Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, June 28, 2007

Desakan Penghapusan THC Menguat

JAKARTA (Bisnis Indonesia): Pelaku usaha dan kalangan DPR kembali mendesak pemerintah agar menghapus terminal handling charges (THC) di pelabuhan yang selama ini dibebankan oleh pelayaran asing yang melayani rute internasional kepada pemilik barang ekspor-impor nasional.

"THC itu masuk dalam kategori pungli [pungutan liar] dan hanya Menhub Jusman Syafii Djamal yang bisa menghapusnya melalui keputusan menteri," kata Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Amirudin Saud di sela-sela diskusi bertema Dua Tahun THC Diturunkan, Siapa Diuntungkan?, kemarin.

Selain itu, lanjut dia, Menhub juga harus mengevaluasi kembali besaran tarif container handling charges (CHC) pascapenurunan THC sejak dua tahun lalu. Sejak 1 November 2005, pemerintah menurunkan THC untuk peti kemas 20 kaki dari semula US$150 menjadi US$95, terdiri dari CHC US$70 dan surcharge US$ 25.

THC peti kemas 40 kaki yang semula US$230 diturunkan menjadi US$145, terdiri dari CHC US$105 dan surcharge US$ 40.

CHC adalah tarif bongkar muat peti kemas di terminal peti kemas internasional. THC dihitung dari biaya CHC ditambah surcharge.

Menanggapi desakan itu, staf ahli Menhub Efendi Batubara menjelaskan kebijakan pemerintah menurunkan THC sejak dua tahun lalu sudah sesuai prosedur hukum dengan mengacu pada implementasi Keppres No. 24/2005 tentang Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor.

Sejak THC diturunkan, papar Efendi, dunia usaha khususnya eksportir dan importir nasional telah memperoleh manfaat berupa penghematan US$342 juta atau sekitar Rp3,1 triliun per tahun yang berasal dari arus peti kemas ekspor-impor di pelabuhan Indonesia yang jumlahnya sekitar 6 juta TEUs (twenty-foot equivalent units) per tahun.

Sikap DPR
Ketua Komisi V DPR Ahmad Muqowwam mendukung desakan pelaku usaha agar Menhub mengkaji kembali penurunan THC. "Waktu itu kami [DPR] sudah meminta kepada pemerintah agar THC dihapuskan saja, tetapi pemerintah bilang itu sesuatu yang tidak bisa dihindari mengingat hal itu merupakan suatu kelaziman yang ada di beberapa negara," ujarnya.

Muqowwam mengingatkan bahwa persoalan ini merupakan pekerjaan rumah serius yang mesti disikapi oleh Menhub. "Menhub harus berani mengambil alih persoalan ini."

Sementara itu, perusahaan pelayaran asing melalui perwakilannya di Indonesia menyatakan tidak pernah diajak berkonsultasi saat pemerintah memutuskan penurunan THC pada dua tahun lalu.
"Kami tidak pernah dikonsultasikan padahal kami juga merupakan pengguna jasa kepelabuhanan di Indonesia," ujar Jean Charles Tassoni, Presdir CMA-CGM Indonesia.

Dia mengakui sejak terjadi penurunan THC, pendapatan pelayaran asing yang melayani pelabuhan di Indonesia turun sekitar 37% dari yang selama ini diperoleh dari pemilik barang (shippers) di Indonesia.
Tassoni juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang memberlakukan tarif CHC seragam di seluruh pelabuhan peti kemas.

Padahal, menurut dia, infrastruktur dan peralatan yang ada di setiap operator terminal peti kemas (TPK) berbeda-beda.

Sebagai contoh, tuturnya, di Jakarta International Container Terminal (JICT) dan TPK Koja masing-masing mengoperasikan tujuh unit post panamax cranes.

Adapun TPS Surabaya mengoperasikan 10 unit gantry cranes (GC), TPK Semarang (4 GC), TPK Belawan (3 GC), TPK Panjang (2 GC), dan TPK Palembang hanya mengoperasikan satu unit GC.
"Fasilitasnya berbeda, tetapi tarif CHC yang diberlakukan sama. Belum lagi seperti di TPK Panjang dan Palembang, seringkali peralatan gantry cranes-nya tidak berfungsi."

Vice President Director Terminal Petikemas Surabaya David P. Montgomery mengatakan penurunan THC dua tahun lalu telah mengakibatkan tiga pelayaran yang sebelumnya melayani pengangkutan langsung ke Asia Timur dari terminal tersebut telah menghentikan kunjungannya ke Surabaya, di mana ada sedikitnya 12 kunjungan kapal per bulan.