Oleh
: Andre Vincent Wenas
“Don’t they know, if you take tough
decisions, yes people will hate you today but they’ll thank you for generation
…” (Margaret
Tatcher, dalam film The Iron Lady, diperankan oleh Meryl Streep, Sony Pictures,
2012).
***
Kualitas
kepemimpinan pada akhirnya memang ditentukan oleh kemampuan (sudah termasuk di
dalamnya: keberanian, kecerdasan, dan kebijaksanaan) mengambil keputusan yang
dampaknya baru dirasakan beberapa generasi ke depan. Dan tantangannya,
keputusan-keputusan yang mesti diambil sekarang kerap tidak popular di mata
public. Itulah hakikat kepemimpinan berpandangan visioner (penglihatan tembus
zaman), dan mempu mengambil keputusan yang bahkan tidak popular pada zamannya.
***
Salah satu
kendala bisnis terbesar di Indonesia
adalah soal logistic. Dalam bentuk negara kepulauan yang pulaunya tersebar
dalam jumlah ribuan, memang soal logistic jadi tantangan yang luar biasa bikin
pening kepala para pemasar dan juga pemerintah. Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia
baru-baru ini melansir pernyataan bahwa biaya logistic di Indonesia mencapai
24% dari total PDB, atau senilai Rp 1,820 triliun per tahun. Ini merupakan
biaya logistic tertinggi di dunia! Jumlah sebesar itu terbagi dalam tiga
komponen: biaya transportasi Rp 1,092 triliun, biaya penyimpanan/gudang Rp 546
triliun, dan biaya administrasi Rp 182 triliun.
Sebagai
perbandingan, terhadap PDB, biaya logistic di Malaysia hanya 15%, Amerika
Serikat dan Jepang hanya 10%. Biaya penanganan container (container handling charge) juga paling tinggi di antara
negara-negara Asia Tenggara. Bahkan, ongkosnyapun mesti dibayar dalam bentuk
dolar AS.
Disinyalir
oleh Ina Primiana, anggota Lembaga Pengkajian Peneliti dan Pengembangan Ekonomi
(LP3E) Kadin Indonesia, untuk container 20 kaki di pelabuhan Tanjung Priok
tarifnya US$ 95 (sekitar Rp 858 ribu), sementara di Malaysia hanya US$ 88
(sekitar Rp 795 ribu). Di Thailand
US$ 63 (sekitar Rp 587 ribu). Di Malaysia dan Thailand
ongkosnya bisa dibayarkan dengan mata uang setempat, tapi anehnya di Indonesia mesti
pakai dolar AS.
Yang
menarik tapi konyol juga, biaya pengapalan container domestic misalnya dari Padang , Sumatera Barat ke Jakarta
mencapai US$ 600 (sekitar Rp 5,4 juta), sedangkan dari Singapura ke Jakarta hanya US$ 185
(sekitar Rp 1,6 juta).
***
Realitas
geografi social ekonomi seperti inilah yang dialami para pemasar dan juga
pengambil keputusan di pemerintahan. Memang kebijakan nasional mesti diambil di
tingkat pusat. Tapi, lantaran kenyataan geografis social ekonomi negeri
kepulauan seperti Nusantara ini, dibutuhkan kemampuan segmentasi wilayah
beserta kepentingannya masing-masing secara lebih membumi. Pembacaan segmentasi
realitas social dan relasinya dalam pengambilan keputusan menjadi sangat
penting. Kenyataan ketersebaran lokasi yang dipisah oleh laut telah membentuk
ciri yang khas bagi Indonesia
sebagai suatu Negara maritime yang juga sekaligus agraris.
Salah satu
contoh kasus saja, adalah kebijakan pemerintah di bidang pemasaran/tata niaga
gula nasional. Saat ini konsumsi gula per tahun di Indonesia adalah sebesar 5,2 juta
ton. Sementara produksi gula domestic yang berasal dari panenan tebu petani
local adalah 2,1 juta ton, sehingga terjadi deficit pasokan sebesar 3,1 juta
ton! Dan deficit supply ini terutama
dialami oleh daerah di kawasan timur Indonesia
(Kalimantan, Sulawesi , Maluku, Papua, Nusa
Tenggara, dan lain-lain) yang memang boleh dibilang tidak punya petani tebu dan
pabrik gula. Sehingga tentu – dalam jangka pendek sampai menengah – pilihan
solusinya adalah impor. Dan impor ini pun bisa dipilih dalam bentuk gula jadi
atau gula mentah (yang masih perlu dirafinasi, atau dimurnikan lewat proses di
pabrikasi local). Tentu, jika ingin mengoptimalisasi nilai tambah local, pemerintah
seyogyanya memilih untuk mengimpor dalam bentuk gula mentah, yang proses
rafinasi (rafined)-nya bisa memberi
nilai tambah dalam bentuk local-man-hour
yang dibayarkan bagi tenaga kerja kita, serta pajak yang dibayarkan oleh para
pabrikan rafinasi. Namun anehnya, lewat kebijakan tata niaga gula (biasa
disebut dengan SK Menperindag No. 527 tahun 2004) distribusi penjualan gula digebyah-uyah ke seluruh Indonesia bahwa gula rafinasi (yang notabene
berkualitas lebih tinggi) tidak boleh didistribusikan ke konsumen langsung
(termasuk di wilayah timur Indonesia
yang jelas-jelas mengalami deficit pasokan). Sehingga akibat pasokan yang
kurang, harga menjadi meroket. Jika harga rata-rata gula di Pulau Jawa sekitar
Rp 9.000 – Rp 10.000, di kawasan timur Indonesia bisa sampai Rp 12.000 – Rp
15.000 per kg.
Fenomena
social ekonomi seperti ini tentulah tidak mencerminkan keadilan social. Kita
tahu bahwa PDB per kapita penduduk di Jawa tentu lebih tinggi dibanding
saudara-saudaranya di kawasan timur, namun toh
mereka di timur mesti berkorban lagi untuk membeli barang-barang kebutuhan
pangan dengan harga yang lebih tinggi. Ini hanya salah satu contoh kasus, masih
ada banyak sector kebijakan yang perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan
kenyataan geografis-sosial-ekonomi negara kepulauan ini.
***
Memang ada
kemungkinan bahwa keputusan yang bakal diambil tidaklah popular di mata
sementara pihak untuk saat ini. Misalnya untuk kasus gula tadi, beberapa
pemangku kepentingan (seperti para pedagang gula, sementara oknum yang
mengatasnamakan para petani tebu, dan beberapa pihak di pabrik gula BUMN) akan
berpandangan minor terhadap kebijakan yang bisa menerobos persoalan yang sudah
kronis dan makin akut ini. Namun, justru di sinilah perlu tampilnya pemimpin
model The Iron Lady Margaret Tatcher
yang bisa dengan afirmatif mengatakan bahwa keputusan yang saya ambil barulah
bisa disyukuri oleh generasi-generasi mendatang. Semoga []