake, so she wouldn't know where those forms are kept."

Recording names of persons interviewed helps auditors provide objective evidence that they've fulfilled the requirements of the auditing process.

* Good points. An audit isn't an attempt to observe a collection of bad processes. Therefore, an audit report should also mention good points that were observed. "The newly developed design software is facilitating the control of new projects," "The records show evidence that operators have had training on the CNC machine" or "The corrective action tracking system is better able to calculate the cost of nonconformities and the money saved when problems are solved" are examples of this.

* Nonconformities. When writing up findings of nonconformity, it's important to be clear and complete. What is the actual nonconformity? What is the standard that defines the requirement? What evidence did you use to conclude that there was a nonconformity? A well-articulated nonconformity statement should provide enough direction and clarity that the process owner can use it to initiate root cause analysis and eventually develop a viable corrective action plan.

* Observations (also called opportunities for improvement). It's appropriate for auditors to make statements about perceptions of risk or the identification of a process that may not be controlled as well as it should be to prevent problems. They shouldn't specifically say something is wrong but should intimate what might go wrong. Like nonconformities, observations should be tied to requirements to allay the misconception that they are just ideas that the auditor thought up.

Following these basic audit practices should ensure that the information management gets is accurate, reflects the status of the organization and is detailed enough so that it results in good decisions. This is what makes audits effective. Anything less is a meaningless paper shuffle.

WQA Quote of the Day:
"The roots of education are bitter, but the fruit is sweet." - Aristotle, Philosopher

WQA-SEA is strongly committed to your privacy rights and does not sell or give its list to third parties.
(c) Copyright 2007 WQA South East Asia


Note : Published with Permission

Tuesday, June 5, 2007

Seri Komunikasi Pemasaran (2)

Sistematika Perilaku Konsumen Untuk Analisa Komunikasi & Pemasaran (2)
May 18, 2006

Saudara, jika pada episode sebelumnya kita telah membahas mengenai 3 proses penting dalam komunikasi pemasaran yaitu penciptaan pengenalan atau awareness, pemahaman atau comprehension dan ketertarikan atau interest, maka kali ini Head of Researcher dari Brand Research Indonesia, Inu Machfud, menjelaskan 2 langkah selanjutnya, yang akan memicu terjadinya pembelian.
“Pelaku bisnis yang berbahagia, menyambung pembahasan kita sebelumnya untuk mengidentifikasi proses atau tahapan dari aktifitas komunikasi dan pemasaran untuk selanjutnya menciptakan sales. Dalam kesempatan terdahulu kita telah membahas di mana proses komunikasi pemasaran berperan penting dalam 3 proses di awal yaitu menciptakan awareness, mananamkan comprehend dan menimbulkan interest. Proses berikutnya setelah tercipta interests, mulai mengarah kepada interaksi langsung antara produk dengan konsumen. Setelah tercipta interest, konsumen akan mulai bergerak secara sadar atau tidak, disengaja atupun tidak, untuk menemukan merek dan produk anda. Tahapan ini kita sebut saja sebagai tahapan intention to buy.”
Dalam proses intention to buy ini calon konsumen sebenarnya sudah menciptakan suatu bayangan dalam benaknya, suatu angan-angan untuk dapat memiliki produk atau jasa yang ditawarkan tersebut. Namun pihak produsen dan pemasang iklan harus hati-hati untuk tidak mengecewakan konsumen yang telah memiliki niat untuk membeli, seperti dituturkan Inu Macfud berikut ini.
"Dalam tahapan ini, distribusi produk sangat berperan untuk menciptakan intention to buy yang baik. Bayangkan apabila kita dihujani dengan iklan yang sedemikian gencar dan provokatif, sampai kemudian kita penasaran ingin tahu seperti apa sebenarnya produknya (sebenarnya kalau sudah demikian anda interest dengan produk tersebut). Namun saat kita beraktifitas, berjalan-jalan, hang-out dan beredar di banyak tempat, kita tidak pernah menemui produk yang bersangkutan. Apa yang kemudian ada dalam pikiran kita? Mungkin saja kita berpikir, ”produk ini serius gak sih?” atau bisa juga kita jadi beranggapan, ” payah deh, iklannya aja yang kenceng”. Mungkin anda ingat saat 2 atau 3 tahun yang lalu, salah satu operator CDMA lokal sedemikian gencar beriklan. Namun karena satu dan lain hal produknya belum dapat beredar di pasaran. Bila anda mengingatnya, cobalah reka ulang, seperti apa anggapan anda pada produk tersebut saat itu?”
Keinginan untuk membeli atau intention to buy ini juga berkaitan langsung dengan pengalaman pribadi dan suggesti yang timbul dalam diri konsumen.
”Intention to buy juga berkenaan dengan experience konsumen dalam berinteraksi dengan produk. Seringkali terjadi saat mencoba produk konsumen kecewa karena produk tersebut tidak seperti anggapannya, terlebih apabila konsumen sudah sangat tertarik dan percaya dengan iklan. Pada sisi yang lain, sebenarnya komunikasi dan image merek juga bisa men-’drive’ konsumen untuk mendapatkan kesan positif saat melakukan intention. Hal ini yang disebut dengan penciptaan sugesti, contohnya adalah konsumen yang tidak merasa percaya diri untuk beraktifitas sebelum minum minuman energi.”
Nah setelah terbentuknya keinginan untuk membeli atau intention to buy dalam benak konsumen, maka tahap berikutnya tinggal mengharapkan agar terjadi action, atau tindakan nyata mewujudkannya. Dengan kata lain, tinggal masalah waktu sebelum terjadinya pembelian. Namun harus juga diingat, tahapan action ini bisa mulus terjadi, apabila tidak ada halangan pada saat terbentuknya intention to buy tadi.
”Selanjutnya adalah tahap di mana sales terjadi, yaitu konsumen melakukan action atau pembelian. Biasanya, tembok penghalang terakhir bagi konsumen untuk memutuskan apakah mereka akan membeli atau tidak adalah pada intention. Pengalaman baik atau menyenangkan pada intention akan langsung mengarahkan proses selanjutnya pada action. Namun pengalaman buruk dan tidak menyenangkan saat intention akan menyebabkan tidak terjadinya action.”
Dengan berbekal pengetahuan atas 5 tahapan komunikasi pemasaran tadi, maka lebih mudah bagi pengusaha atau produsen untuk menganalisa kegiatan pemasaran atau marketingnya.
”Saudara, demikianlah sistematika perilaku konsumen yang dapat kita gunakan untuk menganalisis keberhasilan aktifitas komunikasi dan pemasaran yang kita lakukan. Tentu saja ukuran terhadap sales yang berhasil tidak semata-mata ditentukan oleh proses ini, tetapi juga oleh pentargetan dan strategi pemasaran yang realistis. Target sales saat kita melakukan branding yang bersifat tematis untuk mengangkat image merek, tentu berbeda dengan target sales saat kita melakukan promo-promo yang bersifat taktis. Nah, mulai saat ini anda tidak perlu berdebat kusir dengan agency atau klien anda apabila ada ketidak cocokan antara aktifitas komunikasi yang telah dijalankan dengan penjualan yang diraih. Mulailah melakukan telaah terhadap 5 variabel yang telah kita bahas, dan kumpulkanlah data-data yang memadai sehingga kita dapat menemukan penyebabnya dan melakukan perbaikan. Sukses dan salam dari kami.”
Penjelasan Inu Machfud, Head of Researcher, Brand Research Indonesia mengenai tahapan komunikasi pemasaran yang sebaiknya kita ketahui. [aji : aji @ mediacorpradio.com]

sumber : www.rsi.sg

Seri Komunikasi Pemasaran (1)

Sistematika Perilaku Konsumen Untuk Analisa Komunikasi & Pemasaran (1)
May 11, 2006

Saudara, dalam upaya meningkatkan pengenalan dan pemahaman masyarakat terhadap produk kita, maka jalan yang umum dan efektif digunakan adalah melalui iklan. Namun terdapat pula kasus di mana iklan yang gencar berbanding terbalik dengan hasil penjualan. Dalam hal ini, justru iklanlah yang dinilai tidak berhasil, sehingga penjualan tidak maksimal. Benarkah anggapan ini, dan apa yang menjadi alasannya? Kita simak hasil penelitian Brand Research Indonesia yang dijabarkan oleh Head of Researchernya, Inu Machfud, berikut ini.
“Pelaku bisnis yang berbahagia, sebagai pemasar profesional, pemilik merek atau profesional dalam bidang advertising, kita semua pasti pernah berhadapan dengan fakta bahwa produk yang kita iklankan tidak sepenuhnya dapat berhasil mencapai angka penjualan seperti yang ditargetkan. Istilahnya, produk tersebut tidak atau belum ‘jalan’. Kalau sudah demikian kejadiannya, biasanya kita semua akan ikut repot dan penasaran untuk mencari tahu jawabannya. Terlebih lagi karena dalam pemasaran produk tersebut sudah diinvestasikan sekian ratus juta atau sekian milyar rupiah dalam bentuk advertising. Dari sisi pengalaman kami, hal ini menjadi menarik karena dalam beberapa kasus yang kami temui baik kawan-kawan dari sisi produsen pemegang merek maupun kawan-kawan advertising ternyata sama-sama tidak mengetahui penyebabnya secara pasti. Analisis yang paling mudah dan sederhana adalah anggapan frekuensi tayang iklan kurang, tidak sesuai dengan segmen yang diinginkan, atau waktu kampanye keseluruhan masih belum terlalu lama (kurang dari 3 bulan).”
Lalu, apakah analisa sederhana ini memerlukan kajian lagi untuk mengetahui faktor yang sebenarnya menghambat penjualan itu? Adakah suatu model atau proses yang dapat dirunut oleh setiap produsen dan pemasang iklan, untuk dapat menganalisa sendiri komunikasi pemasarannya, mengingat iklan sendiri hanya merupakan bagian kecil dari keberhasilan penjualan?
”Spekulasi tersebut dapat saja benar, namun belum menjawab keseluruhan permasalahan. Kebanyakan dari produsen dan pemilik merek beranggapan (dan berharap) bahwa investasi mereka dalam aktifitas komunikasi atau beriklan akan langsung berdampak terhadap sales. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun prosesnya tidak sesederhana itu. Output dari iklan adalah mengirimkan pesan dan meninggalkan kesan, sehingga konsumen mengetahui, mengingat dan menyukai suatu produk atau merek. Terdapat sebuah proses dalam pola tindakan konsumen, mulai dari saat produk tersebut diperkenalkan, diiklankan, dijual hingga sampai dipilih dan dibeli oleh konsumen.
Secara sederhana proses tersebut dapat digambarkan melalui 3 variabel, yaitu:
1. Awareness. Seperti yang telah kita bahas dalam bagian terdahulu, awareness adalah kunci pertama dalam memasarkan merek dan produk. Tingkat awareness menentukan sejauh mana konsumen mengenal produk anda dan menjadikannya referensi.
2. Comprehend. Diterjemahkan sebagai pemahaman. Setelah produk diperkenalkan, diperlukan edukasi (dalam intensitas yang disesuaikan) agar konsumen memahami identitas merek dan produk yang kita komunikasikan. Variabel pemahaman ini seringkali terabaikan karena biasanya kita lebih fokus terhadap awareness, alih-alih menjadikan produk kita terkenal. Padahal pemahaman ini menjadi penting agar konsumen mengenali diferensiasi merek dan spesifikasi produk kita. Tanpa mengkomunikasikan pemahaman yang baik, produk kita akan terlihat tidak ada bedanya dengan kompetitor, dapat saling mengkanibal antara range produk yang dimiliki, dan yang paling buruk adalah tidak diketahui sama sekali manfaat dan kegunaannya.

3. Interest. Proses selanjutnya setelah konsumen mengenal dan memahami merek dan/ atau produk kita, dari sana akan terlihat apakah tercipta sebuah ketertarikan atau tidak. Di sinilah peran advertising yang paling penting, dengan berbagai macam tools dan pendekatan yang dimiliki. Seperti dalam artikel terdahulu, seringkali produsen dan advertising menanyakan kepada kami apakah konsumen tertarik dengan iklan mereka. Sebenarnya yang paling penting adalah, apakah advertising tersebut mampu menciptakan ketertarikan terhadap merek dan produk anda."
Ramuan yang tepat akan menghidupkan ketiga faktor awareness, comprehension dan interest tadi pada diri konsumen. Bicara mengenai ramuan yang tepat, ternyata bukan berarti harus berupa tampilan iklan yang luar biasa. Pointnya di sini, adalah gabungan dari strategi dalam porsi yang tepat.
”Bisa saja materi advertisingnya tidak terlalu heboh, namun dengan pemilihan media yang tepat, frekuensi tayang yang efektif, dan strategi branding yang fokus, awareness produk dapat mencapai tingkat yang memadai. Selanjutnya dengan tagline dan single minded yang tepat, konsumen memahami karakter merek dan produk. Selanjutnya dengan awareness dan pemahaman yang tercipta, konsumen akan mulai tertarik untuk mencoba produk tersebut.”
Ketiga tahapan tadi yaitu awareness atau pengenalan, comprehension atau pemahaman, dan selanjutnya interest atau ketertarikan konsumen terhadap produk kita, merupakan tahapan yang sebaiknya diciptakan oleh setiap produk, untuk menghasilkan penjualan yang maksimal.
”Secara obyektif, menurut hemat kami di sinilah peran advertising yang paling vital dalam pemasaran produk. Karena hingga pada tahap menciptakan ketertarikan, advertising telah berperan maksimal dalam menarik konsumen untuk datang kepada produk yang ditawarkan. Demikian saudara, kesimpulannya adalah bila anda merasa ada sesuatu yang salah dengan aktifitas komunikasi pemasaran anda,anda dapat mulai melakukan tracking terhadap 3 variabel tersebut. Melalui tracking yang sistematis diharapkan kita dapat lebih cepat dan lebih akurat dalam mengidentifikasi permasalahan dalam aktifitas komunikasi pemasaran kita untuk kemudian memperbaikinya.”
Saudara, untuk mencapai tingkat penjualan seperti yang diinginkan, masih ada dua tahapan lebih lanjut yang harus dilakukan setelah komunikasi pemasaran, di mana distribusi juga turut berperan. Head of Researcher dari Brand Research Indonesia, Inu Machfud, akan menghadirkan hasil penelitiannya dalam kesempatan selanjutnya. [aji : aji @ mediacorpradio.com]


sumber : www.rsi.sg

KOMUNIKASI, BLOOD OF BUSINESS

KOMUNIKASI, BLOOD OF BUSINESS


Sejak melakukan initial audit ISO 9001:2000 di cabang Semarang dan Surabaya bulan Oktober 2006 yang lalu, seberapa penting komunikasi diposisikan oleh manajemen di cabang-cabang menjadi salah satu focus dari audit. Terminologi “blood of business” yang menggambarkan urgensi dari sebuah penyediaan informasi sendiri merupakan frase yang dimunculkan dalam standard operating procedure dari FPS Group lebih dari lima tahun yang lalu dan seharusnya sudah sangat-sangat dipahami oleh keseluruhan staf di lingkungan PT FPS Indonesia. Demikian juga pada saat penyusunan “pedoman praktis audit” secara sengaja kami tempatkan 3 subjek yang membahas secara khusus soal komunikasi yaitu : komunikasi internal, komunikasi pelanggan, dan umpan balik pelanggan.

Kegiatan verifikasi atas komunikasi internal dilakukan meliputi ada tidaknya kegiatan pertemuan-pertemuan dengan ruang lingkup pembahasan yang jelas (rapat rutin/konsolidasi, rapat teknis fungsi tertentu, dan rapat khusus penyelesaian masalah) di samping pola-pola komunikasi umum yang dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari (tatap muka, via telepon/aiphone, e-mail, skype dsb.). Masuk dalam kategori ini adalah cara-cara bagaimana suatu program/rencana disosialisasikan ke bawah. Apakah suatu program/rencana diupayakan untuk mendapatkan awareness yang berulang-ulang sehingga kebutuhan ”papan pengumuman” menjadi urgent menjadi objek audit kala itu.

Demikian juga komunikasi yang bersifat keluar (eksternal) tidak luput dari objek audit. Apakah setiap penawaran ada arsip Quotation-nya, apakah brosur tersedia dalam memperkenalkan profile perusahaan, apakah inquiry tertangani dengan baik termasuk juga komplain-komplain pelanggan. Demikian juga halnya penanganan komunikasi keagenan apakah telah dilakukan sebagaimana standar yang telah digariskan oleh Group.

Sebagaimana FPS Group menempatkan komunikasi dan teknologi sebagai sebuah sumber daya dan sarana bagi perusahaan yang mutlak keberadaannya, PT FPS Indonesia melakukan upaya-upaya menggenapi sarana yang ada antara lain dengan melengkapi key person di seluruh cabang dengan individual e-mail dan skype. Terakhir, PT FPS Indonesia meluncurkan website-nya, www.fpsindonesia.co.id, yang memiliki tujuan utama sebagai sarana pengkomunikasian jasa-jasa yang dimiliki serta sebuah ”blog”, www.fpsindonesia.blogspot.com, yang dipakai sebagai penyedia berita terkait bisnis transportasi pada umumnya dan juga berita-berita seputar FPS Group.

Saluran-saluran komunikasi yang menjamin tersedianya informasi yang dibutuhkan baik ke dalam maupun keluar ini diharapkan mampu mendorong efektivitas pelaksanaan pekerjaan dan tersedianya update informasi di samping dapat memberikan nilai tambah pada saat komunikasi dilangsungkan dengan segenap karyawan baik dalam tataran operasional maupun staff di atasnya.

Regards,
Jaerony Setyadhi