Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, July 5, 2007

Memangkas Biaya Siluman Layanan Kargo di Priok (2)

Bagian Kedua dari Dua Tulisan

Oleh : Iskandar Zulkarnain (Dirut Internusa Cargo & Wakil Ketua Umum DPP Gafeksi)

JAKARTA (Bisnis Indonesia) - Sebagai ilustrasi, sebelum ada tarif kesepakatan, kargo minimum 3 cbm dengan forwarding charge yang bervariasi bisa ditagih sampai dengan US$245, bahkan lebih. Belum lagi ditambah biaya pengambilan barang di gudang yang dikenakan biaya tinggi. Bandingkan dengan tarif kesepakatan bagi anggota Gafeksi US$150 saat ini, ditambah tarif gudang yang disepakati itu.

Ironisnya, bagi pemilik gudang atau perusahaan bongkar muat (PBM) yang sebenarnya menerima jasa minim, dengan perbandingan sangat menyolok bisa mencapai 1:5.

Jadi, misalnya biaya atau tagihan PBM kontainer 20 kaki Rp1,5 juta, maka oleh PBM mitra itu menjadi Rp7,5 juta, bahkan bisa lebih tinggi mengikuti 'permintaan' forwarder pemberi order, yang duitnya pun tidak dinikmati karena untuk nombok refund ke luar negeri.

Hal ini disebabkan tidak adanya standar besaran komponen biaya, termasuk banyaknya item biaya yang harus ditagihkan, sehingga importir atau consignee (pemilik barang) terpaksa harus membayar berapa pun jika barangnya ingin cepat dikeluarkan. Jika tidak, barang-barang mereka tidak dapat dikeluarkan dari pelabuhan.

Sejak 2002, Gafeksi melalui KKAD (Kelompok Konsolidator dan Agent Delivery) telah membuat suatu standar tetapi selang beberapa waktu dipanggil oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena dianggap membuat kartel yang menyalahi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dari berbagai praktik yang tidak memakai standar, banyak hal lucu sering terjadi ketika importir harus mengambil dua partai atau lebih barang-barang di gudang yang berasal dari pelabuhan muat yang berbeda.

Sebagai contoh, tarif import untuk kargo asal Thailand akan berbeda biayanya dibandingkan kargo asal China. Kenapa demikian? Jawabannya sederhana, karena jumlah refund atau pengembalian yang harus dilakukan kepada tiap agen yang berbeda akan berbeda pula besarannya.

Petanyaan selanjutnya kenapa berbeda? Jawaban kuncinya adalah karena adanya pembatasan tarif di negara agen itu berada.

Model pembatasan tarif itulah yang seharusnya diadopsi oleh Indonesia. Sebab sudah bukan saatnya lagi kita diatur oleh agen asing yang 'bermain' sebagai 'price maker' dengan saling mengadu besaran refund dengan dalih mekanisme pasar.

Padahal justru forwarder nasional yang seharusnya menjadi penentu harga (price setter). Kita harus setop praktik yang selama ini tidak sehat, yang ujung-ujungnya merugikan konsumen akhir.

Seringkali, forwarder pada kegiatan ekspornya memberikan refund ke pelayaran. Kalau hal ini diberikan langsung kepada korporasi bolehlah dikatakan menolong eksportir, tetapi praktiknya justru banyak diberikan kepada oknum di perusahaan bersangkutan.

Jadi, tidak merupakan insentif untuk menurunkan biaya produksi. Dengan kata lain, kita semua mengajari para marketing kita dan orang pabrikan untuk selalu 'bermain' uang, yang notabene akan merugikan perusahaan.

Pada kegiatan impor forwarding menagih tinggi, tetapi juga tidak dinikmati tetapi dikembalikan sebagai refund ke agennya di luar negeri. Jadi, bagi forwarder sendiri hasilnya tipis kalau tidak mau dikatakan habis, padahal yang lain kenyang menikmati.

Belum lagi ditambah risiko tidak dibayar, credit term yang terlalu lama, tingginya cost of money, kemungkinan timbulnya klaim atas pekerjaan dan sebagainya. Semuanya bukan saja merugikan, tapi menciptakan iklim usaha yang tidak sehat.

Fungsi pemerintah
Melihat efektivitas SK Menhub KM No. 36/2005 dan KM No. 11/2006 tanggal 9 Februari 2006 mengenai tarif referensi dalam mengendalikan persaingan yang mematikan di bisnis penerbangan dalam negeri dan penurunan THC, seharusnya pemerintah melalui departemen yang terkait mendukung kesepakatan tarif tersebut.

Pemerintah juga perlu menertibkan pelaku usaha dengan memfungsikan asosiasi sebagai mitra, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.

Teringat saat AFFA (Asean Freight Forwarding) Meeting yang diselenggarakan di Jakarta dua tahun lalu, kami sebagai pengurus Gafeksi banyak belajar dari delegasi Singapura, Malaysia dan Thailand soal tarif kesepakatan.

Diperoleh fakta bahwa, pertama, ternyata mereka sudah lama menjalankan tarif semacam ini. Di negaranya, mereka benar-benar langsung dikontrol oleh pemerintah masing-masing melalui otoritas pelabuhan, Bea Cukai, Kamar Dagang, dan Kementerian Perdagangan. Kedua, penegakan hukum dengan sanksi tegas bagi para pelanggar dan ketiga, didukung lembaga perlindungan konsumen yang baik.

Sebagai anggota AFFA dan salah satu ketua di INFA (International Freight Forwarder Association), sudah selayaknya model tarif kesepakatan antarasosiasi ini didukung penuh, baik oleh asosiasi maupun pemerintah.


********