Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Sunday, April 22, 2012

KEPEMIMPINAN YANG SEIMBANG DALAM MENGELOLA KINERJA TIM

ANTON mengeluhkan sikap atasannya yang selalu memberikan perintah dan tugas, tanpa melihat kesulitan yang dia hadapi secara personal. Menurutnya, atasan hanya mementingkan pencapaian hasil kerja dibandingkan dengan prosesnya. Hal ini membuatnya merasa "gerah" dan kurang nyaman dengan iklim di tempat kerjanya.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa kadangkala ada atasan yang memperlakukan bawahannya hanya sub-bagian kecil organisasi yang harus didorong atau di-"push" untuk mendapatkan hasil pekerjaannya. Jangankan menciptakan inspirasi bagi bawahan, memahami kesulitan yang dihadapi oleh mereka pun tidak dilakukan. Padahal atasan adalah pemimpin dalam timnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana kepemimpinan seorang atasan mampu membuat anggota timnya berkontribusi dalam memberikan kinerja yang optimal.

Berbicara mengenai kepemimpinan, banyak sekali definisi yang menggambarkan apa itu kepemimpinan, dan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang mampu mendorong kinerja timnya. John Maxwell mengatakan, "Leadership is inspiring and guiding others to instigate change from the inside-out, based on their own intrinsic motivations. Leadership is the art of influence". Yang kemudian ditambahkan oleh Prof. Dr Roger Gill yang mendefinisikan "Leadership is process of creating a desire in people to achieve objective, of getting people to want to do what you want them to do." Warren Bennis juga mengatakan, "Characterized managers are people who do things right and leaders are people who do the right things."

Dari berbagai macam definisi yang ada dan dapat diambil suatu kesimpulan bahwa berbicara kepemimpinan berarti harus mampu menyeimbangkan peran dia sebagai leader dan sebagai manager. James P. Eicher dalam bukunya Leader-Manager Profile, menggambarkan kompetensi yang dibutuhkan untuk dapat menjalankan masing-masing peran tersebut.

Menurutnya, kompetensi seorang leader adalah

1. Kemampuan dalam menyampaikan sasaran

Memahami organisasi dan membawanya ke arah satu sasaran sehingga mampu memenangkan persaingan. Jack Welch mengatakan pemimpin bisnis yang baik harus mampu menciptakan visi, mereka mengartikulasikan visi sepenuh hati, merangkul visi tersebut, dan tak kenal lelah mengupayakan pencapaian visi tersebut.

2. Kemampuan dalam membangun hubungan

Memahami setiap orang, kelompok, atau organisasi lain yang berperan terhadap keberhasilan perusahaan dan menghargai peran serta kontribusi mereka. Peter Drucker menggambarkan hal ini dengan mengatakan seorang pemimpin harus mudah didekati, mengenal kelompok-kelompok dan pemimpin informalnya, menyeluruh memberitahukan tujuan, dan berusaha untuk bekerja sama dengan orang lain.

3. Kemampuan dalam memberikan inspirasi

Membangun kredibilitas pribadi dan "menyuntikkan" komitmen kepada orang-orang lain.

Ki Hajar Dewantara memberikan gambaran dengan rumusan "Ing ngarso sung tuladha", yang artinya, seorang pemimpin yang selalu berdiri di depan harus mampu memberikan inspirasi, contoh dan teladan bagi yang dipimpinnya.

Sementara itu, kompetensi seorang manager adalah

a. Kemampuan dalam mengarahkan operasi

Menetapkan proses yang memungkinkan organisasi dan orang-orang di dalamnya untuk dapat bergerak maju ke arah tercapainya sasaran.

b. Kemampuan dalam mengembangkan organisasi

Mengembangkan keterampilan, serta menetapkan peran dan tanggung jawab setiap orang untuk dapat menyelesaikan pekerjaan.

c. Kemampuan dalam mendorong kinerja

Menyampaikan pesan kepada setiap orang agar mereka mengerti bahwa kinerja mereka memengaruhi kinerja tim, kelompok dan organisasi secara keseluruhan.

Bagi sebuah tim, sangat ideal sekali jika punya atasn atau pemimpin yang memiliki kedua kompetensi tersebut yang seimbang. Namun, John P.Kotter dalam bukunya "A Force for Change: How Leadership Differs from Management" mengatakan bahwa jumlah pemimpin yang memiliki kompetensi leader dan manager yang kuat dan seimbang sangatlah sedikit, jauh dibandingkan dengan seorang pemimpin yang hanya mampu menjalankan peran manajerialnya. Hal ini yang menjadikan tantangan bagi kita sebagai seorang pemimpin di dalam mengembangkan kemampuan leader dan manager dan mengimplementasikannya secara seimbang.


Bayu Setiaji
VP Training Delivery PT Lutan Edukasi


Sumber: Kompas, 22 April 2012

FAKTOR NON TEKNIS

Hari ini (19/4) jam 01:45 WIB dini hari kita disuguhi pertandingan sepak bola yang sangat menarik yaitu semifinal Liga Champions antara Barcelona FC melawan Chelsea FC. Menariknya, pertandingan ini dimenangkan oleh Chelsea 1 – 0, di bawah pelatih barunya Roberto di Matteo.

Barcelona, yang terkenal dengan permainan tiki-takanya saat ini merupakan klub kesebelasan favorit tidak saja di liga domestik La Liga, Spanyol tapi juga di Liga Champions Eropa selama beberapa tahun terakhir. Barcelona adalah juara bertahan Liga Champions untuk periode 2010 – 2011, juga juara dunia Antar-Klub FIFA 2011. Selain itu, pemain-pemain Barcelona merupakan pemain inti dari kesebelasan nasional Spanyol yang menjuarai Piala Dunia Sepak Bola 2010 Afrika Selatan. Singkatnya, Barcelona adalah klub sepak bola jumawa yang disegani tidak saja di liga local tapi juga di liga tingkat Eropa serta dunia.

Sebaliknya, Chelsea tidak secemerlang Barcelona meskipun merupakan klub langganan 5 besar di Liga Primer Inggris dari musim ke musim. Klub ini “tidak konsisten” di liga local, tapi bagus kinerjanya di Liga Champions, demikian menurut Pep Guardiola, pelatih Barcelona, sehari sebelum pertandingan ini.

Mengapa Bisa Menang?


Di bawah pelatih lama, Andre Villas Boas (AVB), Chelsea terseok-seok di Liga Primer Inggris. Sebagai dampak lanjutan, per hari ini (19/4) posisi klub ini masih berada di peringkat 6 klasemen sementara. Saat itu, dengan alasan alih generasi, “para pemain tua” selalu dibangku-cadangkan, sebut saja misalnya, John Terry, Frank Lampard bahkan Didier Drogba, sang penentu kemenangan di pertandingan malam tadi itu. Kentara sekali bahwa dikesampingkannya para pemain senior itu menjadikan tim tidak termotivasi. Dari lansiran berita-berita media “peran” mereka di luar lapangan sangat mempengaruhi motivasi keseluruhan tim. Inilah factor non-teknis yang kelihatannya sepele namun ternyata berperan sangat vital.

Bagus dan sah-sah saja untuk dilakukan suatu penyegaran untuk mengantisipasi kondisi masa mendatang. Namun, langkah-langkah bijak kelihatannya harus dipertimbangkan sebelum men-justifikasi diri bahwa langkah yang ditempuhnya visioner. Inilah yang kemudian oleh Di Matteo dikembalikan kepada kondisi semula, menyertakan kembali “para pemain tua” itu dalam jajaran starting eleven serta melakukan strategi kombinasi dalam rangka memenangkan setiap pertandingan.

Alhasil, kemenangan demi kemenangan diraih mulai dari liga local dan sekarang ini Liga Champions. Bahkan, tidak menutup kemungkinan klub ini bakal masuk babak final liga ini. Para pendukung kesebelasan ini patut berbangga bahwa klub idolanya come back to the track of champions. Kekompakan tim yang mulai redup dihidupkan kembali, peran-peran di setiap lini yang tadinya loyo diberdayakan.

Transformasi Nilai Kebaikan

Menyimak hasil pertandingan ini, keterpurukan bukanlah suatu kondisi permanent yang menghambat geliat ke depan. Jika kita pandai mencari akar masalah – bukan mencari pembenaran – keterpurukan dapat dijadikan pelajaran bagaimana sebaiknya kita bersikap dan mengambil keputusan cerdas untuk suatu masa depan. Hal penting yang bisa kita yakini misalnya adalah bahwa keberadaan kita dalam hidup ini semata-mata untuk sebuah transformasi bagi nilai-nilai kebaikan, tidak peduli ada di posisi mana kita berada dan seberapa lama kita di posisi itu dan seberapa “kuat” kita merasa. Kita diwajibkan untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan itu melalui peran yang kita lakoni sekarang. Semakin baik posisi, semakin terbuka lebar kesempatan untuk melakukan upaya transformasi itu.

Seorang Umar bin Abdul Aziz dalam tarikh Islam disebut-sebut sebagai khalifah kelima. Penyebutan tinggi itu diberikan karena masyarakat yang sudah diliputi fitnah-fitnah pada masa akhir khulafaur rasyidin dikembalikan kepada kondisi semula, masyarakat madani yang saling menghargai dan taat peraturan.

Kita senantiasa butuh seorang Khalifah Umar “Kedua”, yang menempatkan nilai kebaikan sebagai acuan paling utama dalam memimpin. Masa kepemimpinan yang sangat singkat (kira-kira 2,5 tahun) bukanlah kendala untuk sebuah nilai kebaikan itu. Dan sejarah telah mencatatnya bagaimana prestasi seorang khalifah kelima ini.

Jika Chelsea sudah meninggalkan keterpurukannya dan beralih dalam kondisi “on fire” saat ini kitapun punya keyakinan bahwa jika niat kita luruskan kembali kita sangat mampu untuk “on fire” lagi dalam menghadapi kompetisi yang tidak bisa dibilang mudah.

So, mari luruskan niat, dan optimalkan ikhtiar kita … (Pak Hermansyah (alm))


(JS)

QUALITY FIRS 1)

Seorang kawan senior “curhat” betapa anak buahnya saat ini bersikap “matre”. Mereka tidak mau ditambah beban pekerjaannya meskipun tambahan pekerjaan itu bersifat tidak rutin. Mereka mau melakukannya jika ada “tambahan kompensasi” atas pelaksanaan tambahan pekerjaan itu. Si “Bos”, yang tidak mau melakukan “penyesuaian” itu beralasan : “bagaimana mungkin memberikan tambahan kompensasi, sementara pekerjaan yang diberikan itu sendiri belum dilakukan termasuk bagaimana kualitas hasil pekerjaannya nanti baik atau malah berantakan”. Anak buah tadi selanjutnya berargumen bahwa dia khawatir sekiranya tidak ada “akad awal”, hasil kerja mereka tidak diakui sebagai suatu kontribusi pada proses pekerjaan yang berjalan. Begitulah keadaannya dan seterusnya, sehingga timbullah istilah mana dulu : telor apa ayam, yang membentuk lingkaran tanpa nilai tambah itu.


Jepang, Negara Kalah Perang


Sebentar kita tinggalkan masalah sehari-hari di atas dan kita coba lihat di sisi yang lain.

Pada dekade 40-an, Jepang “ikut-ikutan” menjalankan politik kolonialisme sebagaimana negara Barat dengan menjajah khususnya negara-negara Asia Timur. Saat itu, sebagian besar wilayah telah dikuasai termasuk Hawai. Tapi kemudian apa yang terjadi? Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom tidak saja negara itu menjadi kalah perang tapi yang sampai saat ini masih diratapi adalah timbulnya bencana kemanusiaan hebat yang diakibatkan oleh perang itu. Sejak saat itu, rakyat Jepang harus memulai hidupnya dari nol.

Jepang menyimpulkan, aneksasi model Barat bukanlah cara tepat agar negara menjadi berjaya dan “menguasai” dunia. Rakyat Jepang mulai mengidentifikasi kekuatan dari dalam yang mereka miliki, mereka mulai focus pada ekonomi dan melupakan penaklukan ala militer.

Negeri Pembelajar


Belajar pada depresi ekonomi Amerika Serikat pada 1930-an, Jepang menata industrinya tidak serta-merta ditujukan untuk meraup untung sebesar-besarnya di satu sisi. Di sisi lain, proteksi Amerika serikat dan sekutunya mengharuskan Jepang harus memproduksi barang yang benar-benar bermutu. Praktek-praktek manajemen dibuat tidak muluk-muluk dengan penerapan ini-itu. Pada penanganan proses-proses misalnya, Group Toyota “hanya” berfokus pada usaha-usaha untuk “menghilangkan sampah” (eliminate waste) 2). Cara Toyota memanajemeni groupnya di seluruh dunia ini kemudian dikenal dengan nama “The Toyota Way”.

Selanjutnya, mereka berfokus pada “quality”. Dan dengan cara inilah kemudian Jepang mendominasi perekonomian dunia sampai dengan saat ini. Bandingkan dengan Barat yang dengan model-model guritanya lebih berorientasi pada “profit”. Ishikawa (penemu model “tulang ikan” untuk solving problem) menulis :

“Japanese companies have been guided by the principle of “quality first” in accepting and practicing total quality control”. (Perusahaan Jepang dipandu oleh prinsip “mengutamakan mutu” dalam menerima dan mempraktekkan pengendalian mutu.

Selanjutnya, … In contrast, American managers have taken the path of seeking short range goals. They have adhered to the principle of “profit first” and in the process lost to Japan in competition” 3) (Sebaliknya, para manajer Amerika lebih mencari tujuan jangka pendek. Mereka menganut prinsip “mengutamakan keuntungan” dan pada kenyataannya kalah dengan Jepang dalam kompetisi).

Fakta sederhana lain bahwa kemudian Jepang mendominasi perekonomian dunia adalah bahwa pada sekitar tahun 1930-an ada sekitar 30 perusahaan pembuat televise berwarna di Amerika Serikat, yang kemudian menyusut menjadi hanya 1 perusahaan saja pada tahun 1960-an 4). Dan sebagainya.


Rezeki Datang dari Segala Penjuru

Menyimak bagaimana cara bangsa Jepang bangkit dari keterpurukan yang kemudian merajai perekonomian dunia, mestinya dapat menginspirasi kita bahwa tujuan jangka panjang harus dijadikan suatu misi yang mengarahkan kita meski saat ini kita juga harus berkontrentasi pada tujuan jangka pendek.

Kembali ke awal tulisan, kitapun harus terus menggali kearifan bahwa “tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah” (Al-Hadits) dan mestinya ini menjadi salah satu “alat keyakinan” kita dalam mengharap keridhoan Yang Mahakuasa. Kita telah paham bahwa setiap pemberian yang kita tujukan bagi kebaikan akan mendapatkan “balasan” yang entah dari mana datangnya, dan tidak harus berasal dari pihak yang kita beri itu. Rezeki Allah akan datang dari segala penjuru mata angin dikarenakan kebaikan dan nilai tambah yang bisa kita berikan kepada siapapun, kapanpun dan di manapun.

Memperbaiki kualitas diri dengan meningkatkan kompetensi harus senantiasa menjadi focus untuk dapat terus-menerus dapat beradaptasi dengan tantangan di depan. Bekerja dengan benar, ringan tangan untuk menolong, dapat sekedar meringankan pekerjaan teman, rajin, ulet, adaptif, disiplin, mematuhi peraturan perusahaan dan seterusnya adalah contoh-contoh nilai tambah yang dapat diberikan oleh setiap individu yang tidak secara kontan akan diganjar dengan sebuah kompensasi. Kelak orang-orang sekitar akan memberikan kesaksian bahwa nilai tambah yang kita berikan pada kenyataannya lebih besar daripada hitung-hitungan kompetensi dan/atau personal appraisal di atas kertas semata.

Kalau di tingkat individu kita mungkin kurang suka dengan yang “matre”, maka di tingkat corporate-pun akan demikian pula. Quality dengan segala aspeknya mungkin bisa dijadikan salah satu acuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja termasuk kualitas diri kita itu sendiri.

Dalam tabel Self-Assessment ISO 9004:2009, sebuah perusahaan memiliki kedewasaan 5) tingkat 3 (=flexible organization) pada aspek hasil, apabila :

The satisfaction of the organization’s people and its interested parties is monitored (Kepuasan karyawan serta kepuasan pihak-pihak berkepentingan lain terpantau).

Jadi, jika kita berpegang pada penggalan Hadits di atas, tidak akan ada yang saling menunda telor dulu atau ayam dulu, karena komitmen kita untuk sebesar-besarnya memberikan nilai tambah kepada sekitar kita. That’s Quality!



(JS)

-----------------------------------
1) Istilah “Quality First” diusulkan menjadi prinsip manajemen mutu oleh CQI, UK pada revisi ISO 9000:2005 yang akan datang.
2) 7 jenis sampah : stock berlebihan (over-stock), over-produksi, proses berlebihan, waktu menunggu, transportasi yang tidak efektif/efisien, gerakan (orang) berlebihan, dan barang reject.
3) UK position paper for the revision of ISO 9000.
4) Juran’s Quality Handbook, fifth edition.
5) 5 tingkat kematangan organisasi : (a) organisasi pemula, (b) organisasi proaktif, (c) organisasi fleksibel, (d) organisasi inovatif, dan (e) organisasi lestari/sustained.