Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Monday, September 8, 2008

KENAIKAN SURCHARGE, SIMBOL KEKUASAAN PELAYARAN ASING

Jumat, 05/09/2008 11:26 WIB
oleh : Akhmad Mabrori

Jauh sebelum kemerdekaan, negeri ini pernah jaya di laut. Negeri ini juga cukup disegani dalam percaturan perdagangan melalui jalur laut internasional.

Setidaknya hal itu tergambar dalam sejarah kerajaan Majapahit (1293-1520 M) yang menguasai jalur pelayaran di Selat Malaka hingga berabad-abad lamanya. Konon pada zaman itu, strategi dagang melalui jalur pelayaran internasional juga mampu diatur oleh putra dan putri bangsa sendiri.

Kisah itu tinggal kenangan. Kini lebih dari dua pertiga wilayah Indonesia yang merupakan perairan, bahkan sering disebut sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia, ternyata salah urus dalam pengelolaan potensinya.

Secara geografis, letak perairan Indonesia dikenal memiliki posisi strategis bagi jalur pelayaran internasional, khususnya terhadap jalur perdagangan intra-Asia, Eropa, dan Amerika Serikat.

Parahnya lagi, hingga saat ini pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia hanya dijadikan sebagai pelabuhan pengumpan atau feeder port. Artinya, pengapalan komoditas ekspor dan impor dari dan ke Indonesia masih harus transshipment di pelabuhan lain, seperti Singapura dan Malaysia.

Akibatnya, selain menambah waktu, kondisi ini menyebabkan tambahan biaya yang mesti ditanggung oleh pemilik barang akibat double handling. Komoditas ekspor impor nasional sulit bersaing di pasar global.

Ironisnya lagi, pemerintah Indonesia dinilai tidak lagi berdaulat atas kegiatan pengapalan ekspor impor yang notabene lebih dari 90% masih dilakukan oleh perusahaan pelayaran asing.

Selain akibat keterbatasan armada yang dimiliki perusahaan pelayaran nasional untuk angkutan ocean going itu, sejumlah perusahaan pelayaran nasional lebih suka menjadi agen atau perwakilan pelayaran asing yang beroperasi di dalam negeri.

Usaha keagenan kapal asing ini memang cukup menggiurkan dari sisi pendapatan yang bisa diraup daripada harus menyiapkan investasi armada kapal untuk angkutan internasional.

Surcharge naik
Kedaulatan Pemerintah Indonesia kembali dipertanyakan setelah sejumlah pelayaran asing menaikkan lagi surcharge atau biaya tambahan yang diakumulasikan dalam biaya terminal handling charge (THC) menyusul kenaikan jasa pelayanan peti kemas atau container handling charge (CHC) di terminal Pelabuhan Tanjung Priok mulai 1 September 2008.

Padahal, dalam surat edaran Menhub No.302/2005 disebutkan bahwa perusahaan pelayaran asing boleh memungut biaya yang mesti ditanggung pemilik barang atas kegiatan bongkar muat (stevedoring) peti kemas di pelabuhan atau THC untuk peti kemas 20 kaki sebesar US$95 per boks yang terdiri dari CHC US$70 dan surcharge US$25.

Untuk peti kemas 40 kaki, THC diberlakukan sebesar US$135 per boks yang terdiri dari CHC sebesar US$105 ditambah surcharge US$30.

Kini, perusahaan pelayaran asing dilaporkan tidak lagi berpatokan pada aturan itu. Hal ini dipicu oleh keluarnya Keputusan Direksi Pelindo II No. HK.56/3/2/PI.II-08 pada 11 Agustus 2008 yang menetapkan tarif CHC naik per 1 September 2008. CHC untuk peti kemas 20 kaki berlaku US$83 per boks dan peti kemas 40 kaki US$124,5 per boks.

"Kenaikan itu telah disetujui oleh seluruh pengguna jasa terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok," kata A. Syaifuddin, Dirut PT Pelindo II.

Dia beralasan penetapan tarif CHC itu juga telah disetujui Menhub Jusman Syafii Djamal melalui surat rekomendasi Menhub No. PR.302/2/9/Phb pada 8 Agustus 2008. Sayangnya, penetapan itu tanpa diikuti dengan penetapan THC yang boleh dipungut pelayaran asing, sebagaimana yang pernah dilakukan Menhub sebelumnya melalui surat No. 302/2005 tentang THC.

Tarif bervariasi
Dampaknya sudah bisa ditebak. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian berusaha di Pelabuhan Tanjung Priok, karena pelayaran asing kini memungut tarif THC bervariasi yang di dalamnya terdiri dari CHC dan surcharge tanpa ada kendali dari pemerintah.

Untuk sementara ini, pelayaran asing memungut THC untuk peti kemas 20 kaki sebesar US$115 per boks yang terdiri dari CHC sebesar US$83 dan surcharge US$32, sedangkan peti kemas 40 kaki dikenakan THC US$161 per boks yang terdiri dari CHC US$124 dan surcharge US$37.

"Ketegasan Menhub sangat diperlukan karena ini bukan masalah kesepakatan atau B to B [business to business], tetapi wewenang pemerintah sebagai negara yang berdaulat," kata Toto Dirgantoro, Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo).

Dia mengharapkan Menhub turut campur tangan karena tarif CHC yang merupakan komponen THC diatur oleh pemerintah, kenapa surcharge yang mendompleng pada tarif pelabuhan itu tidak diatur.

Depalindo bersama asosiasi pemilik barang lainnya bersiap melaporkan pungutan THC oleh pelayaran asing yang tanpa dasar itu ke kepolisian karena selain melanggar Kepmenhub No. KM 302/2005, kondisi ini berpotensi menimbulkan kekisruhan dalam aktivitas pelayananan jasa kepelabuhanan di Tanah Air.

Asosiasi itu juga menilai persetujuan Menhub Jusman Syafii Djamal ke Pelindo II dalam penetapan CHC itu merupakan penyimpangan dan tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan riil terkait di sektor kepelabuhanan dan pelayaran.

Sejumlah asosiasi lain dan pengguna jasa kepelabuhanan di Tanjung Priok juga mempertanyakan penaikan CHC yang berakibat terdongkraknya THC secara sepihak.

Suara mereka nyaris sama, yakni mendesak Menhub segera merevisi surat No. KM 302/2005 tentang THC yang diterbitkan Menhub sebelumnya.

Berharap turun
Menhub hanya berharap surcharge dapat diturunkan besarannya saat Pelindo II menaikkan tarif CHC. Dengan demikian, Penurunan surcharge akan menjadikan biaya THC tetap.

Sebagai tanggapan atas kenaikan surcharge, pemerintah berencana mengaudit biaya tambahan itu dengan melibatkan auditor independen guna memperjelas struktur biaya (cost structure) di pelabuhan.

Menhub menyatakan tidak sependapat dengan kenaikan surcharge yang dikutip oleh perusahaan pelayaran asing melalui agennya di Indonesia. Namun sayang, melalui surat rekomendasinya pada 8 Agustus 2008,

Menhub telanjur menyetujui kenaikan tarif CHC tanpa diikuti dengan keputusan penurunan atau penghapusan surcharge. (hwi) (redaksi@bisnis.co.id)

bisnis.com
URL : http://web.bisnis.com/artikel/2id1505.html