Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Thursday, August 6, 2009

STRAIGHT VS ORDER BILL OF LADING

Saat ini saya sedang mempersiapkan Materi Basic Forwarding 2 untuk teman-teman FPS dan Iska Group di kesempatan training mendatang. Salah satu pertanyaan yang sifatnya review mungkin akan diujikan, bunyinya begini :

Kenapa Air Waybill (AWB) tidak dapat diperjualbelikan (non-negotiable)?

Mungkin sudah ada yang tahu jawabannya, tapi saya yakin banyak di antara kita yang belum memahami.

Menulis dengan judul tulisan di atas bukan tanpa dasar. Beberapa kasus yang pernah terjadi di lingkungan IHB / Iska sejak 90-an antara lain terkait pada pemahaman judul tulisan di atas.

AWB tidak dapat diperjualbelikan (non-negotiable) dengan alasan karena dokumen tersebut termasuk “straight” document atau dalam istilah lain dinamakan sebagai dokumen-recta. Dalam transportasi laut dokumen ini diadaptasi dengan nama Sea Waybill atau juga Bill of Lading biasa dengan ciri tertentu. Ciri dokumen ini adalah bahwa dalam kolom Consignee dan Notify Party ditulis lengkap nama yang akan menerima barang di tujuan tanpa embel-embel lain.

Kenapa AWB harus berbentuk straight document? Ini dikarenakan bahwa proses transportasi udara demikian cepat termasuk dalam proses customs clearance-nya. Keharusan pelaksanaan pemrosesan secara cepat juga diindikasikan dengan tingginya tarif gudang di bandar udara dibandingkan dengan tarif gudang di pelabuhan laut dan juga demikian tingginya arus barang di bandar / pelabuhan udara.

Jadi,

Straight B/L = Sea Waybill = B/L-recta = Air Waybill

Lawan dari “straight” documents adalah “order” document (atau “to order” documents). Cirinya jelas bahwa di kolom Consignee atau Notify Party tertulis “to order ......”. Order ini bisa order of shipper atau bisa juga order of bank.

Penanganan Hati-hati atas Shipment Tertentu

Salah satu nilai tambah bagi sebuah freight forwarder adalah posisinya sebagai Adviser (Consultant) di banding bisnis usaha yang lain semisal pelayaran. Seorang adviser harus dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman tentang ruang lingkup dan aspek yang melingkupi atas apa yang dikerjakannya.

Akan halnya dengan kedua dokumen di atas, jika dalam Shipping Instruction yang kita terima di kolom Consignee terdapat kata “to order” kita boleh sedikit tenang bahwa kondisi penyerahan barang akan merujuk kepada persyaratan yang ditentukan oleh pihak yang disebut di belakang kata “to order” tersebut. Dan biasanya shipment dimaksud dicover dengan Letter of Credit (L/C).

Sebaliknya, jika di kolom Consignee (dan/atau juga Notify) secara lengkap dituliskan alamat si penerima, periksalah! Barang apa yang akan diangkut? Berapa nilai barang yang diangkut itu? Jika termasuk ke dalam barang yang spesific (berharga, nilai nominal tinggi dsb.), konfirmasikan kepada shipper apakah penggunaan jenis dokumen dimaksud tidak “membahayakan” shipper terutama terkait dengan masalah pembayaran dsb.?

Common Law Country dan Civil Law Country

Apa pula ini dengan kaitan judul di atas?
Sebagai ilustrasi singkat, bahwa negara yang menganut hukum kebiasaan (common law) akan secara otomatis menerapkan putusan pengadilan sebagai hukum positif. Sedangkan, negara dengan hukum sipil (civil law) akan mengacu hanya pada undang-undang dan regulasi yang berlaku. Jika tidak ada undang-undang atau regulasi yang mengatur hal tertentu maka itu bukan suatu hukum positif meskipun sebuah pengadilan negeri pernah memutuskan suatu perkara tertentu.

Negara yang menganut common law adalah Inggris dan negeri bekas jajahannya, sedangkan yang menganut civil law adalah negara-negara Eropa daratan (termasuk Belanda) dan negara jajahannya termasuk Indonesia.

Sikap hati-hati yang saya maksud di atas adalah jika suatu shipment freightnya adalah “prepaid” atau ada pembubuhan kata “as arranged”, maka bagi common law country, Consignee sudah berhak atas barangnya. Penyerahan (release) barang bukan berdasar pada ada tidaknya original documents sebagaimana jika dicover L/C tapi pada bagaimana status freightnya apakah sudah dibayar atau tidak. Apalagi jika jenis dokumennya adalah “straight B/L”. Sebaliknya tidak demikian bagi civil law country sepanjang tidak diatur.

Oleh karena itu, dalam posisi kita sebagai Principal (pemilik order shipment) kita harus tahu posisi kita termasuk instruksi apa yang proper dan yang tidak terkait dengan pemberlakuan hukum di negara setempat.

Dalam ISO 9001 versi 2008 (ISO 9001:2008) compliant terhadap statutory dan regulatory ditambahkan sebagai persyaratan dibanding versi sebelumnya, mencakup tidak saja undang-undang dan peraturan negara setempat tapi juga undang-undang dan peraturan negara yang menjadi jangkauan bisnisnya.

Kesimpulan

Kesimpulannya lebih kurang sebagai berikut :

1. Kalau shipment dicover L/C maka release barang tidak hanya “against documents” tapi juga verifikasi dari pihak bank. Jadi shipmentnya relatif aman utamanya bagi Seller / shipper.

2. Shipment yang dicover dengan Straight B/L sama dengan yang dicover dengan Sea Waybill. Barang dapat direlease tanpa original documents.

3. Undang-undang dan regulasi di negara-negara common law lebih dinamis / maju dibanding negara-negara yang menganut civil law. Undang-undang dan peraturan di negara kita boleh jadi tertinggal jauh.

4. ISO 9001:2008 mensyaratkan agar perusahaan tersertifikasi compliant tidak hanya terhadap statutory dan regulatory setempat tapi juga negara lain yang menjadi cakupan kerjanya dalam bentuk pemahaman undang-undang dan regulasi negara terkait tersebut.


Referensi : www.forwarderlaw.com


(Jaeroni Setyadhi)