Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pengiriman cargo lewat udara
(airfreight) lebih beresiko ketimbang via laut (seafreight).
Resiko dimaksud pada umumnya adalah terkait dengan masalah tagihan yang tidak
saja menunggak lama (long overdue) tapi juga tagihan yang bahkan tidak
dibayar/diundur pembayarannya oleh shipper lantaran berbagai sebab.
Meskipun hal ini kelihatannya “jamak” di dunia freight forwarder, tapi nyatanya
hal ini sangat mengganggu “cash flow” di sisi keuangan. Kejamakan yang
dimaksudkan dalam bisnis freight forwarder adalah bahwa ciri khas sebuah
freight forwarder adalah memberikan fasilitas tempo pembayaran (credit term).
Padahal, setiap pengiriman udara pembayaran kepada penerbangan haruslah tunai (cash
against documents).
Identifikasi Resiko
Dari sisi teknis pelaksanaan pengiriman terdapat beberapa pihak
yang terkait dalam suatu “rantai” yang memungkinkan suatu resiko bisa
dialihkan. Selain maskapai penerbangan (airline), terdapat cargo
agent yang biasanya adalah freight forwarder serta “sub-agent” yang
biasanya juga sebuah freight forwarder. Agent dan sub-agent ini, yang adalah
forwarder, biasanya memberikan fasilitas tempo pembayaran dengan harga sedikit
di atas dibanding ke penerbangan langsung.
Di sisi pengirim barang, selain pengirim sesungguhnya (ultimate
shipper) terdapat juga forwarder lain yang mengirim lewat kita. Mengapa
sesama forwarder kok saling meng-coload? Di sinilah, langkah
pengidentifikasian resiko itu berlangsung. Wujudnya adalah bahwa si shipper
mencari coloader yang memiliki overseas network agent yang baik
yang memungkinkan kendali tetap di tangan, semacam meng-hold cargo
sampai pembayaran lunas oleh shipper dan sebagainya.
Secara umum, kenapa pengiriman udara beresiko, antara lain adalah
karena hal-hal berikut :
a. waktu tempuh pengiriman udara relative cepat (dalam hitungan jam
biasanya).
b. pembayaran ke vendor sesuai praktek adalah cash, sedangkan
tagihan ke shipper biasanya tempo.
c. release barang di tujuan, sesuai sifat modanya, adalah cepat.
d. dokumentasi pengiriman memungkinkan barang dirilis tanpa perlu
original dokumen.
e. dengan waktu tempuh yang cepat pemenuhan persyaratan (requirement)
baik terhadap barang (packing dsb.) maupun regulasi (perijinan dsb.)
harus terpenuhi dan akurat sebelum barang berangkat.
Knowing Your Customer
Dalam rangka berjaga-jaga terhadap resiko buruk atas pengiriman
barang penyampaian “pepeling” tersebut selalu saja actual. Teringat
pemberitaan media tentang “pemenang tender UPS Pemda DKI” ternyata adalah
sebuah gudang atau tempat service kulkas dan sebagainya, mestinya dapat
dijadikan pelajaran dan analogi bahwa kitapun suatu saat dapat “dikadali”
manakala kita menerima order. Berkunjung adalah cara yang paling pas untuk
tidak saja berkenalan langsung dengan shipper tapi juga mengobservasi
apakah calon customer ini pantas untuk dilayani. Dalam pemahaman perbankan
malah ada istilah 5C (singkatan dari character, capacity,
collateral, capital dan condition), sebagai sebuah
prasyarat sebelum kredit diberikan.
Straight Document, ciri Dokumentasi
Airfreight
Menahan (hold) dokumen biasanya cara ampuh agar permasalahan
dengan shipper, semisal pembayaran, dapat terselesaikan. Tapi apakah
mungkin dengan karakter pengiriman sebagaimana disebutkan di atas? Di atas
sekilas dijelaskan bahwa selain ke penerbangan langsung, kita juga bisa
bermitra dengan co-loader yang memiliki overseas network yang
bagus. Dan, jangan lupa syarat yang kedua adalah bahwa mereka menerbitkan House
Air Waybill (HAWB) yang nanti dipakai sebagai “filter” manakala kita
harus menginstruksikan untuk meng-hold cargo.
Catatan : meng-hold cargo
ini sebenarnya tindakan tidak fair karena jika di HAWB tertulis “freight
prepaid”, maka asumsinya adalah bahwa freight sudah dibayar lunas.
Cara lain yang memungkinkan untuk dicantumkan dalam HAWB adalah “freight
prepaid as arranged”, meskipun ini menyiratkan sesuatu yang ambigu.
Pemahaman tentang “straight documents” adalah kebalikan dari
“to order documents”. Pada straight documents, penerima barang di
tujuan adalah yang nyata-nyata tertulis di kolom consignee dalam Airwaybill.
Sebaliknya, pada “to order documents”, siapapun yang “memiliki order”
atau “berkepentingan atas order” bisa melakukan kewenangannya atas barang
dan/atau dokumen.
Lantas apa kaitannya dengan pengurangan resiko atas pengiriman?
Direct Master Air Waybill
Berikut dicontohkan Air Waybill yang diterbitkan
oleh airline (Eva Air) atas pengiriman suku cadang pesawat dari PT Worthmore
Estelia Int’l, Jakarta ke penerima Unical Aviation, California yang
dilaksanakan oleh kita (Internusa, 28 Maret 2014). AWB diterbitkan langsung
penerbangan, dan oleh karenanya biasa disebut “direct master AWB”.
Pengiriman yang dicover dengan AWB di atas akan otomatis direlease
langsung kepada penerima (consignee) yang tertulis di sana tanpa harus
menunjukkan yang asli (original documents). Barang bisa direlease
tanpa original documents, tanpa kompromi!
House Air Waybill (HAWB)
Coba bandingkan dengan coverage pengiriman yang menggunakan HAWB di
bawah ini!
Pada saat pesawat berangkat, maka HAWB diterbitkan untuk shipper
yang nantinya dikirim ke penerima (consignee) di tujuan untuk release
barang. Pada saat yang sama, kita menerima MAWB dari penerbangan yang nantinya
bersamaan dengan HAWB dikirim ke Agent di tujuan untuk keperluan dekonsolidasi
(unstuffing) dan release barang. Dengan MAWB di tangan, maka kita
“berkuasa” atas barang, atau dengan kata lain transfer tanggung
jawab/kepemilikan barang “masih” ada pada kita.
Saat ada masalah, kita tinggal menginstruksikan Agent di tujuan
untuk meng-hold barang sebagaimana disebut di atas.
Jadi, dari sisi dokumentasi ada 2 cara agar kita tetap pada posisi
mengendalikan pengiriman sehingga resiko dapat dikurangi yaitu :
1. Menerbitkan HAWB, dengan catatan kita punya Agent untuk destinasi
yang dituju, dan
2. Melakukan co-load dengan forwarder yang overseas agent-nya
bagus, dan mintakan HAWB kepadanya.
Dalam kaitan inilah, apa yang diistilahkan bahwa kita bertindak
sebagai “Principal” atas shipment tersebut, dan penerbitan HAWB
(seperti halnya penerbitan HB/L) inilah yang merupakan ciri khas freight
forwarder jika dibandingkan dengan Carrier (penerbangan atau pelayaran).
Ada ruang antara dokumen HAWB/HBL dengan MAWB/MBL di mana bisnis freight
forwarding ini senantiasa dibutuhkan oleh dunia usaha di dalamnya.
Manajemen Resiko
Mengacu pada kebijakan kepabeanan belasan tahun yang lalu yang
sudah menerapkan manajemen resiko dengan cara menerapkan kebijakan penjaluran
(terdiri dari jalur MITA-pri, MITA-nonpri, merah, kuning dan hijau), kita
semestinya juga sudah mulai mengadopsi manajemen resiko ini. Sejalan dengan
seabreg permasalahan, resiko yang dihadapi sebuah freight forwarder tidak kalah
banyaknya. Mulai dari SDM, operasional, kompetisi, business fraud, dan
seabreg hal lainnya. Mengelola resiko sama saja dengan berjaga-jaga agar
kejadian buruk tidak menimpa atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir sehingga
ada pada tingkat yang di dalamnya telah ada “upaya” untuk mencegahnya.
Berkaitan dengan manajemen resiko ini, ISO (organisasi standarisasi
internasional) pada tahun ini menerbitkan Standar ISO 9001 versi tahun 2015
(ISO 9001:2015) yang memasukkan pengidentifikasian aspek resiko yang harus
dipenuhi oleh perusahaan yang disertifikasi standar ini. Sebuah informasi yang
bukanlah suatu kebetulan bahwa resiko-resiko yang ada harus diidentifikasi,
disadari, dikelola, dan dihitung untung ruginya. Apalagi FIATA (federasi
forwarder dunia) dan ALFI (asosiasi logistic forwarder indonesia) juga telah
lama merekomendasikan agar setiap membernya disertifikasi ISO 9001 ini.
Semoga dapat dijadikan wawasan dan bahan pembelajaran sekaligus
sebagai bahan koreksi dan tindakan pencegahan dari beberapa kasus yang secara
riil kita hadapi yang diharapkan di kemudian hari tidak lagi terjadi.
Jakarta, 11 Maret 2015
Jaeroni Setyadhi
No comments:
Post a Comment