By : Eileen Rachman
& Sylvina Savitri (EXPERD)
Pemimpin seperti apa yang Anda kagumi?
Kita banyak
mengagumi pemimpin karena otaknya yang brilian, keahliannya berstrategi,
pengambilan keputusan yang tepat, keberanian mengambil risiko atau kemampuan
membawa perusahaan tumbuh besar.
Kita bisa melihat
bahwa terkadang kesuksesan tidak berkorelasi dengan sikap pimpinan terhadap
bawahannya. Steve Jobs, misalnya, melegenda lebih karena kekuatan inovasi, bukan
kekuatan hubungannya dengan manusia. Ada bawahan yang bisa betah bertahun-tahun
dalam organisasi yang dipimpin atasan yang tidak simpatik atau bahkan
jelas-jelas suka mengadu domba. Keberhasilan mencetak laba dan melipatgandakan
aset perusahaan memang masih menjadi indikator utama kehebatan seorang pimpinan,
bahkan dijadikan ‘model’ manajemen yang dianggap ideal.
Sekarang, mari kita bayangkan bila di bawah para pemimpin keren
ini ternyata tidak tumbuh calon pemimpin masa depan untuk
menggantikannya. Tidakkah kita dengan mudah melihat perusahaan
segera akan mengalami krisis dan sulit mempertahankan pertumbuhan usahanya?
Dalam situasi ini, masihkah kita menilai para pemimpin ini sebagai pemimpin yang
efektif?
Dari tahun ke tahun, banyak survey dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apa karakteristik terpenting seorang leader”. Kita bisa melihat bahwa kriteria leader yang efektif tampaknya memang “bergerak” sesuai dengan tuntutan jaman. Hasil survey media sosial terkemuka, LinkedIn, mendapatkan hasil bahwa peringkat tertinggi karakteristik terpenting leader adalah:
Dari tahun ke tahun, banyak survey dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apa karakteristik terpenting seorang leader”. Kita bisa melihat bahwa kriteria leader yang efektif tampaknya memang “bergerak” sesuai dengan tuntutan jaman. Hasil survey media sosial terkemuka, LinkedIn, mendapatkan hasil bahwa peringkat tertinggi karakteristik terpenting leader adalah:
·
visi yang
berimpact
·
kekuatan
memotivasi dan
inspiring
·
kemampuan
mendengar
·
mengenal anak buah
secara individual
·
dan kekuatan
membela timnya & bertanggung jawab
·
pengetahuan teknis
dan kemampuan menjaga keseimbangan ‘life
skills’.
Bila persentase
tindakan yang mengacu pada perhatian pada tim dan anak buah atau ‘coaching’ dijumlah, maka aspek-aspek
tersebut bernilai sekitar 60 % dari kekuatan leadership. Ini berarti bahwa coaching adalah
jantungnya leadership. Atau,
dengan perkataan lain, visi yang bagus, jelas dan mengacu pada masa depan hanya
bisa dicapai melalui ‘coaching’
intensif.
Pengembangan manusia, penguatan budaya, reputasi dan image perusahaan memang hal yang ‘intangible’. Sampai hari ini pun mengukur laba jauh lebih mudah daripada mengukur ‘suasana kerja yang menyenangkan’. Banyak orang masih senang memperdebatkan mengenai “Apa hubungannya suasana menyenangkan dengan laba perusahaan?”. “Benarkah sikap kerja produktif betul-betul bisa melipatgandakan produktivitas?”. Di sisi lain, kita bisa melihat ada calon karyawan mengundurkan diri dengan alasan, “Perusahaan itu suasananya tidak menyenangkan, atasannya sangat cuek.”. Meski susah diukur, kita tahu memang hal-hal intangible ini adalah aset yang nyata-nyata ada.
Pengembangan manusia, penguatan budaya, reputasi dan image perusahaan memang hal yang ‘intangible’. Sampai hari ini pun mengukur laba jauh lebih mudah daripada mengukur ‘suasana kerja yang menyenangkan’. Banyak orang masih senang memperdebatkan mengenai “Apa hubungannya suasana menyenangkan dengan laba perusahaan?”. “Benarkah sikap kerja produktif betul-betul bisa melipatgandakan produktivitas?”. Di sisi lain, kita bisa melihat ada calon karyawan mengundurkan diri dengan alasan, “Perusahaan itu suasananya tidak menyenangkan, atasannya sangat cuek.”. Meski susah diukur, kita tahu memang hal-hal intangible ini adalah aset yang nyata-nyata ada.
Itu sebabnya
pemimpin ataupun organisasi yang berani
memutuskan budget signifikan untuk menumbuhkan kepemimpinan, memperkuat leadership, maupun menyuburkan budaya
positif di organisasinya bisa kita sebut punya visi masa depan yang
jelas dan kuat.
Kebutuhan kita semakin jelas. Kita butuh membangun tempat kerja yang ‘hidup’, di mana pikiran, talenta dan hati bersinergi satu sama lain. Kita butuh menyusun barisan yang bisa berespon terhadap perubahan yang tak terduga, dan berkecepatan seperti kilat ini. Kita tidak lagi bisa mengkontrol kekuatan pengambilan keputusan dari ‘kursi’ kita sendiri. Kalau bisa, seluruh karyawan dipersiapkan untuk berjaga-jaga dengan membentuk pemahaman, pengembangan dan kemampuan belajar yang tinggi, sehingga apapun perubahan, perusahaan bisa dengan fleksibel menanggulanginya.
Kebutuhan kita semakin jelas. Kita butuh membangun tempat kerja yang ‘hidup’, di mana pikiran, talenta dan hati bersinergi satu sama lain. Kita butuh menyusun barisan yang bisa berespon terhadap perubahan yang tak terduga, dan berkecepatan seperti kilat ini. Kita tidak lagi bisa mengkontrol kekuatan pengambilan keputusan dari ‘kursi’ kita sendiri. Kalau bisa, seluruh karyawan dipersiapkan untuk berjaga-jaga dengan membentuk pemahaman, pengembangan dan kemampuan belajar yang tinggi, sehingga apapun perubahan, perusahaan bisa dengan fleksibel menanggulanginya.
Jadi, peran leader sebagai coach memang bukan lagi bersifat pilihan,
tapi sudah bergeser menjadi keharusan. To be an effective leader, you must be an effective
coach.”
Menggeser Fokus
Menggeser Fokus
Kita bisa melihat
guru yang baik menjadi kepala sekolah, salesman top menjadi manajer, komputer
programmer yang piawai kemudian
menjadi team leader. Padahal
tidak ada jaminan bahwa para profesional ini bisa mengakselerasi kinerja. Mereka
bisa menggerakkan dirinya sendiri untuk berprestasi, tetapi bisakah menggerakkan
orang lain dan timnya? Kompetensi teknis memang senantiasa menjadi jalan bagi
individu untuk menapaki karier ke posisi leader. Namun, saat kita di posisi yang
menuntut pengelolaan anak buah, kita perlu segera mengembangkan kemampuan
interpersonal kita, seperti berkomunikasi, memberi masukan, mengajak, bersabar,
mendengar, berkonfrontasi dan menanggulangi konflik. Kita juga belajar
menyeimbangkan kekuatan kita dengan faktor-faktor eksternal seperti strategi,
prioritas, dan hasil disamping ‘values’, sasaran, dan ‘self awareness’. Pada saat inilah
seseorang perlu melangkah lebih jauh dan mulai mempersiapkan kompetensi ‘coaching’ nya.
Pemimpin perlu sadar bahwa ia tidak lagi bisa hanya ribet dengan sasaran, image dan obsesi pribadinya, melainkan harus mulai membagi fokus pada hal-hal yang jauh di luar dirinya, termasuk kondisi anak buahnya, karena inilah yang pada akhirnya merupakan kekuatan organsisasi. Tentu bukan hal yang salah untuk berfokus pada laba perusahaan dan harga saham, namun pemimpin perlu sadar bahwa peran untuk memonitor progres, perbaikan dan prestasi setiap individu dibawah pimpinannya adalah peran sentral dalam kepemimpinannya. Bila seorang pemimpin sudah me’lepas’kan
ke ‘aku’annya, barulah ia siap untuk meng-engage pikiran dan hati anak buah. Pada
saat itulah dia perlu mempraktekkan kemampuan komunikasi tingkat tinggi, jago
mendengar, bersabar, menunggu, dan merancang tugas-tugas progresif timnya, agar
biasa menjadi pemenang.
Memimpin Pemimpin
Pemimpin perlu sadar bahwa ia tidak lagi bisa hanya ribet dengan sasaran, image dan obsesi pribadinya, melainkan harus mulai membagi fokus pada hal-hal yang jauh di luar dirinya, termasuk kondisi anak buahnya, karena inilah yang pada akhirnya merupakan kekuatan organsisasi. Tentu bukan hal yang salah untuk berfokus pada laba perusahaan dan harga saham, namun pemimpin perlu sadar bahwa peran untuk memonitor progres, perbaikan dan prestasi setiap individu dibawah pimpinannya adalah peran sentral dalam kepemimpinannya. Bila seorang pemimpin sudah me’lepas’
Memimpin Pemimpin
Seorang pemimpin
yang kuat melakukan ‘coaching’
menyadari bahwa ia bukan melakukan hal itu sekedar karena hobi atau ‘passion’-nya. Kesadaran bahwa ia sedang
mempersiapkan bawahannya menjadi pemimpinlah yang bisa memperkuat ‘power’-nya untuk melakukan ‘coaching’. Ia harus sadar
bahwa individu yang tengah ia bimbing adalah pemain-pemain tangguh yang
dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang sulit diprediksi, penuh
turbulensi, chaos, bukan sekedar
perubahan normal. Respons-respons yang dilatih bukan sekedar melihat kebelakang,
mengencangkan ikat pinggang saja, tetapi justru kekuatan menghadapi hal-hal
eksternal seperti perubahan peraturan, kekuatan pelanggan dan perkembangan
teknologi. Latihan ketahanan , keberanian untuk menghadapi yang tidak terduga,
keberanian untuk “tampil” perlu dibuatkan lahan latihan. Seorang coach adalah “culture creator”, bukan “answer provider”. Hanya dengan adanya
manusia berkualitas perusahaan bisa mempunyai nilai ‘sustainability’ tinggi. Dan, membangun
manusia hanya bisa dilakukan melalui
‘coaching’ yang intensif.
Sumber : Kompas, 20
Oktober 2012
No comments:
Post a Comment