Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Wednesday, March 25, 2015

MENGURANGI RESIKO PENGIRIMAN UDARA

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pengiriman cargo lewat udara (airfreight) lebih beresiko ketimbang via laut (seafreight). Resiko dimaksud pada umumnya adalah terkait dengan masalah tagihan yang tidak saja menunggak lama (long overdue) tapi juga tagihan yang bahkan tidak dibayar/diundur pembayarannya oleh shipper lantaran berbagai sebab. Meskipun hal ini kelihatannya “jamak” di dunia freight forwarder, tapi nyatanya hal ini sangat mengganggu “cash flow” di sisi keuangan. Kejamakan yang dimaksudkan dalam bisnis freight forwarder adalah bahwa ciri khas sebuah freight forwarder adalah memberikan fasilitas tempo pembayaran (credit term). Padahal, setiap pengiriman udara pembayaran kepada penerbangan haruslah tunai (cash against documents).

Identifikasi Resiko
Dari sisi teknis pelaksanaan pengiriman terdapat beberapa pihak yang terkait dalam suatu “rantai” yang memungkinkan suatu resiko bisa dialihkan. Selain maskapai penerbangan (airline), terdapat cargo agent yang biasanya adalah freight forwarder serta “sub-agent” yang biasanya juga sebuah freight forwarder. Agent dan sub-agent ini, yang adalah forwarder, biasanya memberikan fasilitas tempo pembayaran dengan harga sedikit di atas dibanding ke penerbangan langsung.

Di sisi pengirim barang, selain pengirim sesungguhnya (ultimate shipper) terdapat juga forwarder lain yang mengirim lewat kita. Mengapa sesama forwarder kok saling meng-coload? Di sinilah, langkah pengidentifikasian resiko itu berlangsung. Wujudnya adalah bahwa si shipper mencari coloader yang memiliki overseas network agent yang baik yang memungkinkan kendali tetap di tangan, semacam meng-hold cargo sampai pembayaran lunas oleh shipper dan sebagainya.

Secara umum, kenapa pengiriman udara beresiko, antara lain adalah karena hal-hal berikut :
a.      waktu tempuh pengiriman udara relative cepat (dalam hitungan jam biasanya).
b.     pembayaran ke vendor sesuai praktek adalah cash, sedangkan tagihan ke shipper biasanya tempo.
c.      release barang di tujuan, sesuai sifat modanya, adalah cepat.
d.     dokumentasi pengiriman memungkinkan barang dirilis tanpa perlu original dokumen.
e.  dengan waktu tempuh yang cepat pemenuhan persyaratan (requirement) baik terhadap barang (packing dsb.) maupun regulasi (perijinan dsb.) harus terpenuhi dan akurat sebelum barang berangkat.

Knowing Your Customer
Dalam rangka berjaga-jaga terhadap resiko buruk atas pengiriman barang penyampaian “pepeling” tersebut selalu saja actual. Teringat pemberitaan media tentang “pemenang tender UPS Pemda DKI” ternyata adalah sebuah gudang atau tempat service kulkas dan sebagainya, mestinya dapat dijadikan pelajaran dan analogi bahwa kitapun suatu saat dapat “dikadali” manakala kita menerima order. Berkunjung adalah cara yang paling pas untuk tidak saja berkenalan langsung dengan shipper tapi juga mengobservasi apakah calon customer ini pantas untuk dilayani. Dalam pemahaman perbankan malah ada istilah 5C (singkatan dari character, capacity, collateral, capital dan condition), sebagai sebuah prasyarat sebelum kredit diberikan.

Straight Document, ciri Dokumentasi Airfreight
Menahan (hold) dokumen biasanya cara ampuh agar permasalahan dengan shipper, semisal pembayaran, dapat terselesaikan. Tapi apakah mungkin dengan karakter pengiriman sebagaimana disebutkan di atas? Di atas sekilas dijelaskan bahwa selain ke penerbangan langsung, kita juga bisa bermitra dengan co-loader yang memiliki overseas network yang bagus. Dan, jangan lupa syarat yang kedua adalah bahwa mereka menerbitkan House Air Waybill (HAWB) yang nanti dipakai sebagai “filter” manakala kita harus menginstruksikan untuk meng-hold cargo.

Catatan :  meng-hold cargo ini sebenarnya tindakan tidak fair karena jika di HAWB tertulis “freight prepaid”, maka asumsinya adalah bahwa freight sudah dibayar lunas. Cara lain yang memungkinkan untuk dicantumkan dalam HAWB adalah “freight prepaid as arranged”, meskipun ini menyiratkan sesuatu yang ambigu.

Pemahaman tentang “straight documents” adalah kebalikan dari “to order documents”. Pada straight documents, penerima barang di tujuan adalah yang nyata-nyata tertulis di kolom consignee dalam Airwaybill. Sebaliknya, pada “to order documents”, siapapun yang “memiliki order” atau “berkepentingan atas order” bisa melakukan kewenangannya atas barang dan/atau dokumen.

Lantas apa kaitannya dengan pengurangan resiko atas pengiriman?

Direct Master Air Waybill
Berikut dicontohkan Air Waybill yang diterbitkan oleh airline (Eva Air) atas pengiriman suku cadang pesawat dari PT Worthmore Estelia Int’l, Jakarta ke penerima Unical Aviation, California yang dilaksanakan oleh kita (Internusa, 28 Maret 2014). AWB diterbitkan langsung penerbangan, dan oleh karenanya biasa disebut “direct master AWB”.


Pengiriman yang dicover dengan AWB di atas akan otomatis direlease langsung kepada penerima (consignee) yang tertulis di sana tanpa harus menunjukkan yang asli (original documents). Barang bisa direlease tanpa original documents, tanpa kompromi!

House Air Waybill (HAWB)
Coba bandingkan dengan coverage pengiriman yang menggunakan HAWB di bawah ini!

Pada saat pesawat berangkat, maka HAWB diterbitkan untuk shipper yang nantinya dikirim ke penerima (consignee) di tujuan untuk release barang. Pada saat yang sama, kita menerima MAWB dari penerbangan yang nantinya bersamaan dengan HAWB dikirim ke Agent di tujuan untuk keperluan dekonsolidasi (unstuffing) dan release barang. Dengan MAWB di tangan, maka kita “berkuasa” atas barang, atau dengan kata lain transfer tanggung jawab/kepemilikan barang “masih” ada pada kita.

Saat ada masalah, kita tinggal menginstruksikan Agent di tujuan untuk meng-hold barang sebagaimana disebut di atas.


Jadi, dari sisi dokumentasi ada 2 cara agar kita tetap pada posisi mengendalikan pengiriman sehingga resiko dapat dikurangi yaitu :
1.  Menerbitkan HAWB, dengan catatan kita punya Agent untuk destinasi yang dituju, dan
2.  Melakukan co-load dengan forwarder yang overseas agent-nya bagus, dan mintakan HAWB kepadanya.

Dalam kaitan inilah, apa yang diistilahkan bahwa kita bertindak sebagai “Principal” atas shipment tersebut, dan penerbitan HAWB (seperti halnya penerbitan HB/L) inilah yang merupakan ciri khas freight forwarder jika dibandingkan dengan Carrier (penerbangan atau pelayaran). Ada ruang antara dokumen HAWB/HBL dengan MAWB/MBL di mana bisnis freight forwarding ini senantiasa dibutuhkan oleh dunia usaha di dalamnya.

Manajemen Resiko
Mengacu pada kebijakan kepabeanan belasan tahun yang lalu yang sudah menerapkan manajemen resiko dengan cara menerapkan kebijakan penjaluran (terdiri dari jalur MITA-pri, MITA-nonpri, merah, kuning dan hijau), kita semestinya juga sudah mulai mengadopsi manajemen resiko ini. Sejalan dengan seabreg permasalahan, resiko yang dihadapi sebuah freight forwarder tidak kalah banyaknya. Mulai dari SDM, operasional, kompetisi, business fraud, dan seabreg hal lainnya. Mengelola resiko sama saja dengan berjaga-jaga agar kejadian buruk tidak menimpa atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir sehingga ada pada tingkat yang di dalamnya telah ada “upaya” untuk mencegahnya.

Berkaitan dengan manajemen resiko ini, ISO (organisasi standarisasi internasional) pada tahun ini menerbitkan Standar ISO 9001 versi tahun 2015 (ISO 9001:2015) yang memasukkan pengidentifikasian aspek resiko yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang disertifikasi standar ini. Sebuah informasi yang bukanlah suatu kebetulan bahwa resiko-resiko yang ada harus diidentifikasi, disadari, dikelola, dan dihitung untung ruginya. Apalagi FIATA (federasi forwarder dunia) dan ALFI (asosiasi logistic forwarder indonesia) juga telah lama merekomendasikan agar setiap membernya disertifikasi ISO 9001 ini.

Semoga dapat dijadikan wawasan dan bahan pembelajaran sekaligus sebagai bahan koreksi dan tindakan pencegahan dari beberapa kasus yang secara riil kita hadapi yang diharapkan di kemudian hari tidak lagi terjadi.



Jakarta, 11 Maret 2015
Jaeroni Setyadhi

No comments: