Oleh : H. Sutan Zaili Asril
Wartawan Senior
RAMAI soal jebakan kelas menengah (middle class income trap) Indonesia muncul setelah Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) merilis bahwa terjadi peningkatan spektakuler kelas menengah Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Senapas, ramai perdebatan tentang apa arti/makna dari muncul kelas menengah Indonesia secara mencolok tersebut, dan Indonesia harus mewaspadai jebakan kelas menengah, terutama karena mayoritas dari kelas menengah tersebut dapat jatuh kembali ke kelompok kelas bawah (miskin).
Perkara jebakan kelompok kelas menengah Indonesia menjadi materi kuliah umum Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan yang digelar Pemprov Sumatera Barat di auditorium Gubernuran, Minggu (6/7). Bahwa kemunculan kelompok kelas menengah Indonesia dalam jumlah sangat besar, sebetulnya positif. Tapi sebaliknya, menimbulkan jebakan-jebakan yang merepotkan pemerintah dan menahan gerak Indonesia menjadi negara maju. Dahlan menyebutkan sejumlah kelemahan kalangan kelas menengah Indonesia yang merepotkan, antara lain menyebabkan/menahan laju Indonesia menjadi negara maju.
Ia mencontohkan, kelas menengah di lingkungan birokrasi pemerintah—termasuk di lingkungan BUMN—cenderung birokratis. Birokrasi diharapkan melancarkan, responsif/mempercepat proses, tidak membebani/mengenakan biaya tinggi, harus efisien, dan seterusnya. Contoh praktik birokrasi yang kurang responsif: kini orang Papua makan nasi walau semula makan sagu. Ada banyak pohon sagu, tapi tidak dibangun pabrik sagu. Di Papua harga gula amat mahal—karena manajemen pelabuhan masih membebani—ada 1.000-an ha kebun tebu, tapi tidak dibangun pabrik gula. Praktik di pelabuhan harus ditertibkan, baik manajemen dan biaya mahal. Kapasitas sandar masih kecil harus ditingkatkan.
SIAPA yang disebut kelas menengah Indonesia? Kelompok kelas menengah Indonesia lebih dinisbahkan pada peningkatan pendapatan dan atau besaran belanja per hari kelompok kelas dari menengah (middle class income) yang dirilis Bank Dunia dan ADB. Data ADB antara lain menyebutkan, kelompok menengah Indonesia meningkat dalam 10 tahun, dari 45 juta orang pada 1999 menjadi 93 juta orang pada 2009—jumlah kelas menengah-bawahnya menjadi 74 persen. Jadi, tiap tahun kelompok kelas menengah Indonesia bertambah 7 juta orang.
Data Bank Dunia menyebutkan, jumlah kelas menengah Indonesia meningkat dari 81 juta jiwa (37,7 persen) pada tahun 2003 menjadi 131 juta jiwa pada 2010 (56,5 persen). Definisi Bank Dunia menyebut kelas menengah adalah penduduk dengan pengeluaran USD 2 sampai USD 20 atau Rp 19.000 sampai Rp 190.000/hari (asumsi satu dolar Rp 9.500). Berdasar data Bank Dunia, jumlah kelompok kelas menengah Indonesia meningkat 7 juta/tahun dalam 10 tahun terakhir. Sayang, kelas menengah Indonesia didominasi mereka yang berada di tingkat pengeluaran USD 2-6 per hari (Rp 19.000-Rp 57.000/hari) yang sangat dekat dengan kelas bawah (miskin).
Kelompok berpendapatan (berbelanja) kelas menengah tersebut masih dibagi lagi beberapa bagian, yaitu pengeluaran harian pada sekitar USD 2-4 sebanyak 38,5 persen (yang sangat dominan), yang pengeluaran harian pada sekitar USD 4-USD 6 sebesar 11,7 persen, yang pengeluaran harian sekitar USD 6-USD 10 sebesar 5 persen, dan pengeluaran harian pada sekitar USD 10-20 sebesar 1,3 persen. Dan, jebakan yang dimaksud adalah kelompok menengah bawah dengan pengeluaran USD 2-4/hari sewaktu-waktu dapat kembali jatuh menjadi kelompok bawah atau miskin bilamana perekonomian Indonesia relatif stagnan/tidak bertumbuh baik.
Dalam laporan medio 2010, ADB mengukur jumlah/besaran kelas menengah di Asia—termasuk kelas menengah Indoneia—berdasarkan tingkat pengeluaran 2-20 dollar AS/kapita/hari. ADB juga masih membagi kelompok kelas menengah ke dalam kelompok kelas menengah-bawah, kelompok kelas menengah-tengah, dan kelompok kelas menengah-atas. Kelas menengah-bawah berpengeluaran 2-4 dolar AS (pada sekitar Rp 540.000-Rp 1,1 juta per orang/bulan atau Rp 2,16 juta-Rp 4,4 juta per keluarga dengan 4 anggota); kelas menengah-tengah 4-10 dolar AS (Rp 1,1 juta-Rp 2,7 juta/orang/bulan); dan kelas menengah-atas 10-20 dolar AS (Rp 2,7 juta-Rp 5,4 juta/orang/bulan).
DALAM buku ADB, Diagnosing the Indonesian Economy: Toward Inclusive and Green Growth, diluncurkan di Jakarta, Senin (26/3), antara lain disebutkan Indonesia perlu mengembangkan sektor manufaktur, jasa, dan pertanian, untuk meningkatkan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Sekalipun ekonomi Indonesia telah menjadi salah satu yang menunjukkan performa terbaik di kawasan dalam beberapa tahun belakangan, Indonesia masih harus menghadapi sejumlah tantangan di dalam mencapai tahapan ekonomi negara berpendapatan menengah-atas.
Buku ADB antara lain fokus pada penjelasan tentang tantangan Indonesia dalam mentransformasi industri memperbaiki berbagai kekurangan dalam infrastruktur, mengembangkan sumber daya manusia (SDM), dan memperkuat pemerintahan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Dikatakan, Indonesia tidak bisa bertahan pada kondisi perekonomian saat ini sekalipun cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,9 persen dalam lima tahun terakhir.
ADB melihat kesalahan Indonesia melakukan perubahan yang bisa membuat terjebak dalam jebakan kelas menengah (a middle income trap). Kondisi negara di mana ekonomi kelas menengah tidak lagi bisa bersaing dengan negara berpenghasilan rendah/bawah, yang masih buruk dalam hal SDM, teknologi, dan infrastruktur, sehingga sulit bagi negara untuk mencapai status/tahap negara berpenghasilan tinggi/atas—tantangan Indonesia melompat menjadi negara maju (istilah yang digunakan Menteri BUMN Dahlan Iskan).
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Armida Alisjahbana, Indonesia perlu tolok ukur buat mengakselerasi perkembangan infrastruktur, penguatan kelembagaan, peningkatan investasi swasta, mengatasi ketakseimbangan geografis dalam meningkatkan lapangan kerja dan kesempatan pendidikan. Buku ADB disebut memberi kontribusi atau sumber pengetahuan bagi pembuat kebijakan, akademisi mempelajari perkembangan/ekonomi, dan masyarakat memahami hambatan dihadapi negara menuju visi Indonesia yang maju/sejahtera. Pemerintah mengklaim ekonomi RI terbesar ke-16 di dunia dan produk domestik bruto (PDB) 3.000 dolar AS per kapita. Tahun 2012, target pertumbuhan ekonomi 6,4 persen, meski dibayangi inflasi relatif tinggi.
KELOMPOK kelas menengah Indonesia, sesungguhnya dalam perdebatan, baik dalam kriteria digunakan maupun fenomena kelas menengah sendiri. Dalam tulisan ini, kita tidak perlu memasuki pergulatan/perdebatan Marx dengan Weber, misalnya. Perspektif Karl Heinrich Marx (1818-1883) hanya percaya dua kelas yang saling bertentangan: kaum borjuis/capital atau kaum pemilik modal dengan kaum buruh atau proletar/working class. Maximilian Weber (1864-1920) mengatakan, kelas menengah tak harus/perlu diukur melalui kepemilikan faktor produksi (kapital). Ukuran digunakan bisa gabungan pendapatan, pendidikan, status sosial—semua hal bisa dikuantifikasi. Menggunakan data statistik, dilihat dari pendapatan berada antara kelompok pendapatan kaya dan di bawah garis kemiskinan.
Barington More menyebut peran kelas menengah dalam sejarah demokrasi di banyak negara mengajukan tiga rumus bentuk negara. Pertama, kelas atas ditambah kelas bawah menghasilkan pemerintahan seperti pemerintah komunis Uni Soviet. Kedua, kelas atas ditambah kelas menengah yang berkuasa, maka pemerintah fasis yang dihasilkan seperti Jerman dan Jepang. Ketiga, jika gabungan kelas menengah dan kelas bawah, yang muncul pemerintahan demokrasi seperti Inggris, Perancis, dan AS. Barrington hanya sampai rumusan pembentukan demokrasi.
Penjelasan detail dibuat Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin. Lenin merujuk Marx, bahwa revolusi akan terjadi jika penindasan terhadap buruh secara masif, dan buruh melawan untuk revolusi. Hipotesis ini tidak terjadi, karena bagi Lenin alasan kelas buruh tidak melawan karena tidak ada yang memberitahu.
Di Indonesia, kalau ada golongan kelas menengah yang bercirikan independent thinkers, jumlahnya sangat sedikit. Pernah organisasi bernama Serikat Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) pada tahun 1990-an, lalu bermetamorfosis menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sebagian besar tak meminati politik/tak peduli pada kondisi bangsa dan negaranya. Mereka bahkan cenderung fatalistis. Kaum kelas menengah Indonesia lebih berorientasi pada diri sendiri. Apalagi menghadapi kelas bawah yang kadang berpikir fatalistik—nrimo. Ciri mereka lebih menonjol pada: berbelanja di mal/konsumtif—bahkan memaksakan diri, bersenang-senang dan libur (bahkan) ke luar negeri, aktivis sosial/sibuk di jejaring sosial, tidak malu menikmati fasilitas subsidi pemerintah/mau layanan harga murah, dan menuntut kebutuhan mereka dipenuhi.
Yang diperdebatkan tentang kelas menengah Indonesia, adalah tentang fenomena kelas menengah itu tidak mencerminkan perspektif Max Weber, misalnya. Kelompok kelas menengah Indonesia secara pendapatan/belanja memang masuk dalam kategori kelas menengah—walaupun kelompok terbesar adalah kelompok kelas menengah bawah yang sewaktu-waktu dapat (kembali) jatuh ke kelompok miskin, tapi, tidak memenuhi berbagai kriteria pokok lain. Yaitu tentang golongan yang berpikir independen (independent thinkers) dan atau kepedulian pada bangsa/negaranya. Justru, sebagian besar golongan kelas menengah Indonesia apolitik dan lebih berorientasi pada diri mereka sendiri.
Golongan yang berpendapatan di atas kelompok miskin ini, antara lain kalangan profesional bekerja di sektor jasa dan sektor produksi swasta dan pemerintah (pegawai negara/pemerintah—juga BUMN dan legislatif), kalangan profesional—juga bidang pendidikan (guru dan dosen), dan pengusaha usaha kecil-mikro. Artinya, sebagian besar kelas menengah belum mampu menciptakan pembentukan atau pemukulan modal dan dalam mengakses teknologi modern. Kelas menengah-tengah dan ataslah yang dapat hidup di atas garis subsistem, bahkan mereka menabung dan membeli barang di luar kebutuhan dasar. (*)