Y O U R....V I S I O N....I S....O U R....M I S S I O N

Sunday, April 22, 2012

QUALITY FIRS 1)

Seorang kawan senior “curhat” betapa anak buahnya saat ini bersikap “matre”. Mereka tidak mau ditambah beban pekerjaannya meskipun tambahan pekerjaan itu bersifat tidak rutin. Mereka mau melakukannya jika ada “tambahan kompensasi” atas pelaksanaan tambahan pekerjaan itu. Si “Bos”, yang tidak mau melakukan “penyesuaian” itu beralasan : “bagaimana mungkin memberikan tambahan kompensasi, sementara pekerjaan yang diberikan itu sendiri belum dilakukan termasuk bagaimana kualitas hasil pekerjaannya nanti baik atau malah berantakan”. Anak buah tadi selanjutnya berargumen bahwa dia khawatir sekiranya tidak ada “akad awal”, hasil kerja mereka tidak diakui sebagai suatu kontribusi pada proses pekerjaan yang berjalan. Begitulah keadaannya dan seterusnya, sehingga timbullah istilah mana dulu : telor apa ayam, yang membentuk lingkaran tanpa nilai tambah itu.


Jepang, Negara Kalah Perang


Sebentar kita tinggalkan masalah sehari-hari di atas dan kita coba lihat di sisi yang lain.

Pada dekade 40-an, Jepang “ikut-ikutan” menjalankan politik kolonialisme sebagaimana negara Barat dengan menjajah khususnya negara-negara Asia Timur. Saat itu, sebagian besar wilayah telah dikuasai termasuk Hawai. Tapi kemudian apa yang terjadi? Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom tidak saja negara itu menjadi kalah perang tapi yang sampai saat ini masih diratapi adalah timbulnya bencana kemanusiaan hebat yang diakibatkan oleh perang itu. Sejak saat itu, rakyat Jepang harus memulai hidupnya dari nol.

Jepang menyimpulkan, aneksasi model Barat bukanlah cara tepat agar negara menjadi berjaya dan “menguasai” dunia. Rakyat Jepang mulai mengidentifikasi kekuatan dari dalam yang mereka miliki, mereka mulai focus pada ekonomi dan melupakan penaklukan ala militer.

Negeri Pembelajar


Belajar pada depresi ekonomi Amerika Serikat pada 1930-an, Jepang menata industrinya tidak serta-merta ditujukan untuk meraup untung sebesar-besarnya di satu sisi. Di sisi lain, proteksi Amerika serikat dan sekutunya mengharuskan Jepang harus memproduksi barang yang benar-benar bermutu. Praktek-praktek manajemen dibuat tidak muluk-muluk dengan penerapan ini-itu. Pada penanganan proses-proses misalnya, Group Toyota “hanya” berfokus pada usaha-usaha untuk “menghilangkan sampah” (eliminate waste) 2). Cara Toyota memanajemeni groupnya di seluruh dunia ini kemudian dikenal dengan nama “The Toyota Way”.

Selanjutnya, mereka berfokus pada “quality”. Dan dengan cara inilah kemudian Jepang mendominasi perekonomian dunia sampai dengan saat ini. Bandingkan dengan Barat yang dengan model-model guritanya lebih berorientasi pada “profit”. Ishikawa (penemu model “tulang ikan” untuk solving problem) menulis :

“Japanese companies have been guided by the principle of “quality first” in accepting and practicing total quality control”. (Perusahaan Jepang dipandu oleh prinsip “mengutamakan mutu” dalam menerima dan mempraktekkan pengendalian mutu.

Selanjutnya, … In contrast, American managers have taken the path of seeking short range goals. They have adhered to the principle of “profit first” and in the process lost to Japan in competition” 3) (Sebaliknya, para manajer Amerika lebih mencari tujuan jangka pendek. Mereka menganut prinsip “mengutamakan keuntungan” dan pada kenyataannya kalah dengan Jepang dalam kompetisi).

Fakta sederhana lain bahwa kemudian Jepang mendominasi perekonomian dunia adalah bahwa pada sekitar tahun 1930-an ada sekitar 30 perusahaan pembuat televise berwarna di Amerika Serikat, yang kemudian menyusut menjadi hanya 1 perusahaan saja pada tahun 1960-an 4). Dan sebagainya.


Rezeki Datang dari Segala Penjuru

Menyimak bagaimana cara bangsa Jepang bangkit dari keterpurukan yang kemudian merajai perekonomian dunia, mestinya dapat menginspirasi kita bahwa tujuan jangka panjang harus dijadikan suatu misi yang mengarahkan kita meski saat ini kita juga harus berkontrentasi pada tujuan jangka pendek.

Kembali ke awal tulisan, kitapun harus terus menggali kearifan bahwa “tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah” (Al-Hadits) dan mestinya ini menjadi salah satu “alat keyakinan” kita dalam mengharap keridhoan Yang Mahakuasa. Kita telah paham bahwa setiap pemberian yang kita tujukan bagi kebaikan akan mendapatkan “balasan” yang entah dari mana datangnya, dan tidak harus berasal dari pihak yang kita beri itu. Rezeki Allah akan datang dari segala penjuru mata angin dikarenakan kebaikan dan nilai tambah yang bisa kita berikan kepada siapapun, kapanpun dan di manapun.

Memperbaiki kualitas diri dengan meningkatkan kompetensi harus senantiasa menjadi focus untuk dapat terus-menerus dapat beradaptasi dengan tantangan di depan. Bekerja dengan benar, ringan tangan untuk menolong, dapat sekedar meringankan pekerjaan teman, rajin, ulet, adaptif, disiplin, mematuhi peraturan perusahaan dan seterusnya adalah contoh-contoh nilai tambah yang dapat diberikan oleh setiap individu yang tidak secara kontan akan diganjar dengan sebuah kompensasi. Kelak orang-orang sekitar akan memberikan kesaksian bahwa nilai tambah yang kita berikan pada kenyataannya lebih besar daripada hitung-hitungan kompetensi dan/atau personal appraisal di atas kertas semata.

Kalau di tingkat individu kita mungkin kurang suka dengan yang “matre”, maka di tingkat corporate-pun akan demikian pula. Quality dengan segala aspeknya mungkin bisa dijadikan salah satu acuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja termasuk kualitas diri kita itu sendiri.

Dalam tabel Self-Assessment ISO 9004:2009, sebuah perusahaan memiliki kedewasaan 5) tingkat 3 (=flexible organization) pada aspek hasil, apabila :

The satisfaction of the organization’s people and its interested parties is monitored (Kepuasan karyawan serta kepuasan pihak-pihak berkepentingan lain terpantau).

Jadi, jika kita berpegang pada penggalan Hadits di atas, tidak akan ada yang saling menunda telor dulu atau ayam dulu, karena komitmen kita untuk sebesar-besarnya memberikan nilai tambah kepada sekitar kita. That’s Quality!



(JS)

-----------------------------------
1) Istilah “Quality First” diusulkan menjadi prinsip manajemen mutu oleh CQI, UK pada revisi ISO 9000:2005 yang akan datang.
2) 7 jenis sampah : stock berlebihan (over-stock), over-produksi, proses berlebihan, waktu menunggu, transportasi yang tidak efektif/efisien, gerakan (orang) berlebihan, dan barang reject.
3) UK position paper for the revision of ISO 9000.
4) Juran’s Quality Handbook, fifth edition.
5) 5 tingkat kematangan organisasi : (a) organisasi pemula, (b) organisasi proaktif, (c) organisasi fleksibel, (d) organisasi inovatif, dan (e) organisasi lestari/sustained.

No comments: