Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Monday, December 10, 2012

Ten Tips on Making ISO 9001 Effective for You


1       Top management commitment is vital if the system is to be implemented successfully. Make sure senior managers are actively involved, approve resources and agree the key processes in the business.

2       Look at what systems, policies, procedures and processes you have in place at the moment. Then compare those with what ISO 9001 asks for. You may be surprised at how much you already do. ISO 9001will allow you to keep the things that work for you while refining those that don’t.

3       Make sure you have good internal communication channels and processes within the organization. Staff need to be involved and kept informed of what’s going on.

4       Give some thought to how departments work together. It’s important that the people within your organization don’t work in isolation but work as a team for the benefit of the customers and the organization.

5       Don’t ignore the impact that introducing these systems will have on your customers and suppliers. Speak to them to gain insight as to how they view your service and how they feel improvements could be made.

6       Clearly lay out a well-communicated plan of activities and timescales. Make sure everybody understands them and their role in achieving them.

7       The nature and complexity of your documentation will depend on the nature and complexity of your organization. ISO 9001 only defines the need for six procedures. What you have in addition to this is up to you. Consider using  your IT systems or software such as BSI’s Entropy® Software to manage your system and documentation more efficiently.

8       Make the achievement of ISO 9001 engaging and fun. Use competitions, such as for the first completed process. These will increase motivation.

9       Train your staff to carry out audits of the system. Auditing can help with an individual’s development and  understanding as well as providing valuable feedback on potential problems and opportunities for improvement.

10                     And finally, if you feel that you are doing something just for the sake of ISO 9001 and it doesn’t add any value to you as a business, question whether it’s necessary. Nine times out of ten it won’t be needed.



Source :  www.bsigroup.com

Tuesday, November 13, 2012

LOGISTIK, REALITAS GEOGRAFIS DAN KEPEMIMPINAN


Oleh :  Andre Vincent Wenas


“Don’t they know, if you take tough decisions, yes people will hate you today but they’ll thank you for generation …” (Margaret Tatcher, dalam film The Iron Lady, diperankan oleh Meryl Streep, Sony Pictures, 2012).

***

Kualitas kepemimpinan pada akhirnya memang ditentukan oleh kemampuan (sudah termasuk di dalamnya: keberanian, kecerdasan, dan kebijaksanaan) mengambil keputusan yang dampaknya baru dirasakan beberapa generasi ke depan. Dan tantangannya, keputusan-keputusan yang mesti diambil sekarang kerap tidak popular di mata public. Itulah hakikat kepemimpinan berpandangan visioner (penglihatan tembus zaman), dan mempu mengambil keputusan yang bahkan tidak popular pada zamannya.

***

Salah satu kendala bisnis terbesar di Indonesia adalah soal logistic. Dalam bentuk negara kepulauan yang pulaunya tersebar dalam jumlah ribuan, memang soal logistic jadi tantangan yang luar biasa bikin pening kepala para pemasar dan juga pemerintah. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia baru-baru ini melansir pernyataan bahwa biaya logistic di Indonesia mencapai 24% dari total PDB, atau senilai Rp 1,820 triliun per tahun. Ini merupakan biaya logistic tertinggi di dunia! Jumlah sebesar itu terbagi dalam tiga komponen: biaya transportasi Rp 1,092 triliun, biaya penyimpanan/gudang Rp 546 triliun, dan biaya administrasi Rp 182 triliun.

Sebagai perbandingan, terhadap PDB, biaya logistic di Malaysia hanya 15%, Amerika Serikat dan Jepang hanya 10%. Biaya penanganan container (container handling charge) juga paling tinggi di antara negara-negara Asia Tenggara. Bahkan, ongkosnyapun mesti dibayar dalam bentuk dolar AS.

Disinyalir oleh Ina Primiana, anggota Lembaga Pengkajian Peneliti dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia, untuk container 20 kaki di pelabuhan Tanjung Priok tarifnya US$ 95 (sekitar Rp 858 ribu), sementara di Malaysia hanya US$ 88 (sekitar Rp 795 ribu). Di Thailand US$ 63 (sekitar Rp 587 ribu). Di Malaysia dan Thailand ongkosnya bisa dibayarkan dengan mata uang setempat, tapi anehnya di Indonesia mesti pakai dolar AS.

Yang menarik tapi konyol juga, biaya pengapalan container domestic misalnya dari Padang, Sumatera Barat ke Jakarta mencapai US$ 600 (sekitar Rp 5,4 juta), sedangkan dari Singapura ke Jakarta hanya US$ 185 (sekitar Rp 1,6 juta).

***
Realitas geografi social ekonomi seperti inilah yang dialami para pemasar dan juga pengambil keputusan di pemerintahan. Memang kebijakan nasional mesti diambil di tingkat pusat. Tapi, lantaran kenyataan geografis social ekonomi negeri kepulauan seperti Nusantara ini, dibutuhkan kemampuan segmentasi wilayah beserta kepentingannya masing-masing secara lebih membumi. Pembacaan segmentasi realitas social dan relasinya dalam pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Kenyataan ketersebaran lokasi yang dipisah oleh laut telah membentuk ciri yang khas bagi Indonesia sebagai suatu Negara maritime yang juga sekaligus agraris.

Salah satu contoh kasus saja, adalah kebijakan pemerintah di bidang pemasaran/tata niaga gula nasional. Saat ini konsumsi gula per tahun di Indonesia adalah sebesar 5,2 juta ton. Sementara produksi gula domestic yang berasal dari panenan tebu petani local adalah 2,1 juta ton, sehingga terjadi deficit pasokan sebesar 3,1 juta ton! Dan deficit supply ini terutama dialami oleh daerah di kawasan timur Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan lain-lain) yang memang boleh dibilang tidak punya petani tebu dan pabrik gula. Sehingga tentu – dalam jangka pendek sampai menengah – pilihan solusinya adalah impor. Dan impor ini pun bisa dipilih dalam bentuk gula jadi atau gula mentah (yang masih perlu dirafinasi, atau dimurnikan lewat proses di pabrikasi local). Tentu, jika ingin mengoptimalisasi nilai tambah local, pemerintah seyogyanya memilih untuk mengimpor dalam bentuk gula mentah, yang proses rafinasi (rafined)-nya bisa memberi nilai tambah dalam bentuk local-man-hour yang dibayarkan bagi tenaga kerja kita, serta pajak yang dibayarkan oleh para pabrikan rafinasi. Namun anehnya, lewat kebijakan tata niaga gula (biasa disebut dengan SK Menperindag No. 527 tahun 2004) distribusi penjualan gula digebyah-uyah ke seluruh Indonesia bahwa gula rafinasi (yang notabene berkualitas lebih tinggi) tidak boleh didistribusikan ke konsumen langsung (termasuk di wilayah timur Indonesia yang jelas-jelas mengalami deficit pasokan). Sehingga akibat pasokan yang kurang, harga menjadi meroket. Jika harga rata-rata gula di Pulau Jawa sekitar Rp 9.000 – Rp 10.000, di kawasan timur Indonesia bisa sampai Rp 12.000 – Rp 15.000 per kg.

Fenomena social ekonomi seperti ini tentulah tidak mencerminkan keadilan social. Kita tahu bahwa PDB per kapita penduduk di Jawa tentu lebih tinggi dibanding saudara-saudaranya di kawasan timur, namun toh mereka di timur mesti berkorban lagi untuk membeli barang-barang kebutuhan pangan dengan harga yang lebih tinggi. Ini hanya salah satu contoh kasus, masih ada banyak sector kebijakan yang perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan kenyataan geografis-sosial-ekonomi negara kepulauan ini.

***

Memang ada kemungkinan bahwa keputusan yang bakal diambil tidaklah popular di mata sementara pihak untuk saat ini. Misalnya untuk kasus gula tadi, beberapa pemangku kepentingan (seperti para pedagang gula, sementara oknum yang mengatasnamakan para petani tebu, dan beberapa pihak di pabrik gula BUMN) akan berpandangan minor terhadap kebijakan yang bisa menerobos persoalan yang sudah kronis dan makin akut ini. Namun, justru di sinilah perlu tampilnya pemimpin model The Iron Lady Margaret Tatcher yang bisa dengan afirmatif mengatakan bahwa keputusan yang saya ambil barulah bisa disyukuri oleh generasi-generasi mendatang. Semoga []


Sumber :  Majalah Marketing, No. 03/XII, Maret 2012

INDONESIA, OBAMA, “JAMES BOND”


Oleh :  Garin Nugroho


Pada momentum Hari Pahlawan ini, ingatan saya justru lekat pada pidato kemenangan Obama. Pidato ini terasa sebagai representasi pemimpin pahlawan, yang mampu menggugah harapan kesejahteraan dalam ruang ikatan masyarakat pluralis. Saya mencatat empat nilai penting dari pidato Obama.

Pertama, ucapan Obama bahwa ia belajar dari rakyat pada periode pertama untuk menjadi pemimpin yang baik. Sebuah kerendahan hati sekaligus kerja demokratisasi membaca rakyat sebagai referensi kepemimpinan. Kedua, ucapan bahwa kekuatan bangsa tidak dari angkatan perang, tetapi dari ikatan berbangsa yang saling mendukung. Inilah ajakan proses pemecahan krisis lewat kebersamaan yang menjadi esensi kebangsaan.

Ketiga, semua warga saling menjaga cita-cita dan saling mendukung dalam fondasi keluarga-keluarga. Inilah sebuah penghormatan pada warga sebagai bangsa, yang menunjukkan bahwa cita-cita bangsa adalah taman sari cita-cita warga dan keluarga-keluarga. Inilah seruan Obama yang membawa dukungan kaum perempuan sebagai tonggak keluarga, yang menjadi kunci suara kemenangan Obama.

Keempat, ucapan dalam pidatonya tentang pahlawan-pahlawan yang tak menyerah dan bangsa yang hebat. Inilah ucapan untuk menumbuhkan demokratisasi produktif, yakni setiap warga adalah pahlawan bangsa yang ditumbuhkan atas kebanggaan hidup berbangsa.

Pidato Obama tersebut membawa saya mencoba membaca kepahlawanan dalam beragam perspektif. Yang paling menarik adalah pahlawan dalam perspektif budaya popular. Simak film James Bond yang sudah berusia 50 tahun. Film yang berhulu pada novel Ian Fleming ini, figurnya mengambil inspirasi dari intelejen angkatan laut sewaktu Perang Dunia I. Pada gilirannya, James Bond bukan hanya sekedar film, melainkan ikon sikap nasionalisme Inggris.

Atau simak film kartun Doraemon yang diciptakan oleh Fujiko F Fujio tahun 1969. Haruslah dicatat, Doraemon tahun 2008 ditahbiskan sebagai duta Jepang oleh Menteri Luar Negeri Jepang. Kantong Doraemon mencerminkan produktivitas teknologi Jepang menghasilkan teknologi praktis yang mampu memecahkan masalah-masalah hidup sehari-hari. Dengan kata lain, kepahlawanan senantiasa berkait dengan karakter serta cara berpikir, bereaksi, dan bertindak sebuah bangsa.

Di sisi lain, kepahlawanan sesungguhnya terus bertumbuh dalam beragam nilai dan bentuk sekaligus mengalami transformasi terus-menerus sesuai ruang dan waktu serta tuntutan situasi zaman. Maka, jangan heran, kepahlawanan juga menyangkut transformasi bahasa tubuh tokoh.

Simaklah, kemenangan SBY pada awal periodenya tidak lepas dari sosok tubuh SBY sekaligus wajah ganteng yang tertata bahasanya, yang pada periode tersebut digandrungi. Namun, ketika masyarakat merindukan kerja nyata dari politik pelayanan, bisa ditebak masyarakat mencari sosok tubuh yang berbeda. Yakni tubuh dan wajah yang merakyat, bahkan terkesan patut dikasihani ala Jokowi.

Oleh karena itu, di tengah inflasi politikus sekaligus inflasi produk-produk budaya popular, tetapi kekurangan dan kehilangan bentuk-bentuk beragam kepahlawanan, sederet pertanyaan muncul. Apakah kita kehilangan karakter berbangsa dengan nilai keutamaan, seperti pengorbanan, kepahlawanan, dan seterusnya? Apakah kita kehilangan ikatan saling mendukung? Apakah kita kehilangan panduan kepemimpinan? Apakah kita kehilangan kebanggaan menjadi Indonesia?


Sumber :  Kompas, 11 November 2012

THE COACHING LEADER


By :  Eileen Rachman & Sylvina Savitri (EXPERD)

Pemimpin seperti apa yang Anda kagumi?

Kita banyak mengagumi pemimpin karena  otaknya yang brilian, keahliannya berstrategi, pengambilan keputusan yang tepat, keberanian mengambil risiko atau kemampuan membawa perusahaan tumbuh besar.
Kita bisa melihat bahwa terkadang kesuksesan tidak berkorelasi dengan sikap pimpinan terhadap bawahannya. Steve Jobs, misalnya, melegenda lebih karena kekuatan inovasi, bukan kekuatan hubungannya dengan manusia. Ada bawahan yang bisa betah bertahun-tahun dalam organisasi yang dipimpin atasan yang tidak simpatik atau bahkan jelas-jelas suka mengadu domba. Keberhasilan mencetak laba dan melipatgandakan aset perusahaan memang masih menjadi indikator utama kehebatan seorang pimpinan, bahkan dijadikan ‘model’ manajemen yang dianggap ideal.

Sekarang, mari kita bayangkan bila di bawah para pemimpin keren ini ternyata tidak tumbuh calon pemimpin masa depan untuk menggantikannya.  Tidakkah kita dengan mudah melihat perusahaan segera akan mengalami krisis dan sulit mempertahankan pertumbuhan usahanya? Dalam situasi ini, masihkah kita menilai para pemimpin ini sebagai pemimpin yang efektif?

Dari tahun ke tahun, banyak survey dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apa karakteristik terpenting seorang leader”. Kita bisa melihat bahwa kriteria leader yang efektif tampaknya memang “bergerak” sesuai dengan tuntutan jaman. Hasil survey media sosial terkemuka, LinkedIn, mendapatkan hasil bahwa peringkat  tertinggi karakteristik terpenting leader adalah:

·         visi yang berimpact
·         kekuatan  memotivasi  dan inspiring
·         kemampuan mendengar
·         mengenal anak buah secara individual
·         dan kekuatan membela timnya & bertanggung jawab
·         pengetahuan teknis dan kemampuan menjaga keseimbangan ‘life skills’.

Bila persentase tindakan yang mengacu pada perhatian pada tim dan anak buah atau ‘coaching’ dijumlah, maka aspek-aspek tersebut bernilai sekitar 60 % dari kekuatan leadership. Ini berarti bahwa coaching adalah jantungnya leadership. Atau, dengan perkataan lain, visi yang bagus, jelas dan mengacu pada masa depan hanya bisa dicapai melalui ‘coaching’ intensif.

Pengembangan manusia, penguatan budaya, reputasi dan image perusahaan memang hal yang ‘intangible’.  Sampai hari ini pun mengukur laba jauh lebih mudah daripada mengukur ‘suasana kerja yang menyenangkan’.  Banyak orang masih senang memperdebatkan mengenai “Apa hubungannya suasana menyenangkan dengan laba perusahaan?”. “Benarkah sikap kerja produktif betul-betul bisa melipatgandakan produktivitas?”. Di sisi lain, kita bisa melihat ada calon karyawan mengundurkan diri dengan alasan, “Perusahaan itu suasananya tidak menyenangkan, atasannya sangat cuek.”. Meski susah diukur, kita tahu memang hal-hal intangible ini adalah aset yang nyata-nyata ada.

Itu sebabnya pemimpin ataupun organisasi yang berani memutuskan budget signifikan untuk menumbuhkan kepemimpinan, memperkuat leadership, maupun menyuburkan budaya positif di organisasinya bisa kita sebut punya visi masa depan yang jelas dan kuat.

Kebutuhan kita semakin jelas. Kita butuh membangun tempat kerja yang ‘hidup’, di mana pikiran, talenta  dan hati bersinergi satu sama lain. Kita butuh menyusun barisan yang bisa berespon terhadap perubahan yang tak terduga, dan berkecepatan seperti kilat ini. Kita tidak lagi bisa mengkontrol kekuatan pengambilan keputusan dari ‘kursi’ kita sendiri. Kalau bisa, seluruh karyawan dipersiapkan untuk berjaga-jaga dengan membentuk pemahaman, pengembangan dan kemampuan belajar yang tinggi, sehingga apapun perubahan, perusahaan bisa dengan fleksibel menanggulanginya.

Jadi, peran leader sebagai coach memang bukan lagi bersifat pilihan, tapi sudah bergeser menjadi keharusan. To be an effective leader, you must be an effective coach.”

Menggeser Fokus
Kita bisa melihat guru yang baik menjadi kepala sekolah, salesman top menjadi manajer, komputer programmer yang piawai kemudian menjadi team leader. Padahal tidak ada jaminan bahwa para profesional ini bisa mengakselerasi kinerja. Mereka bisa menggerakkan dirinya sendiri untuk berprestasi, tetapi bisakah menggerakkan orang lain dan timnya? Kompetensi teknis memang senantiasa menjadi jalan bagi individu untuk menapaki karier ke posisi leader. Namun, saat kita di posisi yang menuntut pengelolaan anak buah, kita perlu segera mengembangkan kemampuan interpersonal kita, seperti berkomunikasi, memberi masukan, mengajak, bersabar, mendengar, berkonfrontasi dan menanggulangi konflik. Kita juga belajar menyeimbangkan kekuatan kita dengan faktor-faktor eksternal seperti strategi, prioritas, dan hasil disamping ‘values’, sasaran, dan ‘self awareness. Pada saat inilah seseorang perlu melangkah lebih jauh dan mulai mempersiapkan kompetensi ‘coaching’ nya.

Pemimpin perlu sadar bahwa ia tidak lagi bisa hanya ribet dengan sasaran, image dan obsesi pribadinya, melainkan harus mulai membagi fokus pada hal-hal yang jauh di luar dirinya, termasuk kondisi anak buahnya, karena inilah yang pada akhirnya merupakan  kekuatan organsisasi. Tentu bukan hal yang salah untuk berfokus pada laba perusahaan dan harga saham, namun pemimpin perlu sadar bahwa peran untuk memonitor progres, perbaikan dan prestasi setiap individu dibawah pimpinannya adalah peran sentral dalam kepemimpinannya.  Bila seorang pemimpin sudah me’lepas’kan ke ‘aku’annya, barulah ia siap untuk meng-engage pikiran dan hati anak buah. Pada saat itulah dia perlu mempraktekkan kemampuan komunikasi tingkat tinggi, jago mendengar, bersabar, menunggu, dan merancang tugas-tugas progresif timnya, agar biasa menjadi pemenang. 

Memimpin Pemimpin
Seorang pemimpin yang kuat melakukan ‘coaching’ menyadari bahwa ia bukan melakukan hal itu sekedar karena hobi atau ‘passion’-nya. Kesadaran bahwa ia sedang mempersiapkan bawahannya menjadi pemimpinlah yang bisa memperkuat ‘power’-nya untuk melakukan ‘coaching. Ia harus sadar bahwa individu yang tengah ia bimbing adalah pemain-pemain tangguh yang dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang sulit diprediksi, penuh turbulensi, chaos, bukan sekedar perubahan normal. Respons-respons yang dilatih bukan sekedar melihat kebelakang, mengencangkan ikat pinggang saja, tetapi justru kekuatan menghadapi hal-hal eksternal seperti perubahan peraturan, kekuatan pelanggan dan perkembangan teknologi. Latihan  ketahanan , keberanian untuk menghadapi yang tidak terduga, keberanian untuk “tampil” perlu dibuatkan lahan  latihan. Seorang coach adalah “culture creator”, bukan “answer provider”. Hanya dengan adanya manusia berkualitas perusahaan bisa mempunyai nilai ‘sustainability’ tinggi. Dan, membangun manusia hanya bisa dilakukan melalui ‘coaching’ yang intensif.



Sumber :  Kompas, 20 Oktober 2012

Thursday, September 27, 2012

MENGANTISIPASI LIBERALISASI

LOGISTIK ASEAN


Sebagai bagian aktivitas ekonomi, logistik menjadi komponen penting bagi realisasi pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015. Untuk mencapainya, tahun depan liberalisasi industri logistik untuk kawasan ASEAN dimulai. Apakah Indonesia sudah siap dengan beragam konsekuensi dan menyiapkan langkah antisipasinya?

Dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), logistik masuk komponen bidang jasa, yang kesepakatannya ditandatangani anggota ASEAN tahun 1995 di Bangkok, Thailand. Liberalisasi logistik mencakup jasa kargo, pergudangan, agen transportasi, jasa kurir, dan jasa pengepakan barang.

Dalam konteks liberalisasi, setiap negara anggota ASEAN diminta menurunkan semua hambatan di bidang bisnis logistik. Hambatan tersebut meliputi pajak dan tarif sekaligus hambatan bersifat nontarif. Hambatan nontarif biasanya berupa ketentuan yang bersifat membatasi. Artinya, pelaku jasa logistik lokal dan asing harus diperlakukan sama.

Di antara negara-negara anggota ASEAN lain, potensi bisnis logistik di Indonesia dinilai paling tinggi. Sebagai negara kepulauan, kebutuhan logistik menjadi sangat tinggi. Ini ditambah dengan populasi 235 juta jiwa, yang sebagian besar membutuhkan jasa logistik. Tak heran jika Indonesia menjadi yang paling seksi sehingga dilirik banyak negara anggota ASEAN lainnya sebagai target pasar.

Lalu bagaimana kesiapan Indonesia? Bank Dunia mengumumkan Logistic Performance Index Indonesia tahun ini naik ke posisi ke-59 dari posisi ke-75 pada tahun 2010.Berdasarkan survei tersebut, peningkatan skor tertinggi terjadi pada indikator kompetensi jasa logistik (naik 0,38 poin) dan terendah terjadi pada pembenahan infrastruktur (nol). Untuk jasa logistik, pelakunya adalah swasta. Peran pemerintah minim.

Dari hasil survei nyata, pelaku industri logistik mulai berbenah. Mereka sadar pembenahan sangat diperlukan untuk bisa berkompetisi dengan pelaku bisnis asing. Persoalan terbesar justeru di sisi pemerintah. Pertama, dari aspek infrastruktur, Indonesia masih jauh tertinggal. Biaya logistikpun membengkak.

Kamar Dagang dan Industri Indonesia merilis biaya logistik di Indonesia mencapai 24 persen dari total produk domestik bruto atau Rp 1.820 triliun per tahun. Biaya tersebut terbagi dalam biaya penyimpanan Rp 546 triliun, biaya transportasi Rp 1.092 triliun, dan biaya administrasi Rp 182 triliun.

Nilai bisnis pengiriman logistik tahun ini diperkirakan Rp 50 miliar. Dari proyeksi itu, penguasaan perusahaan asing 60 persen atau Rp 30 miliar. Penguasaan oleh perusahaan asing karena mereka masih memiliki beberapa kelebihan dibandingkan perusahaan domestik, seperti pelayanan dan harga.

Tahun 2015 di depan mata. Apakah kita masih menunggu lagi untuk melakukan pembenahan? (Eny Prihtiyani).

Sumber :  Kompas, 27 September 2012

Thursday, August 30, 2012

NEW FORMAT FOR FUTURE ISO MANAGEMENT SYSTEM STANDARDS


by Stefan Tangen & Anne-Marie Warris on 18 July 2012

ISO has just completed work to provide identical structure, text and common terms and definitions for management system standards of the future. This will ensure consistency among future and revised management system standards and make integrated use simpler. It will also make the standards easier to read and, in so doing, be understood by users.

Three management system standards have already been published in this new harmon­ized format with another seven on the way. Both ISO 9001 and ISO 14001 will follow the new outline during their revision process.

Why
?
ISO has over the years published many management system standards for topics ranging from quality and environment to information security, business continuity management and records management. Despite sharing common elements, ISO management system standards come in many different shapes and structures. This, in turn, results in some confusion and difficulties at the implementation stage.

From theory to practice

All technical committees developing management system standards have to follow Annex SL in the new consolidated ISO Supplement. Annex SL harmonizes structure, text and terms and definitions, while leaving the standards developers with the flexibility to integrate their specific technical topics and requirements. Box 1 includes the high level structure and examples of definitions and identical text.

Box 1: Examples from the new Annex SL


High level structure:

o        Clause 1 - Scope
o        Clause 2 - Normative references
o        Clause 3 - Terms and definitions
o        Clause 4 - Context of the organization
o        Clause 5 - Leadership
o        Clause 6 - Planning
o        Clause 7 - Support
o        Clause 8 - Operation
o        Clause 9 - Performance evaluation
o        Clause 10 - Improvement

 

Example of identical definitions:

Organization, interested party, policy, objective, competence, conformity.

Example of identical text:

Top management shall ensure that the responsibilities and authorities for relevant roles are assigned and communicated within the organization.


New requirements

There are subtle language issues such as the change from document and records to documented information, to the use of IT and other tools to illustrate what is being done. The new text recognizes the use of the broad concept of risk and the need to understand risk in the context of the management system. It also encourages everyone to view preventive action as a broader concept than simply preventing an incident from re-occurring.

No challenge is too big

Any change represents challenges and opportunities. And this is no exception. Over the next few months, we will promote understanding of what this change means to avoid confusion and improve understanding among the affected technical committees, as well as among the users of the standards.

What next?

It will take a few years before all existing management system standards have been fully harmonized. However, there were an impressive number of standards that used the new format as it was being developed.
Two of ISOʼs flagship management system standards have launched their revision processes (ISO 9001 and ISO 14001) and both will use the new format for their revisions. Box 2 sets out the list of standards that have used the new approach.
The Joint Technical Coordination Group (JTCG) is responsible for the development of the document at the request of the ISO Technical Management Board (TMB). JTCG plans to collect information on user experience in 2012. It is available to answer any questions from standards writers, although users should initially ask their standards developing community.

Box 2: Current status of the harmonization

o        ISO 30301:2011, Information and documentation – Management systems for records – Requirements (Harmonized with Annex SL)
o        ISO 22301:2012, Societal security – Business continuity management systems – Requirements (Harmonized with Annex SL)
o        ISO 20121:2012, Event sustainability management systems – Requirements with guidance for use (Harmonized with Annex SL)
o        ISO 39001, Road-traffic safety (RTS) management systems – Requirements with guidance for use (Currently being prepared for FDIS ballot with publication scheduled for September 2012 and in line with Annex SL)
o        ISO/IEC 27001, Information technology – Security techniques – Information security management systems – Requirements (Revision is currently being prepared for DIS ballot with publication scheduled for 2013, and in line with Annex SL)
o        ISO 55001, Asset management – Requirements (Currently on CD ballot with publication scheduled for 2014 and in line with Annex SL)
o        ISO 16125, Fraud countermeasures and controls – Security management system – Requirements (Currently on CD ballot with publication scheduled for 2013, and in line with Annex SL)

The following MSS were published before the TMB decision and no decision on revision has been taken
o        ISO 22000:2005, Food safety management systems – Requirements for any organization in the food chain
o        ISO 28000:2007, Specification for security management systems for the supply chain
o        ISO 30000:2009, Ships and marine technology – Ship recycling management systems – Specifications for management systems for safe and environmentally sound ship recycling facilities
o        ISO/IEC 20000-1:2011, Information technology – Service management – Part 1: Service management system requirements
o        ISO 50001:2011, Energy management systems – Requirements with guidance for use


About the authors


Dr. Anne-Marie Warris
Chair of JTCG and Chair of ISO/TC 207, Environmental management, SC 1, Environmental management systems
Dr. Anne-Marie Warris, with 12 years of experience in standardization, is the Chair of Joint Technical Coordination Group (JTCG), and Chair of ISO technical committee ISO/TC 207, Environmental management, subcommittee SC 1,Environmental management systems. Dr. Warris is responsible for ensuring that Lloydʼs Register Marine Division listens to, and supports, relevant stakeholders in the environmental arena. She is a chartered engineer and chartered environmentalist through The Energy Institute. Dr. Warris holds an MBA from London Business School, a PhD in Combustion from Imperial College, London.

Dr. Stefan Tangen
Secretary of JTCG and Secretary of ISO/TC 223,Societal security
Dr. Stefan Tangen is the Secretary of JTCG and has been involved in standardization for seven years. He is also the Secretary of ISO/TC 223, Societal security, and works as a project manager at SIS, Swedish Standards Institute. Dr. Tangen holds a PhD in Production Engineering.


ISO 9001 - THE REVISION PROCESS COMMENCES


In March 2012, ISO members voted to revise the ISO 9001:2008 standard and, at the invitation of SPRI (the Basque Government Society for Innovation), held their first meeting in Bilbao, Spain during the week of 18 to 22 June 2012.

Bilbao is a city which symbolises renewal and it is a very appropriate origin in the journey to revise ISO’s most popular standard. Symbolic of this renewal is the Guggenheim Museum (1997) and the Iberodrola Tower (2011); both associated with famous architects, Frank Gehry and César Pelli.

What are the architects of ISO 9001:2015 planning?


ISO standards are balloted for reveiw every five years – not because the committee wants to perpetuate
itself, but to ensure that the standard is maintained as relevant and contemporary. The last revision to ISO 9001 (in 2008) was not regarded as a significant change and most of the changes were seen as “editorial”; many of the changes made then were to aid translation and to make it more readable (the change in clause 8.3, non-conforming product was a good example of this).

There is a very significant reason for revision ISO 9001 and this has been caused by the publication of Annex SL in the ISO/IEC Directive Part 1 (see page 3). This rather dull sounding publication from 2011 is very significant as it contains the template for a management system standard. All ISO management system committees are now required to reorganise the clauses to suit the template.

ISO 14001, which is also under revision, has already a six month start on ISO 9001 and has been re-organising the familiar clauses 4.1 to 4.6 into the new framework. So the first change to anticipate is that the 2015 version of ISO 9001 will be structured differently and, further, the text will change as the template text, considered to be generic for any management system standard, must be maintained unless special permission is obtained from the ISO Secretariat. It is not expected that permission will be granted lightly and only standards such as ISO 13485 (Medical Devices) will be given dispensation - in this case because ISO 13485 does not have a requirement for continual improvement.

The meeting in Bilbao did not draft a single word of a proposed ISO 9001:2015. The committee met to draft the design specification (new work item proposal) for the new standard. This is a very important document as it establishes the boundaries for the revision as well as the timeframe for the various approval stages from WD (Working Draft), to CD (Committee Draft), to DIS (Draft International Standard) to FDIS (Final Draft International Standard). Each issue from CD is translated to the main ISO languages (French and Russian) and a standard period is allowed for this translation; it is this translation time, as well as voting / comment periods, that accounts for most of the time taken to revise a standard.

This November in St. Petersburg, when the group next meets, it is hoped that the design specification will be approved and the drafting team can start the process of putting revised words on paper.

If you took part in the ISO survey, your comments are being reviewed in depth (the early results did not
include comments in foreign languages and did not look at additional comments which were not part of the “survey monkey” menu). Progressive Certification are taking part in this review and, if you have any  additional comments, please forward to us so that we can include in our national position which will be  ubmitted prior to the next meeting.

Source :  www.progressive-cert.com/

Wednesday, August 8, 2012

SEMESTER PERTAMA EKONOMI TUMBUH 6,3 PERSEN


Senin, 6 Agustus 2012 11:48:35
Reporter: Harwanto Bimo Pratomo



Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 6,3 persen. Dengan produk domestik bruto yang tumbuh mencapai 6,4 persen . Dengan nilai sebesar Rp 650,6 triliun atas dasar harga konstan dan Rp 2.050,1 triliun atas dasar harga berlaku.

Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin mengatakan dibanding triwulan pertama terjadi kenaikan 2,8 persen. Pertumbuhan didorong industri manufaktur besar dan sedang yang mengalami kenaikan 3,94 persen, kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 1,97 juta orang naik 3,61 atau 4,77 secara year on year.

"Kenaikan juga didorong percepatan belanja pemerintah termasuk belanja modal mencapai Rp 384,5 triliun melampaui triwulan pertama Rp 244,9 triliun dan Impor barang modal yang besar sehingga meningkatkan investasi dalam negeri," ujarnya di kantor BPS, Jakarta, Senin (6/8).

Selain itu, kata Suryamin, peningkatan didorong realisasi penanaman modal dalam dan luar negeri selama triwulan kedua naik 8 persen secara kuartal atau 24 persen secara year on year. "Namun, terjadi perlambatan ekonomi global sehingga nilai ekspor turun," ungkapnya.

Dia menegaskan tingginya tinggi impor didorong impor barang modal dan bahan baku. "Impor ini mempunyai dampak ke sektor lain yang menggunakan barang ini untuk proses produksi terlihat di peningkatan sektor industri, pertambangan," ujarnya.

BPS mencatat naiknya konsumsi rumah tangga didorong oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan kredit konsumsi dan peningkatan konsumsi barang rumah tangga, serta meningkatnya dana bantuan sosial dari pemerintah."Konsumsi rumah tangga tumbuh 5 persen," katanya.


Wednesday, July 18, 2012

SOAL MIDDLE CLASS (INCOME) TRAP


Oleh : H. Sutan Zaili Asril
Wartawan Senior
RAMAI soal jebakan kelas me­ne­ngah (middle class income trap) Indonesia muncul se­telah Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pem­bangu­nan Asia (Asian Development Bank) merilis bahwa terjadi pe­ning­katan spektakuler kelas mene­ngah Indonesia dalam sepuluh tahun ter­akhir. Senapas, ramai perdebatan ten­tang apa arti/makna dari muncul ke­las menengah Indonesia secara men­colok tersebut, dan Indonesia ha­rus mewaspadai jebakan kelas me­ne­ngah, terutama karena mayo­ritas dari kelas menengah tersebut dapat jatuh kembali ke kelompok kelas bawah (miskin).

Perkara jebakan kelompok kelas me­nengah Indonesia menjadi materi ku­­liah umum Menteri Badan Usaha Mi­lik Negara (BUMN) Dahlan Iskan yang digelar Pemprov Sumatera Ba­rat di auditorium Gubernuran, Ming­gu (6/7). Bahwa kemunculan kelom­pok kelas menengah Indonesia da­lam jumlah sangat besar, sebe­tulnya po­sitif. Tapi sebaliknya, menim­bul­kan jebakan-jebakan yang mere­pot­kan pemerintah dan mena­han gerak Indonesia menjadi negara maju. Dah­l­an menyebutkan sejumlah kele­ma­han kalangan kelas menengah Indonesia yang merepotkan, antara lain menyebabkan/menahan laju Indonesia menjadi negara maju.

Ia mencontohkan, kelas mene­ngah di lingkungan birokrasi peme­rin­tah—termasuk di ling­kungan BUMN—cenderung birokratis. Biro­krasi diharapkan me­lan­car­kan, responsif/mem­perce­pat proses, tidak mem­bebani/mengenakan biaya tinggi, h­a­rus efisien, dan seterusnya. Contoh praktik birokrasi yang kurang responsif: kini orang Pa­pua makan nasi walau se­mula makan sagu. Ada banyak po­hon sagu, tapi tidak diba­ngun pabrik sagu. Di Papua har­ga gula amat mahal—kare­na manajemen pelabuhan ma­sih membebani—ada 1.000-an ha kebun tebu, tapi tidak diba­ngun pabrik gula. Praktik di pelabuhan harus diter­tibkan, baik manajemen dan biaya mahal. Kapasitas sandar masih kecil harus diting­katkan.

SIAPA yang disebut kelas menengah Indonesia? Kelom­pok kelas menengah Indonesia le­bih dinisbahkan pada pe­ning­­katan pendapatan dan atau besaran belanja per hari ke­lompok kelas dari mene­ngah (middle class income) yang dirilis Bank Dunia dan ADB. Data ADB antara lain me­­­nye­butkan, kelompok me­ne­ngah Indonesia mening­kat da­lam 10 tahun, dari 45 juta orang pada 1999 menjadi 93 juta orang pada 2009—jumlah ke­las me­n­e­ngah-ba­wah­nya men­jadi 74 per­sen. Jadi, tiap tahun ke­lom­pok kelas me­nengah Indo­nesia bertambah 7 juta orang.

Data Bank Dunia menye­but­kan, jumlah kelas mene­ngah Indonesia mening­kat dari 81 juta jiwa (37,7 persen) pa­da tahun 2003 menjadi 131 juta jiwa pada 2010 (56,5 per­sen). Definisi Bank Dunia me­nyebut kelas menengah adalah pen­duduk dengan penge­lua­ran USD 2 sampai USD 20 atau Rp 19.000 sampai Rp 190.000/hari (asumsi satu dolar Rp 9.500). Berdasar data Bank Dunia, jumlah kelompok ke­las menengah Indonesia me­ning­kat 7 juta/tahun dalam 10 ta­hun terakhir. Sayang, ke­las me­­nengah Indonesia di­domi­na­si mereka yang bera­da di tingkat pengeluaran USD 2-6 per hari (Rp 19.000-Rp 57.000/hari) yang sangat de­kat dengan kelas bawah (mis­kin).

Kelompok berpendapatan (berbelanja) kelas menengah tersebut masih dibagi lagi be­be­rapa bagian, yaitu pe­nge­luaran harian pada seki­tar USD 2-4 sebanyak 38,5 persen (yang sangat dominan), yang pengeluaran harian pada seki­tar USD 4-USD 6 sebesar 11,7 persen, yang pengeluaran ha­rian sekitar USD 6-USD 10 se­be­sar 5 persen, dan pe­nge­lua­ran harian pada seki­tar USD 10-20 sebesar 1,3 persen. Dan, je­bakan yang dimaksud adalah k­e­lompok menengah bawah de­ngan pengeluaran USD 2-4/hari sewaktu-waktu dapat kem­bali jatuh menjadi kelom­pok bawah atau miskin bila­ma­na perekonomian Indonesia relatif stagnan/tidak ber­tum­buh baik.

Dalam laporan medio 2010, ADB mengukur jumlah/besaran kelas menengah di Asia—termasuk kelas me­ne­ngah Indoneia—ber­dasarkan ting­kat penge­luaran 2-20 dollar AS/kapita/hari. ADB juga masih membagi kelompok kelas menengah ke dalam ke­lompok kelas menengah-ba­wah, kelompok kelas mene­ngah-tengah, dan kelom­pok ke­las menengah-atas. Kelas me­n­engah-bawah berpe­nge­luaran 2-4 dolar AS (pada sekitar Rp 540.000-Rp 1,1 juta per orang/bulan atau Rp 2,16 juta-Rp 4,4 juta per keluarga de­ngan 4 anggota); kelas me­ne­ngah-tengah 4-10 dolar AS (Rp 1,1 juta-Rp 2,7 juta/orang/bulan); dan kelas menengah-atas 10-20 dolar AS (Rp 2,7 juta-Rp 5,4 juta/orang/bulan).

DALAM buku ADB, Diagnosing the Indonesian Eco­nomy: Toward Inclusive and Green Growth, diluncurkan di Jakarta, Senin (26/3), antara lain disebutkan Indonesia per­lu mengembangkan sektor ma­nufaktur, jasa, dan per­ta­nian, untuk me­ningkatkan la­pa­ngan kerja dan me­ngurangi ke­miskinan. Seka­lipun eko­nomi Indonesia telah men­jadi salah satu yang menunjukkan performa terbaik di kawasan da­lam beberapa tahun bela­ka­ngan, Indonesia masih ha­rus meng­hadapi sejumlah tanta­ngan di dalam mencapai taha­pan ekonomi negara ber­pen­da­patan menengah-atas.
Buku ADB antara lain fo­kus pada penjelasan tentang tantangan Indonesia dalam men­transformasi industri mem­­perbaiki berbagai keku­ra­ngan dalam infrastruktur, mengembangkan sumber daya ma­nusia (SDM), dan me­m­per­kuat pemerintahan daerah (pro­vinsi dan kabupaten/ko­ta). Dikatakan, Indonesia tidak bisa bertahan pada kondisi per­ekonomian saat ini seka­li­pun cukup baik dengan per­tum­buhan ekonomi rata-rata sebesar 5,9 persen dalam lima tahun terakhir.

ADB melihat kesalahan Indonesia melakukan perubahan yang bisa membuat terjebak da­lam jebakan kelas mene­ngah (a middle income trap). Kon­disi negara di mana ekono­mi kelas menengah tidak lagi bisa bersaing dengan negara ber­penghasilan rendah/ba­wah, yang masih buruk da­lam hal SDM, teknologi, dan infra­struk­tur, sehingga sulit bagi ne­gara untuk mencapai status/ta­hap negara berpenghasilan ting­gi/atas—tantangan Indo­ne­sia melompat menjadi ne­gara maju (istilah yang digu­na­kan Menteri BUMN Dahlan Iskan).

Menurut Menteri Peren­canaan Pembangunan Nasio­nal, Armida Alisjahbana, Indonesia perlu tolok ukur buat mengakselerasi perkem­ba­ngan infrastruktur, pengua­tan kelembagaan, peningkatan in­vestasi swasta, mengatasi ke­takseimbangan geografis da­lam meningkatkan lapangan ker­ja dan kesempatan pendi­di­kan. Buku ADB disebut mem­­beri kontribusi atau sum­ber pengetahuan bagi pembuat ke­­­bijakan, akademisi mem­pe­la­jari perkembangan/eko­no­mi, dan masyarakat me­maha­mi hambatan dihadapi negara menuju visi Indonesia yang maju/sejahtera. Pemerintah meng­klaim ekonomi RI terbe­sar ke-16 di dunia dan produk domestik bruto (PDB) 3.000 dolar AS per kapita. Tahun 2012, target pertumbuhan ekonomi 6,4 persen, meski dibayangi inflasi relatif tinggi.

KELOMPOK kelas mene­ngah Indonesia, sesung­guhnya da­lam perdebatan, baik dalam kri­teria digunakan maupun fe­nomena kelas menengah sen­diri. Dalam tulisan ini, kita ti­dak perlu memasuki per­gu­la­tan/perdebatan Marx de­ngan Weber, misalnya. Pers­pektif Karl Heinrich Marx (1818-1883) hanya percaya dua kelas yang saling bertentangan: kaum borjuis/capital atau kaum pemilik modal dengan kaum buruh atau proletar/working class. Maximilian Weber (1864-1920) menga­ta­kan, kelas menengah tak ha­rus/per­lu diukur melalui ke­pem­i­likan faktor produksi (ka­pital). Ukuran digunakan bisa gabu­ngan pendapatan, pen­didikan, status sosial—semua hal bisa di­kuantifikasi. Meng­gu­nakan da­ta statistik, dilihat dari pen­dapatan berada antara ke­lompok pendapatan kaya dan di bawah garis kemis­kinan.

Barington More menyebut peran kelas menengah dalam sejarah demokrasi di banyak ne­gara mengajukan tiga rumus be­n­tuk negara. Pertama, kelas atas ditambah kelas bawah meng­hasilkan pemerintahan se­perti pemerintah komunis Uni Soviet. Kedua, kelas atas di­tambah kelas menengah yang berkuasa, maka peme­rintah fasis yang dihasilkan seperti Jerman dan Jepang. Ketiga, jika gabungan kelas menengah dan kelas bawah, yang muncul pemerintahan demokrasi seperti Inggris, Perancis, dan AS. Barrington hanya sampai rumusan pembentukan demokrasi.

Penjelasan detail dibuat Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin. Le­nin merujuk Marx, bahwa re­volusi akan terjadi jika pe­nin­dasan terhadap buruh se­ca­ra masif, dan buruh me­la­wan untuk revolusi. Hipotesis ini tidak terjadi, karena bagi Lenin ala­san kelas buruh tidak mela­wan karena tidak ada yang memberitahu.

Di Indonesia, kalau ada go­longan kelas menengah yang bercirikan independent thinkers, jumlahnya sangat sedikit. Per­nah organisasi bernama Se­rikat Mahasiswa untuk De­mokrasi (SMID) pada tahun 1990-an, lalu bermetamorfosis men­jadi Partai Rakyat Demo­kratik (PRD). Sebagian besar tak meminati politik/tak pe­duli pada kondisi bangsa dan ne­garanya. Mereka bahkan cen­derung fatalistis. Kaum ke­las menengah Indonesia le­bih berorientasi pada diri sen­diri. Apalagi menghadapi ke­las bawah yang kadang ber­pikir fatalistik—nrimo. Ciri mereka lebih menonjol pada: berbe­lanja di mal/konsumtif—bah­kan memaksakan diri, berse­nang-senang dan libur (bah­kan) ke luar negeri, aktivis sosial/sibuk di jejaring sosial, ti­dak malu menikmati fasilitas sub­sidi pemerintah/mau laya­nan harga murah, dan me­nuntut kebutuhan mereka dipenuhi.

Yang diperdebatkan ten­tang kelas menengah Indonesia, adalah tentang fenomena ke­las menengah itu tidak men­cerminkan perspektif Max Weber, misalnya. Kelompok ke­las menengah Indonesia s­e­cara pendapatan/belanja me­mang masuk dalam kate­gori kelas menengah—walaupun kelompok terbesar adalah ke­lompok kelas menengah ba­wah yang sewaktu-waktu da­pat (kembali) jatuh ke ke­lom­pok miskin, tapi, tidak meme­nuhi berbagai kriteria po­kok lain. Yaitu tentang golo­n­gan yang berpikir inde­penden (independent thinkers) dan atau kepedulian pada bangsa/nega­ranya. Justru, sebagian besar go­longan kelas menengah In­do­nesia apolitik dan lebih berorientasi pada diri mereka sendiri.

Golongan yang berpen­da­patan di atas kelom­pok mis­kin ini, antara lain kala­ngan profe­sional bekerja di sektor jasa dan sektor pro­duksi swas­ta dan peme­rintah (pe­gawai ne­ga­ra/peme­rintah—juga BUMN dan legislatif), kala­ngan profesional—juga bidang pendidikan (guru dan dosen), dan pengusaha usaha kecil-mikro. Artinya, sebagian besar ke­las menengah belum mam­pu menciptakan pem­bentukan atau pemukulan modal dan da­lam mengakses teknologi mo­­dern. Kelas menengah-te­ngah dan ataslah yang dapat hi­dup di atas garis subsistem, bahkan mereka menabung dan mem­beli barang di luar kebu­tuhan dasar. (*)