Oleh
: Garin Nugroho
Pada
momentum Hari Pahlawan ini, ingatan saya justru lekat pada pidato kemenangan
Obama. Pidato ini terasa sebagai representasi pemimpin pahlawan, yang mampu
menggugah harapan kesejahteraan dalam ruang ikatan masyarakat pluralis. Saya
mencatat empat nilai penting dari pidato Obama.
Pertama,
ucapan Obama bahwa ia belajar dari rakyat pada periode pertama untuk menjadi
pemimpin yang baik. Sebuah kerendahan hati sekaligus kerja demokratisasi
membaca rakyat sebagai referensi kepemimpinan. Kedua, ucapan bahwa kekuatan
bangsa tidak dari angkatan perang, tetapi dari ikatan berbangsa yang saling
mendukung. Inilah ajakan proses pemecahan krisis lewat kebersamaan yang menjadi
esensi kebangsaan.
Ketiga,
semua warga saling menjaga cita-cita dan saling mendukung dalam fondasi
keluarga-keluarga. Inilah sebuah penghormatan pada warga sebagai bangsa, yang
menunjukkan bahwa cita-cita bangsa adalah taman sari cita-cita warga dan
keluarga-keluarga. Inilah seruan Obama yang membawa dukungan kaum perempuan
sebagai tonggak keluarga, yang menjadi kunci suara kemenangan Obama.
Keempat,
ucapan dalam pidatonya tentang pahlawan-pahlawan yang tak menyerah dan bangsa
yang hebat. Inilah ucapan untuk menumbuhkan demokratisasi produktif, yakni
setiap warga adalah pahlawan bangsa yang ditumbuhkan atas kebanggaan hidup
berbangsa.
Pidato
Obama tersebut membawa saya mencoba membaca kepahlawanan dalam beragam
perspektif. Yang paling menarik adalah pahlawan dalam perspektif budaya
popular. Simak film James Bond yang
sudah berusia 50 tahun. Film yang berhulu pada novel Ian Fleming ini, figurnya
mengambil inspirasi dari intelejen angkatan laut sewaktu Perang Dunia I. Pada
gilirannya, James Bond bukan hanya
sekedar film, melainkan ikon sikap nasionalisme Inggris.
Atau
simak film kartun Doraemon yang
diciptakan oleh Fujiko F Fujio tahun 1969. Haruslah dicatat, Doraemon tahun
2008 ditahbiskan sebagai duta Jepang oleh Menteri Luar Negeri Jepang. Kantong
Doraemon mencerminkan produktivitas teknologi Jepang menghasilkan teknologi
praktis yang mampu memecahkan masalah-masalah hidup sehari-hari. Dengan kata
lain, kepahlawanan senantiasa berkait dengan karakter serta cara berpikir,
bereaksi, dan bertindak sebuah bangsa.
Di sisi
lain, kepahlawanan sesungguhnya terus bertumbuh dalam beragam nilai dan bentuk
sekaligus mengalami transformasi terus-menerus sesuai ruang dan waktu serta
tuntutan situasi zaman. Maka, jangan heran, kepahlawanan juga menyangkut
transformasi bahasa tubuh tokoh.
Simaklah,
kemenangan SBY pada awal periodenya tidak lepas dari sosok tubuh SBY sekaligus
wajah ganteng yang tertata bahasanya, yang pada periode tersebut digandrungi.
Namun, ketika masyarakat merindukan kerja nyata dari politik pelayanan, bisa
ditebak masyarakat mencari sosok tubuh yang berbeda. Yakni tubuh dan wajah yang
merakyat, bahkan terkesan patut dikasihani ala Jokowi.
Oleh
karena itu, di tengah inflasi politikus sekaligus inflasi produk-produk budaya
popular, tetapi kekurangan dan kehilangan bentuk-bentuk beragam kepahlawanan,
sederet pertanyaan muncul. Apakah kita kehilangan karakter berbangsa dengan
nilai keutamaan, seperti pengorbanan, kepahlawanan, dan seterusnya? Apakah kita
kehilangan ikatan saling mendukung? Apakah kita kehilangan panduan
kepemimpinan? Apakah kita kehilangan kebanggaan menjadi Indonesia ?
No comments:
Post a Comment